“Bos,” Badi menyapa Narendra yang sedang santai di sofa kontrakan petaknya, “Pesanannya, nih.”
“Bubur?” Narenda segera menegakkan punggung.
“Iya, sama teh tawar,” bodyguard itu menjawab sambil berjalan ke dapur dan bersiap memindahkan bubur ayam ke mangkuk.
“Teh tawar?” Dia mengernyit bingung, “Apa hubungannya bubur sama teh tawar?”
“Di sini kalau beli bubur ayam biasanya dikasih teh tawar hangat, Bos. Gratis.”
“Gitu? Memangnya makan bubur pakai teh?” Sepertinya sejak tinggal di kontrakan petak ini kecerdasan Narendra menurun drastis.
“Ya nggak, Bos. Tapi habis makan seret, kan? Ya minumnya teh tawar.”
“Oh gitu,” pria berkaos itu menggaruk tengkuknya, “Buburnya mana? Udah laper banget. Mana tadi malam …” tanpa sadar dia terus menyerocos menceritakan kejadian token listrik yang terus berbunyi dan kebingungannya. Sesekali ceritanya akan terpotong karena Badi tidak mampu menahan tawanya.
Badi sudah menjadi bodyguard anak bungsu keluarga Widjaja selama beberapa tahun sehingga mereka cukup dekat. Jika ada orang lain Badi akan bersikap profesional. Tetapi jika mereka hanya berdua atau bersama keluarga Widjaja maka mereka terlihat seperti dua orang teman.
“Sialan. Puas banget, ya, ketawanya,” Narendra bersungut kesal.
“Maaf, maaf,” Badi berusaha meredakan tawa, “Salah aku juga nggak ngajarin isi token.”
“Iya! Memang salah kamu!” Narendra masih terlihat kesal, “Malu banget sama cewek sebelah!”
Badi terkekeh, “Tapi paling nggak jadi bisa kenalan sama cewek, kan, Bos?”
“Kenalan dari mana?! Itu pintu pas banget nutup depan muka aku. Sedikit lagi kena muka, deh, kayaknya.”
“Tapi cantik, Bos? Katanya, sih, cewek di sebelah cantik. Cuma aku belum pernah ketemu langsung, sih. Cuma dengar-dengar aja.”
“Jangan ditanya! Sama tunangan si Ardi, eh, tahu, kan? Yang kemarin di kantor?” Melihat anggukan Badi, Narendra melanjutkan kalimatnya, “Kayak bumi sama langit! Jelas cewek sebelah langitnya! Cantik banget padahal nggak make up-an dan cuma pakai daster.”
“Kenalan, dong, Bos. Masa Bos yang terkenal doyan nyicip cewek nggak berani buat kenalan doang?” Badi tidak serius, hanya sekadar menggoda.
“Bukan nggak berani, Cuma takut kalau terlalu dikejar dia malah illfeel. Kan, bahaya,” Narendra menatap bingung mangkuk yang baru saja diletakkan Badi di depannya, “Ini apa?”
“Bubur ayam. Tadi Bos pesen, kan?”
Dia memainkan bubur ayam itu dengan sendok, “Ini…bubur?”
“Iya. Ada yang salah, Bos?”
“Itu…” Narendra masih memainkan sendok, “Biasanya bubur sama condiment-nya dipisah di mangkuk-mangkuk kecil, kan? Kuahnya juga jernih nggak keruh kayak gini. Terus ini topping-nya apa?”
“Astaga…” Badu menepuk dahi, “Bos, kalau bubur ayam, ya, gitu di sini.”
“Seriusan? Kamu bukannya lagi ngerjain aku?” Narendra menatap curiga. Dia ingat dia pernah mengerjai Badu ketika bodyguard-nya pertama kali mencoba cheese founde saat mereka menghabiskan musim dingin di Swiss. Bisa saja saat ini Badi ingin membalasnya, kan?
“Nggak mungkin aku berani ngerjain Bos,” Badi mengambil Styrofoam berisi bubur miliknya, “Sama, kan?”
Dengan seksama Narendra memperhatikan bubur yang ada di mangkuk kemudian membandingkan dengan milik Badi. Walau tidak sama, kedua bubur itu terlihat sama. Bubur, suwiran ayam, cakwe, kacang kedelai, dan kuah keruh berwarna kuning. Meski demikian dia masih tidak dapat menerima kalau ini adalah bubur. Bubur yang dikenal Narendra disajikan di mangkuk keramik cina. Bubur masih panas dan berasap, seluruh condiment terlihat segar dan begitu menggoda untuk segera dicicipi. Kuahnya juga jernih dengan aroma yang akan membuat perut siapapun mendadak berbunyi.
“Sama,” dia menjawab ragu.
“Bos, kalau yang namanya bubur ayam orang kayak saya itu ya kayak gini. Mau Bos cari ke mana juga bentukannya bakal kayak gini. Jangan dibandingin sama yang biasa Bos makan. Harganya aja beda banget.”
“Ini berapa? Seratus ribu?” Lagi, Narendra merasa seperti tersedot ke dunia yang tidak dikenalnya. Ini bukan pertama kali dia kebingungan seperti sekarang.
Ketika pertama kali Badi membawanya ke kontrakan petak ini, Badi harus menjelaskan sampai mulutnya berbusa kalau kontrakan petak ini dapat disebut rumah. Kontrakan petak yang sekarang ditempati tidak lebih besar dari kamar kucing kesayangan Mama di rumah utama Widjaja. Bagaimana dia bisa menerima kenyataan itu?!
Akhirnya Badi memutuskan untuk mengantarkan Narendra berkeliling. Pria itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kalau kontrakan petak itu memang rumah. Bahkan ada beberapa kontrakan petak yang ditempati oleh sebuah keluarga dengan dua anak kecil. Seumur hidup, ini pertama kalinya Narendra menyadari kehidupan orang biasa begitu berbeda dengan hidup yang dikenalnya.
“Seratus ribu dapat sepuluh bungkus, Bos,” Badi lelah menunggu Narendra dan memutuskan untuk sarapan tanpa menunggu bosnya mulai makan.
“Sepuluh ribu?!” Narendra harus menahan diri agar tidak berteriak.
Bagaimana mungkin ada makanan seharga sepuluh ribu? Bubur yang biasa dimakannya harganya berkali lipat lebih mahal. Bahkan secangkir kopi yang biasa dinikmati, bukan, sebotol air mineral yang biasa diminumnya saja lebih mahal dari sepuluh ribu.
“Iya. Sepuluh ribu,” Badi terlihat lahap menyantap buburnya, “Jangan kaget, Bos. Memang harganya segitu, Mahal yang dekat stasiun bisa delapan ribu.”
“Delapan..wait?! WHAT?! Eight thousand? For sure?! Kamu pasti bercanda!” Narendra menolak untuk percaya.
Badi terbahak, “Kaget, Bos?”
Dia segera mengangguk. Semua ini terlalu mengejutkan, “Aku nggak pernah tahu kalau delapan ribu bisa dapat makanan.”
“Kapan-kapan aku ajakin makan di warteg. Biar Bos lebih kaget lagi,” Badi masih menyantap bubur ayamnya sambil tergelak.
“Warteg itu apa?” Narenda bertanya sambil menatap bubur ayam di hadapannya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan apakah dia harus memakannya atau tidak. Setengah dirinya tidak yakin kalau dia harus mempertaruhkan hidupnya dengan menghabiskan semangkuk bubur dengan harga tidak masuk akal. Tetapi separuh lagi berulang kali mengingatkan dirinya kalau dia lapar. Sangat lapar.
“Tempat makan,” sang bodyguard menjawab singkat.
“Restoran yang namanya Warteg?”
“Bukan restoran. Warteg itu…”
“Bentar, bentar,” Narendra menyambar mangkuk bubur kemudian berjalan ke pintu kontrakan petaknya, “Bang Ucok!”
Pria yang baru saja keluar dari kontrakannya itu menatap bingung. Butuh beberapa detik sebelum dia ingat siapa Narendra, penghuni baru kontrakan di sebelahnya.
“Oy tetangga,” Bang Ucok memamerkan senyum ramahnya, “Macam mana, betah kau?”
“Betah, Bang,” Narendra balas tersenyum, “Bang Ucok pulang pagi? Kerja apa memangnya, Bang?”
“Kerjaanku itu ngitungin uang orang,” tawanya menggelegar, “Lembur semalam. Kau nggak kerja?”
“Belum, Bang,” berusaha untuk tidak memancing kecurigaan, Narendra menjawab sesingkat mungkin, “Oh iya, Bang Ucok udah sarapan? Kebetulan temen aku beli buburnya kelebihan. Kalau belum buat Bang Ucok aja.”
“Pas kali aku belum sarapan ini. Baru aja mau jalan,” dia mengunci pintu kontrakannya, “Kata Mamakku di kampung, nggak boleh lah kita tolak rejeki. Aku makan di tempat kau aja, ya?”
“Oh, boleh, Bang,” Narendra bergeser memberi ruang bagi Bang Ucok untuk masuk, “Tapi masih kosong kontrakanku, Bang. Belum sempat ngisi apa-apa.”
“Nggak apa-apa itu. Sibuk, kan, kau?” Pria berbadan besar itu tutup di samping Badi, “Eh, Kau yang kontrakan depan itu, kan? Di sini juga kau rupanya.”
“Iya, Bang,” Badi menghabiskan buburnya, “Aku pindah ke sini nggak lama setelah Bang Ucok.”
“Iya, ingatlah aku itu. Aku ingat siapa aja yang masuk ke sini,” dia menerima mangkuk bubur, “Habis kau masuk, si Agnia yang masuk, terus baru kau. Eh iya, siapa nama kau?”
“Rendra, Bang,” Narendra menjawab sigap.
“Macam nama penyair itu? Bisa kau bikin puisi?” Bang Ucok mulai menikmati buburnya dan dari ekspresinya Narendra dapat menebak kalau citarasa bubur itu cukup enak.
“Nggak bisa, Bang. Dulu pernah nyoba buat nembak cewek malah ditolak,” Tidak sepenuhnya benar. Ini hanya ceritanya rekaannya. Dia memang pernah membuat puisi tetapi bukan untuk seorang wanita, “Agnia itu yang tinggal di sebelah, Bang?”
“Iya. Udah kenalan kau?”
“Belum, tapi semalam dia bantuin aku ngisi token.”
“Memang baik anaknya. Kau tahu, dia itu aktris,” kembali satu suapan besar masuk ke mulut Bang Ucok.
“Pantas cantik, ya, Bang.”
Bang Ucok menghentikan kunyahannya kemudian menatap Narendra serius, “Naksir pula kau?”
Pertanyaan itu membuat Narendra menelan ludah.
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan