"Bareng kita aja, ya, Tante?" Malilah menawarkan.
Menatap wajah teman Yonna itu, Yulissa mengangguk setuju.
Keadaan di dalam mobil sangat hening, tidak ada dialog sedikit pun yang tercipta. Bahkan bisikan pun tidak ada. Semuanya diam, seakan menikmati rintikan hujan yang mulai turun deras.
Di belakang, Luther mengikuti mobil Malilah. Hatinya tidak tenang, begitu khawatir akan kondisi Yonna.
"Kalian jangan pulang dulu, ya? Baju kalian basah, ganti pakai punya Yonna aja di kamar."
"Ayo," ajak Yonna meminta teman-temannya ikut ke kamar, kecuali Luther.
Laki-laki itu sadar diri akan gendernya, jadi dia memilih membuka jaketnya dan menunggu di sofa.
Memasuki kamar, Yonna langsung menerima pelukan dari ketiga temannya. Mendapati itu, ia kembali menangis.
"Aku- aku nggak tahu gimana masa depanku k
"Besok malam kami ke sini, ya? Menginap." "Iya, Lil. Jangan lupa bawa makanan, biar makin seru kalau makanannya banyak," balas Yonna sembari membantu menutup pintu mobil Malilah dari luar. "Siap! Kami pulang dulu, Dah!" "Dah! Hati-hati!" Yonna melambaikan tangannya membalas ketiga temannya tersebut. Setelah mobil Malilah meninggalkan halaman rumah, Yonna masuk ke dalam bersama Luther. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, tetapi belum ada yang tidur. "Yonna, belum mau tidur, Nak?" Yulissa menatap anaknya tersebut. "Belum, Ma," jawab Yonna singkat. "Cantik, aku ke toilet dulu," izin Luther yang langsung berjalan setelah Yonna mengangguk. "Sini," panggil Yulissa, meminta anaknya duduk. "Bi, boleh minta tolong buatkan cokelat panas, dua."
"Aku mungkin nggak bisa menyembuhkan lukamu, cantik. Tetapi ingat, aku selalu berada di sini. Aku ngg akan pernah melakukan kesalahan yang sama dengan cara meninggalkanmu." "Aku tahu itu, Luther. Jika saja waktu itu aku nggak melakukan kesalahan, kamu pasti juga nggak akan marah." "Kesalahpahaman." "Iya, tetap saja." Luther menarik tubuh Yonna agar lebih merapat dengannya. "Seharusnya aku nggak menaruh curiga padamu, Yonna. Komunikasi dan kepercayaan itulah yang lupa untuk aku perhatikan." "Tak apa, ini wajar. Aku juga jadi berpikir kalau kamu marah, berarti kamu masih sayang padaku. Nggak mau kalau aku bersama laki-laki lain." Yonna meraba rahang Luther dengan lembut. "Siapa yang mau miliknya dimiliki oleh orang lain?" "Nggak ada." Keduanya tertawa kecil. Mencari posisi nyaman, Yonna menyembunyikan wa
"Aku pulang dulu, kamu ingat yang kita bicarakan semalam, 'kan?" Luther mengacak rambut Yonna hingga berantakan. "Ish, iya. Aku bakalan coba." "Okay. Mereka jadi menginap malam ini?" "Harus!" "Kalau begitu, aku nggak berkunjung dulu, ya?" "Kamu ada rencana di luar?" "Hm, sama Clovis. Kalau Dovis tertarik, dia juga ikut." Menatap Luther khawatir, Yonna antara yakin dan tidak jika hubungan kekasihnya itu dengan Clovis sudah baik-baik saja. Seperti sebelumnya. "Aku sudah ngobrol sama Clovis, kamu nggak perlu khawatir. Dan rencana, lusa, kami akan ikut kamu berkunjung ke pusara ayahmu." "Terima kasih." "Aku pulang dulu, bye! Jangan lupa makan." Luther mengecup dahi Yonna, lalu melenggang menaiki motornya dan pulang. /////
"Ponselku di kamar, Ma. Baterainya habis. Kenapa?" Yulissa menyerahkan tugas untuk menambahkan choco chips pada biskuit cokelat yang hendak dipanggang berikutnya kepada Yonna. "Mama lupa memberi tahu kalau nomor telepon Mama sudah berganti." "Kok, diganti? Tapi ... Waktu itu Yonna telepon, panggilannya masuk, Ma. Cuman tidak diangkat saja." "Hari itu Mama memang masih menggunakan nomor biasa, tetapi tepat sekitar satu jam sebelum mendapat kabar tentang ayahmu, tas kecil Mama yang berisi ponsel dan uang kes dirampok. Ketika sudah pulang dari pusara kemarin, barulah Mama beli gantinya," jelas Yulissa panjang. "Ya, ampun. Mama nggak kenapa-kenapa, 'kan? Rampok itu apain Mama? Nggak ada yang luka?" tanya Yonna khawatir, disentuhnya tubuh sang mama untuk memeriksa apakah ada yang luka. Tersenyum simpul mendapatkan perhatian dari anaknya, Yu
Menjelang waktu malam, Yonna tengah duduk di sofa, menonton berita saat ini. Sekalian ingin menunggu teman-temannya datang, semua jajanan sudah siap. Di grup chat mereka, Malilah berkata kalau mereka merencanakan untuk pesta piama. Walau Akia sempat menahan agar kegiatan itu diundur saja, Yonna menolak saran Akia tersebut. Tidak ada yang salah dengan memakai piama selaras, perang bantal, menikmati film sambil makan bersama. Ia pun, setuju dan memutuskan untuk melakukan semuanya bersama. Bagi Yonna, memang buruk jika kita berlarut dalam duka. Tidak ada yang salah dengan mencoba menghibur diri. Namun, bukan pula itu bermaksud untuk tidak menghargai dia yang sudah tiada. Asal tahu batasan, tidak melakukannya secara berlebihan. Meneguk habis jus jeruk yang tersisa sedikit, Sharmion mengerutkan dahi bingung saat di layar televisi tertera nama sekolah yang sangat tidak asing. SMA
Menampilkan raut tengah berpikir, Yonna mengingat apa yang Rasia katakan mengenai apa ucapan Gisel sebelum nyawanya terenggut."Kamu tadi bilang apa, Yon?" tanya Akia yang tidak begitu mendengar jelas perkataan Yonna."Kalian ingat sama yang aku ceritakan waktu itu, nggak?"Malilah membenarkan membenarkan posisi bantal yang dipeluknya. "Yang mana? Banyak yang sudah kau ceritakan ke kita, tahu! Ngomong yang jelas.""Tentang Pertez," jawab Yonna.Terlihat tertarik, Petunia mendekat saat menangkap tubuh Yonna mulai condong ke depan. Seakan hendak menceritakan satu hal yang begitu rahasia di dalam ruangan penuh, walau kenyataannya tidak ada orang selain mereka berempat di sana."Oh, waktu kita teleponan itu, ya?" terka Malilah."Iya.""Ya-yang mana?" Petunia tidak pernah mendengar Yonna bercerita t
Dengan tergagap, Yonna mencoba melangkah keluar dengan hati-hati. Keadaan rumah begitu gelap, tanpa cahaya setitik pun. "Aish, kenapa aku lupa bawa ponsel tadi?" keluh Yonna, jika ia membawa ponsel dan menggunakan cahaya dari sana, ia pasti dapat melihat lebih mudah. "Ma!" teriak Yonna mencari keberadaan mamanya. Tidak berselang lama setelah panggilan tersebut, lampu di rumah mereka tiba-tiba menyala kembali. Seluruh isi ruangan dapat terlihat, hingga ke bagian sudutnya. "Nak, kamu baik-baik saja?" Yulissa muncul dari arah dapur. "Iya, Ma. Ini kok, tumben lampunya mati? Ada pemadaman listrik bergilir, ya?" "Tidak, Nak. Sepertinya tadi Mama dan bibi menggunakan listrik terlalu banyak, jadinya mati. Tapi tadi Pak Gading sudah menghidupkan kembali listriknya, setelah kami kurangin beberapa perangkat," jelas Yulissa atas apa yang terjadi.
"Kau nggak pernah cerita kalau kau punya fobia juga, Lil," ujar Yonna yang memilih menutup kembali laptopnya."Aku itu selalu mau cerita, tapi nggak tahu kenapa sering lupa. Sebenarnya ini juga aku baru sadari, sekitar tiga bulan lalu."Petunia yang selesai mengirim pesan pada psikiater kenalan papanya, mengubah posisi duduk menjadi lebih dekat dengan mereka. "Ka-kamu fobia apa, M-Malilah?""Hm, katakan!" desak Yonna yang sudah kepalang penasaran."Sini, dekat-dekat. Biar aku cerita," titah Malilah yang langsung dituruti oleh mereka, termasuk Akia."Kami sudah merapat, sekarang waktunya kamu cerita, Lil. Jangan bikin kami penasaran aja," ujar Akia, membuat yang lain mengangguk setuju."Okay, jadi aku itu fobia sama kata-kata yang panjang banget! Banget!"Dahi Yonna mengerut, dibenarkannya ikatan rambutnya yang mulai longgar, l