“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.
Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.
Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.
“Neneek…”
Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.
Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.
Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?
“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.
Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat neneknya kehilangan nyawa.
Seorang perawat menepuk lembut pundak Elara. “Nona, uruslah administrasi dulu, agar nenek Anda bisa segera Anda bawa dan dimakamkan.”
Bukan perawat itu yang tidak berperasaan. Namun kematian adalah hal yang sering terjadi di dalam lingkungan rumah sakit.
Perawat itu hanya akan memberikan simpati seperlunya, lalu mengingatkan keluarga pasien untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
Elara mengangguk pelan.
Ia menyusut kedua sudut matanya, mengenyahkan buliran bening yang sejak tadi turun begitu deras dan tidak mampu ia hentikan.
Dengan bertopang pada pinggiran brankar, Elara mencoba bangkit dan berjalan keluar.
Suara penjelasan dokter sebelumnya, bergema dalam benak Elara.
‘Nenek Anda telah lama memiliki komplikasi pada jantungnya, tapi tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya. Saat dibawa ke IGD, nenek Anda mengalami aritmia dan terjadi cardiac arrest. Diduga, pemicunya berlangsung sebelum kecelakaan terjadi.’
Langkah Elara terhenti.
‘Pemicunya berlangsung sebelum kecelakaan terjadi.’
Itu adalah saat neneknya datang ke kediaman White dan menerima pengusiran itu.
“Hey.”
Suara teguran pelan menarik Elara dari lamunan dan segera mengarahkan pandangan ke asal suara.
Pria bermata kelabu itu telah berdiri di dekat Elara --entah sejak kapan, menatapnya intens.
“Turut berduka,” Suaranya mengalun pelan, masih dengan nada prihatin. “Biar aku yang mengurus admin-nya dan urusan pemakaman.”
Tanpa sempat menolak, Arion telah berbalik dan meninggalkan Elara berdiri mematung di tempatnya.
Dalam waktu singkat, Elara mendapati Arion telah menyelesaikan segalanya.
Itu di pagi berikutnya, ketika Elara berdiri dan menyaksikan peti jenazah itu diturunkan dan tanah merah menutupinya sempurna kemudian.
Elara hanya memiliki waktu beberapa jam dalam semalam, menemani neneknya dalam tidur abadinya.
Memandangi wajah sang nenek dan mengucapkan salam perpisahan yang terlalu pilu untuk dilisankan.
Dirinya hanya sendiri melalui kehilangan ini.
Tentu, ada seorang pria bermanik kelabu yang menemaninya. Namun ia hanya orang asing yang tiba-tiba menjadi suami Elara.
Bahkan keluarga White, tidak satu pun menunjukkan batang hidungnya menghadiri pemakaman ini --tidak, bahkan Tony sendiri.
“Bahkan bekas menantumu pun tidak datang untuk mengucapkan salam perpisahan, Nek…” Tawa ironi Elara berhembus samar.
Di depan makam Nyonya Willow, Elara berdiri kaku dengan hati yang berselimut hawa dingin.
Kembali, pikirannya mengembara.
Pada perkataan Ruth, pada perkataan dokter dan pada perkataan Tina.
Neneknya melamun saat berjalan keluar kediaman White, setelah mengalami pengusiran itu.
Jika neneknya tidak shock, ia tidak akan mengalami serangan jantung dan kecelakaan. Jika neneknya tidak kecelakaan, maka ia tidak akan meninggalkan Elara!
Karena kecelakaan itu, Elara harus kehilangan keluarga satu-satunya yang tersisa!
Keluarga White.
Ia sungguh-sungguh tidak akan memaafkan setiap orang dari mereka!
* * *
“Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”
Pria di seberang Elara menatapnya lurus dan tenang. Ia bergeming di tempatnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Dua kancing kemeja teratas yang Arion kenakan, terbuka. Membuat sedikit otot dada yang padat dan keras mencuat terlihat.
“Dan itu karena…?” Arion menggantung kalimat tanya darinya, membiarkan Elara untuk menyambung.
“Nenek ku sudah tidak ada. Ia tidak terselamatkan. Tidak ada gunanya lagi meneruskan perjanjian itu,” jawaban Elara memenuhi apa yang sudah Arion perkirakan.
Namun demikian, tidak ada satu senyuman tercetak di wajah pria bermata kelabu itu.
Seluruh tubuhnya terlihat santai, namun entah mengapa, Elara merasakan satu himpitan dan tekanan yang begitu kuat menerpa dirinya dari sorot main-main pria itu.
“Aku bahkan belum mengetahui namamu hingga saat ini. Kita hanya dua orang asing.” Bagaimanapun gadis itu juga tampak bersungguh-sungguh.
“Arion,” kata pria itu.
“Apa?”
“Namaku. Aku Arion Ellworth.”
Elara termenung. Bukan respon seperti ini yang ia harap akan ia dapatkan dari pria bermata kelabu di hadapannya itu.
“Sayangnya Nona Elara,” Bibir sensual pria pemilik manik kelabu itu membelah. “Kau tidak akan bisa melakukan itu.”
“Berhenti jadi istriku? Kau tidak akan melakukannya,” lanjut Arion.
“Kenapa tidak mungkin?” Kedua alis Elara menukik. “Aku yang memintanya, dan akan kulakukan!”
“Tidak akan.”
“Tidak usah berbelit-belit, lebih baik kita sekarang juga ke balai kota untuk menghentikan perjanjian konyol ini!”
“Jika kita berpisah atas keinginanmu, kau akan membayar sejumlah uang.”
Elara terdiam dan kepalanya tertekan mundur. “A-apa kau bilang?”
“Aku bilang, kau tidak bisa berhenti jadi istriku, karena dalam perjanjian ini kau harus membayar satu miliar dolar jika meminta pisah dariku.”
Letupan hebat terdengar dalam lorong pendengaran Elara.
Detik bergulir, Elara masih terpancang di tempat --terperangah menatap pria bermata kelabu di hadapannya.
Kedua manik zamrud-nya perlahan merangkak turun, berhenti tepat ke satu dokumen yang kemudian diletakkan Arion di atas meja.
Entah dari mana --Elara tidak menyadarinya tadi.
“Bacalah dengan baik.” Arion mengetukkan jari telunjuknya di atas lembaran kertas itu.
Untuk sesaat, Elara terlihat seksama menatap lembaran itu sebelum kemudian ia menyambarnya dari meja dan menyusuri huruf demi huruf yang menyebutkan klausul tentang perpisahan mereka dan sejumlah uang yang disebutkan Arion sebelumnya tadi.
Elara selesai membaca berulang alinea tersebut, bibirnya bergetar samar saat ia mengutuk Arion penuh dengan rasa jijik. “Ka-kau… licik!”
“Kau sudah tahu itu dari awal. Kenapa masih kaget?” ujar Arion ringan, namun dampaknya membuat Elara nyaris sesak napas karena tergerus amarah.
“Hidup atau matinya nenekmu tidak ada urusan dengan kesepakatan kita, Nona Elara,” Suara rendah nan dalam Arion kembali memenuhi pendengaran Elara.
Itu suara yang sungguh indah dan seksi --demi apapun, jika saja pria itu menggunakannya untuk mengeluarkan kata-kata yang terdengar lebih menyenangkan.
Tapi bukan seperti itu yang selanjutnya terjadi.
Dengan tatapan dalam yang menyesatkan, Arion kembali berkata.
“Aku sudah memenuhi bagianku, tinggal kau memenuhi bagianmu.” Ia menatap lekat kedua manik zamrud di hadapannya. “Tidur denganku.”
* * *
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da