"Amel ... aku takut," ungkap Dinda, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun dari Amel.
Beberapa menit mereka saling diam, menghabiskan waktu untuk sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang berkata apa pun, sampai akhirnya Amel tiba-tiba saja berkata, "Apa mungkin ya, hantu itu lagi ada di sekitar sini?"
"Jangan ngaco kamu, Mel, kalau ngomong! Aku sekarang lagi takut, kamu malah nambah aku makin takut aja!" Dinda kesal, karena saat ini ia benar-benar merasa takut.
Ia masih ingin melanjutkan hidup, meskipun sederhana dan juga penuh akan cobaan, tetapi Dinda masih semangat. Ia tidak ingin meninggal dengan cara yang sangat tidak wajar seperti itu.
Dinda menggelengkan kepala, ia ingin menepis semua pikiran buruk itu. Tak sepantasnya ia takut dengan hantu, padahal derajat seorang manusia lebih tinggi.
Segera saja Dinda berkata, "Kita salat, yuk! Udah masuk waktu duhur. Kalau misalkan emang ada hantu itu di sini, maka kita enggak boleh ngerasa takut. Kita dekatkan lagi diri kita dengan Allah, pasti hantu itu enggak bakalan berani ganggu kok."
Amel menganggukkan kepalanya pelan, menyetujui ajakan dari Dinda barusan. Ia juga memiliki pemikiran yang sama, sehingga dua orang tersebut segera berdiri dari posisi duduknya yang tadi, lalu melangkahkan kaki untuk segera ke kamar mandi. Tentu saja bergantian.
*******
"Eh, apa aku izin aja dulu ya, enggak masuk kuliah?" Dinda mengatakan hal itu, dengan wajah yang menunjukkan sekali jika dirinya saat ini merasa bingung.
"Loh, kenapa kamu? Karena terror hantu yang tadi?" Amel juga jadi ikutan bingung, mengapa temannya seperti kehilangan semangat seperti itu.
Dinda mengangguk. "Semua perlengkapan aku kan di sana, Amel. Rasanya males banget deh kalau aku harus ke sana lagi."
Kedua matanya terpejam, tak sanggup membayangkan harus ke sana lagi.
Amel yang tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus sontak mengerutkan kening. Meski ngeri, rasanya tidak pantas untuk membolos kuliah.
"Ayok!" ajak Amel sembari mengulurkan tangan kanan pada Dinda, supaya temannya dapat segera bangun dari posisi yang sangat nyaman tersebut.
Dinda tak menolak ukuran tangan dari Amel, sehingga saat ini dirinya terduduk, tetapi masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
Melihat tingkah laku Dinda yang seperti itu, membuat Amel langsung tertawa pelan. Mengambil tote bag milik dirinya, lalu berkata, "Aku enggak mau ya, kalau kamu jadi bolos mata kuliah. Kalau emang barang-barang kamu masih ada di kosan, yuk kita ambil bareng-bareng."
"Kalau perlu, kamu ambil semua barang kamu, terus pindah ke kosan aku ini. Cukuplah buat berdua sih, biar enak juga akunya punya temen ngobrol pas mau tidur." Amel terkekeh, karena memang benar adanya.
Selama ini, dirinya selalu merasa sepi kala di malam hari. Rasanya pasti sangat asyik, jika di dalam satu indekos ada dua orang, maka dari itu dengan kejadian Dinda yang seperti itu, seperti menjadi sebuah keberuntungan bagi Amel.
Di sisi lain, Dinda seakan tak percaya dengan apa yang diutarakan oleh Amel barusan.
"Kenapa? Kok kamu ngeliat aku kayak yang enggak percaya gitu sih?" tegur Amel, seraya balik menatap Dinda dan tertawa pelan.
"Kamu tuh aneh, ya." Dinda hanya mengatakan kalimat itu saja, setelah itu ia segera berdiri dan bersiap-siap untuk segera menuju ke indekos yang sebenarnya menyeramkan itu.
Mendengar kalimat yang diutarakan oleh Dinda, Alma hanya mengernyitkan dahinya saja, tidak ada pertanyaan yang diajukan. Karena ia merasa tidak terlalu penting.
Jika tadi saat berangkat menuju ke indekos Amel, yang mengendarai motornya adalah Amel sendiri, tetapi kali ini berbeda, karena Dinda mengajukan dirinya saja yang mengemudi.
Tak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka berdua tiba di indekos tersebut. Hawa seram langsung terlihat dari luar bangunan indekos tersebut, tetapi Dinda berkali-kali memberi semangat pada dirinya sendiri, jika tidak boleh ada rasa takut pada hantu.
"Kamu ikut masuk ya, Mel, temenin aku?" pinta Dinda, yang mau tak mau dituruti oleh Amel.
Seberani apa pun, jika sudah ada tragedi yang menyeramkan dan juga bahkan hingga merenggut nyawa manusia, maka kondisinya sudah berubah.
Mereka berdua memasuki gerbang indekos tersebut. Namun, angin yang cukup kencang dan sangat dingin, menyambut mereka.
Keduanya bergidik ngeri, terlebih ketika mengamati daerah sekitar. "Kok sepi ya, Din?"
Amel mulai ciut, rasa takut sudah menyelimuti. Ingin rasanya ia hanya menunggu di luar saja, tetapi di luar pun tetap saja ada rasa takut."Semuanya udah milih buat pindah mungkin, Mel. Ayok lah, kita ke kamar aku aja." Dinda bergegas melangkahkan kaki untuk menuju ke kamar dan membereskan semua barang-barang miliknya. Tak ada kejanggalan apa pun, hanya hawa bangunan saja yang menjadi tak biasa. Seakan-akan bangunan indekos itu sudah lama tidak berpenghuni. Tidak begitu jauh kamar milik Dinda, sesampainya di depan kamar, segera saja membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tersebut. Dinyalakannya lampu kamar, serta jendela pun dibuka. Hal itu bertujuan supaya ada udara yang masuk dan kamar tidak lagi pengap, tetapi alangkah terkejutnya kala pintu kamar tiba-tiba saja tertutup sendiri. Amel yang sedari tadi hanya mengamati kamar saja dan berdiri tak jauh dari arah pintu pun langsung merasa ketakutan, berlari mendekat ke arah Dinda dan memeluk sangat erat. Tak hanya Amel saja yang ta
"Tahan dulu sebentar, kita tunggu di dalam kamar sini aja sambil aku juga nyoba buat nyari bantuan," ucap Dinda, masih berusaha tetap tenang.Karena memang rasa percaya yang dimiliki oleh Dinda cukup besar, sehingga membuat perempuan tersebut memiliki keberanian yang lebih. Ia berpikir, jika sedari tadi dirinya hanya berdiri saja, itu sama saja akan membuang tenaga dengan sangat sia-sia. Sehingga, Dinda segera menuntun telapak tangan milik Amel, supaya duduk di atas tempat tidurnya. Namun, reaksi Amel justru di luar dugaan. Ia justru berkata, "Tapi, Din, aku takut kalau harus duduk di situ. Apalagi posisinya deket banget sama pintu keluar.""Amel, percaya sama aku deh, enggak bakalan ada apa-apa. Kalau pun ada sesuatu yang nanti terjadi, pasti yang bakalan kena itu aku dulu, kan dari tadi juga yang dipanggil namanya, nama aku." Dinda benar-benar berusaha untuk membuat temannya percaya dengan apa yang ia katakan. Sebenarnya sudah ada rasa tenang di dalam hati Amel, tetapi tentu saja
Bayu panik, ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan saat ini. Terlebih lagi, sambungan telepon dari kekasihnya itu seketika terputus begitu saja.Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, segera saja Bayu keluar dari dalam kamar tidurnya dan bersiap-siap untuk pergi menuju indekos kediaman Dinda.Perasaannya campur aduk, berharap jika saat ini kekasihnya baik-baik saja. Mengendarai kendaraan pun tanpa kendali, sebab yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya ingin segera tiba saja."Sayang, tunggu sebentar ya, aku akan segera tiba di sana," gumam Bayu, seraya terus melafalkan lafadz Allah. Memohon perlindungan untuk sang kekasih, yang bahkan dirinya saja tidak tahu bagaimana kabarnya saat ini.Sedangkan, di tempat yang lain, Dinda dan Amel harus merasakan keadaan yang sangat mencekam. Rasa takut harus mereka berdua lawan."Tidak perlu takut dengan bangsa jin, sebab kedudukan manusia itu lebih tinggi. Terus lah ingat Allah, minta perlindungan padaNya, insyaAllah kamu akan baik-b
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya? Kenapa bisa-bisanya ada kasus yang seperti ini? Kalian tidak pernah memperhatikan teman kalian sendiri, kah?" tanya Tanti, perempuan pemilik indekos yang baru saja tiba di indekos miliknya itu. Namun, saat Tanti telah tiba di indekos miliknya, sudah sangat ramai dengan banyaknya orang yang memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Ditambah lagi, dengan adanya garis polisi yang membatasi kamar penemuan mayat. Tanpa ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Tanti langsung menerobos masuk ke kerumunan orang-orang. "Ini, Pak yang punya indekosnya," ucap salah satu warga yang memang tengah hadir dan menyaksikan. Tanti menganggukkan kepala, memberi pertanda jika apa yang diutarakan oleh warga tersebut adalah benar. Detik itu juga Tanti langsung diinterogasi oleh pihak kepolisian, mengenai bagaimana kejadian dan juga informasi yang memang sangat dibutuhkan oleh pihak kepolisian tersebut. Sebenarnya, sangat tak bisa dipungkiri, jika saat mendapat
Tanti mengerutkan kening kembali begitu melihat pesan Dinda, salah satu mahasiswa yang berada di indekos itu. Sedari tadi, perempuan itu menceritakan jika tadi ia mendengar suara tangis dari arah kamar Lina, juga suara teriakan yang menyayat hati. Meskipun begitu, tak ada yang bisa dilakukan oleh Dinda, karena ia tidak ingin mengambil resiko jika sampai arwah dari teman indekosnya itu justru akan menghantuinya. Di akhir pesan yang dikirim juga, Dinda mengutarakan kalimat maaf, jika ia tidak bisa untuk melakukan apa-apa. Seperti menolong Tanti, karena rasa takut juga sudah sangat menyelimuti Dinda saat ini. "Bu ... tolongin Lina. Lina enggak mau kayak gini, Lina nyesel, Bu. Harusnya Lina masih hidup dan bisa ketawa-ketawa," lirih Lina tiba-tiba, hingga mengalihkan fokus Tanti secara mendadak. "Maafin Ibu Lina, tapi kita udah beda dunia dan Ibu juga takut jika harus keluar dari kamar buat ketemu sama kamu," gumam Tanti, dengan suara yang cukup pelan. Bertepatan dengan jawaban dar
Dinda tak ingin semakin membuang waktunya untuk tetap terus berada di indekos tersebut, dengan segera saja tangan sebelah kanannya merogoh saku celana, lalu meraih ponsel yang ia punya. Menghubungi nomor dari salah satu temannya yang memang sudah dekat.Ia berharap banyak jika temannya itu akan mau menampung dirinya untuk sementara waktu saja, Dinda sangat yakin, jika ia pasti tidak akan bisa tenang tinggal di indekos tersebut. "Halo, Mel, aku mau minta tolong sesuatu ke kamu, boleh atau enggak?" tanya Dinda, basa-basi terlebih dulu, tidak langsing ke dalam inti pembicaraan, karena memang sungguh rasanya sangat tak enak sekali. Sedikit malu dan juga merasa pasti akan sangat mengganggu. Namun, karena rasa takut dan juga khawatir akan apa yang ia alami nanti malam, dan Dinda juga tak ingin jika nasibnya akan sama sepeti Tanti. "Iya, Din, kenapa ya? Kamu mau minta tolong apa? Kok suara kamu kayak yang lagi ga tenang gitu sih?" sahut Amel, teman Dinda yang ternyata langsung peka dengan
"Kamu enggak kenapa-kenapa kan, Din?" Pertanyaan Amel memecah keheningan di antara mereka berdua, pasalnya memang sedari tadi Amel sudah merasa sangat penasaran. Namun, Dinda tak kunjung membuka suara, untuk dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Alhamdulillah, aku enggak kenapa-napa kok, tapi ibu kos aku, Mel." Jawaban yang diutarakan oleh Dinda barusan menggunakan nada bicara yang sangat lemah. Hal itu tentu saja membuat Amel merasa sangat aneh, tetapi ia hanya bisa memastikan temannya itu lewat kaca spion motornya saja. Sebenarnya, ia terkejut dengan jawaban tadi, tetapi Amel memiliki inisiatif untuk tidak mengutarakan pertanyaan apa pun, sampai nanti Dinda sendiri yang bercerita. ****** "Ibu kos ... udah enggak ada. Jujur aku kaget dan enggak nyangka banget, orang yang udah aku anggap kayak orangtua aku sendiri, justru pergi dengan begitu cepet," gumam Dinda, sangat menyiratkan kesedihan sekali. Amel mendengarkan apa yang dituturkan oleh Dinda, dengan pandangan
"Mel, ibu kos yang udah meninggal nelepon aku, Mel. Aku angkat enggak ya?" tutur Dinda begitu sadar dari lamunannya.Dengan cepat, ia menyerahkan ponsel miliknya dan menunjukkan layar ponsel yang terpampang sangat jelas nama pemilik indekos. "Eum ... bisa jadi itu salah satu keluarganya. Kamu terakhir ada komunikasi enggak sama ibu kosan kamu itu?" Amel memberikan rasa tenang ada Dinda, sehingga ada keberanian yang langsung muncul dan memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Dinda memencet tombol berwarna hijau, yang menandakan jika panggilan tersebut ia terima. Meskipun dirinya masih ada sedikit rasa takut dan juga khawatir, tetapi sebisa mungkin ia menepis semua hal tersebut. Bukan hanya Dinda saja yang akan mendengarkan pembicaraan dari telepon tersebut, tetapi Dinda memang sangat sengaja untuk mengaktifkan loudspeaker. Tentu saja supaya Amel juga dapat mendengar apa yang akan dibahas. "Tolong ...." Suara tersebut yang pertama kali didengar, baik oleh Dinda dan juga Amel.