"Ayah, aku mau rumah ini dijual!" ucap Ressa tiba-tiba.
Zaki yang sedang memeriksa berkas menghentikan aktivitasnya, matanya menatap Ressa heran."Kenapa?""Rumah ini horor aku gak tenang tinggal di rumah ini!" teria Ressa menggebu gebu. Kejadian di sekolah membuatnya berontak, Ressa tidak bisa menerima saat Sekar meyebutnya anak pesugihan."Jangan bicara aneh-aneh kamu cepat masuk!" seru Zaki tidak suka. Ressa pulang sekolah langsung marah-marah tidak jelas."Tapi, aku berkata jujur," sahut Ressa memelas. Ressa mulai muak dengan hidupnya, yang tiba-tiba ada teror entah dari mana datangnya, dan entah apa tujuannya."Sudah Papah pikirkan, kita akan pergi ke kota, tapi setelah kamu lulus sekolah," ujar Zaki tegas.Ressa menundukkan kepalanya, lulus sekolah masih lama, sekarang baru menginjak semester pertama berarti 6 bulan lagi Ressa harus bertahan.Ressa mendesah pelan sebelum meninggalkan Zaki yang sedang bermesraan dengan Dea. Sampai di kamar, Ressa merebahkan tubuhnya, menatap langit langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh.Setelah kejadian aneh yang selalu menimpanya, Ressa selalu menyimpan rasa curiga terhadap siapapun dan juga kewaspadaan di mana pun Ressa berada.Ressa mengambil ponselnya yang di simpan di dalam laci. Tiba-tiba sesuatu yang lengket mengenai tangannya. Dengan perasaan cemas Ressa menarik tangannya perlahan."Darah," gumam Ressa pelan.Walaupun jantungnya berpacu sangat kencang, Ressa berusaha mengendalikan dirinya, berusaha tetap tenang dan segera membasuh tangannya ke kamar mandi.BRAKPintu kamar mandi tiba-tiba saja tertutup dengan sendirinya. Ressa melirik kanan dan kiri tidak ada siapapun di sana.Dengan perasaan campur aduk Ressa mendekati pintu kamar mandinya."A-apa ada orang di sana?" teriak Ressa memberanikan diri."Tentu saja."Tiba-tba dari luar sana ada yang menjawab pertanyaan Ressa. Suaranya serak dan sedikit berbisik.Bulu kuduk Ressa berdiri, tubuhnya bergetar sekarang, Ressa benar-benar takut. Tubuh Ressa luruh ke bawah, Ressa terduduk di lantai. Isak tangisnya mulai terdengar Ressa tidak bisa menahannya lagi.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar dan menpakan secarik kertas yang tergantung di ambang pintu.BUKAN WAKTU YANG TEPAT MEMBUNUHMU SEKARANGDengan tubuh yang masih gemetar, Ressa menarik kertas itu sekuat tenaga, menyobeknya tidak beraturan, lekas membuangnya pada tempat sampah."Dia bukan hantu." Ressa menenangkan dirinya sendiri.Perlahan Ressa melangkahkan kakinya keluar berbekal pel yang tersedia di kamar mandinya.Tidak ada siapapun, saat Ressa mulai menelusuri kamarnya. Pintu menuju balkon kamarnya pun masih terkunci rapat. Hanya pintu saat masuk ke kamarnya saja yang tidak Ressa kunci.Dengan cepat Ressa mengganti pakaiannya dan memasukan beberapa keperluan ke dalam tasnya, tidak lupa ponsel pun turut Ressa masukan. Setelah selesai, Ressa berlari menuruni tangga."Ressa mau kemana kamu?" tanya Zaki heran."Apa tadi ada tamu yang datang?"Bukannya menjawab Ressa malah balik bertanya."Tidak ada. Kamu mau kemana?" tanya Zaki lagi."Malam ini aku mau nginap di rumah Andini, kebetulan besok hari minggu. Gak papa, kan?" Ressa meminta ijin terlebih dahulu."Baiklah, untuk malam ini saja," ujar Zaki mengijinkan putrinya."Terimakasih, Ayah." Ressa langsung berlari ke depan rumahnya. Tidak lupa, sebelum berangkat Ressa berpesan pada Tio agar memperhatikan Zaki dan Dea.Ressa menghirup udara banyak banyak sebelum melangkah. Sebenarnya, pemukiman di mana Ressa tinggal tidak begitu sepi, di dekat rumah Ressa terdapat 2 tetangga yang selalu ada di rumahnya, seperti pada umumnya pagi ke sawah dan sore harinya pulang.Dengan mengucapkan basmallah terlebih dahulu, Ressa mulai melangkahkan kakinya. Rumah Ressa dan Andini tidak begitu jauh hanya terhalang kebun singkong saja, di mana Wulan kehilangan nyawanya. Sepanjang perjalanan hati Ressa tidak tenang, di belakangnya seperti ada yang mengikutinya.Srek"Siapa itu!?" teriak Ressa spontan langsung menoleh ke belakang. Namun, tidak ada siapa-siapa hanya dedaunan yang bergoyang yang Ressa lihat.Ressa kembali melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk dan langkah kaki yang cepat.JedukTiba-tiba Ressa menabrak sesuatu yang keras, bisa Ressa lihat dia memakai baju yang serba hitam."Aaaaaaaaaaaaaaaaaa ....!" Ressa teriak begitu histeris, Ressa lari terpontang-panting tidak tentu arah. Banyak duri yang menusuk telapak kaki sampai betisnya, tapi tidak Ressa rasakan yang terpenting baginya adalah meyelamatkan diri.Ressa bersembunyi di balik semak-semak. Ressa membekap mulutnya erat. Bisa Ressa lihat si pembawa kapak itu celingukan mencarinya. Tiba-tiba saja dia mencopot topeng wajahnya. Tapi sangat di sayangkan, Ressa tidak bisa melihatnya karena dia membelakangi dirinya."Sial," umpatnya bisa terdengar oleh Ressa.Dia kembali memakai topengnya dan berjalan seperti seorang pencuri, ternyata dia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.Ressa menghembuskan nafasnya lega setelah melihat orang bertopeng itu jauh darinya. Setelah cukup lama bersembunyi, Ressa keluar dengan tubuh yang masih bergetar. Ressa terpaksa menelpon Andini untuk menjemputnya."Gimana biasakan?" tanya Ressa dengan suara pelan, takut orang misterius itu kembali lagi."Baiklah tunggu di sana," sahut Andini di sebrang telpon.Ressa mulai berjalan sedikit demi sedikit. Sekarang kakinya terasa lecet apalagi bagian telapak kakinya sangat sakit, sepertinya ada duri yang menancap di bagian telapak kakinya itu.Dengan langkah pincang, Ressa mendekati batu kemudian duduk di atasnya.Senyuman Ressa merekah, terlihat Andini melambaikan tangan ke arahnya."Ressa kamu gak papa?" tanya Andini cemas."Kakiku sakit sepertinya kena tusukan duri," jawab Ressa sambil meringis menahan sakit."Sini aku bantu."Dengan cekatan, Andini pun menggandeng Ressa.Ressa tidak menolaknya, karena memang dia sedang butuh bantuan."Terimakasih Andini," kata Ressa setelah mereka sampai."Tidak papa, ayo langsung masuk aja, maaf ya rumahku emang kayak gini sangat jauh sama rumah kamu," ujar Andini merendah."Jangan gitu Andini, ini rumah ternyaman bagiku," ucap Ressa jujur, karena memang itu kebenarannya.Memang secara ekonomi, Andini sangat jauh sekali. Rumahnya saja masih panggung dan lantainya terbuat dari bambu. Berbeda dengan rumah Ressa yang sangat mewah tapi banyak teka-teki di dalamnya."Sini aku cabut durinya," kata Andini yan langsung menarik kaki Ressa ke hadapannya. Berbekal obat seadanya Andini mencoba mencabut duri dari kaki Ressa."A-aakkhhh Andini gak usah biar aku saja," ucap Ressa meringis kesakitan."Gak papa, kamu kok bisa kayak gini sini sih Ress? Perasaan jalan menuju rumahku baik baik saja," tanya Ressa heran."Walaupun aku ceritakan kamu gak akan percaya Andin, kalau orang misterius itu selalu mengikutiku." Ressa menjawab dengan membuang mukanya."Maaf Ressa," ujar Andini merasa bersalah.Sejenak mereka terdiam sambi membersihkan luka di kaki Ressa.Beberapa menit kemudian paman dan bibinya Andini sudah pulang dari sawah. Andini menyambut mereka dengan suka cita. Ya, Andini sudah tidak punya orang tua, dan sekarang dia tinggal bersama paman dan bibinya."Nak Ressa sudah lama disini ?" tanya Ima, bibi Andini."Baru kok Bi, maaf jika menganggu aku mau nginap disini satu malam saja," ujar Ressa sambil menunduk. Walaupun Ressa sering main tapi ini pertama kalinya Ressa bermalam."Sering-sering juga gak papa, justru kami senang rumah semakin rame sekarang," Kata Ima terseyum.Namun, tidak jauh dari sana seseorang tersenyum sinis ketika mendengar Ressa akan bermalam di sana."Tunggu aku di sana, Ressa."Malam sudah tiba, Andini menggelegar karpet di kamarnya karena kasurnya yang kekecilan tidak muat untuk tidur berdua, jadi Andini menghubungkannya dengan karpet. Selesai menggelar karpet, Andini menyiapkan bantal dan juga selimutnya untuk Ressa."Terimakasih yah kamu baik banget selalu ada untuk aku, andai tidak ada kamu entah harus kemana aku pergi," ucap Ressa melihat Andini yang sedang menyiapkan tempat tidur untuknya"Tidak masalah, kita kan sahabat," balas Andini terseyum."Maaf ya aku selalu merepotkan,""Jangan seperti itu, aku sudah anggap kamu keluarga," Andini merangkul bahu Ressa."Terimakasih Andini," ujar Ressa yang beringsut ke tempat tidur. Kakinya masih perih, karena banyaknya luka akibat gesekan dari tumbuhan yang berduri."Istirahatlah aku mau ke belakang dulu bantu Bibi."Ressa menjawabnya dengan anggukan kepala. Sepeninggalan Andini, Ressa membaringkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit langit yang terbuat dari anyaman bambu memikirkan kehidupannya yang
"Aldo," seru Ressa kaget. Dia pikir orang misterius itu kembali, tapi ternyata yang ada di belakangnya adalah Aldo, teman sekelasnya."Maaf, aku bikin kamu kaget." Aldo berlari kecil menghampiri Ressa."Oh tidak," kata Ressa menepi. Berjalan kembali tidak memperdulikan kehadiran Aldo. Ressa ingin segera sampai. Hatinya sedang tidak tenang, Ressa tidak ingin berbicara dengan siapa pun."Aku duluan," ucap Ressa, kemudian berlari menerobos hujan yang sudah mulai reda. Ressa tidak peduli saat Aldo memanggilnya, itu tidak penting baginya.Tidak berapa lama, Ressa sudah sampai di rumahnya. Dengan tubuh menggigil, Ressa memaksakan diri masuk setelah gedoran pintu tidak ada yang membukanya."Ressa!" tiba-tiba seseorang memanggilnya begitu keras.Ressa mendongak ke atas, melihat Zaki yang sedang berkacak pinggang di sana."Kenapa kamu masuk dalam keadaan basah kuyup seperti ini? Astaga ...." Zaki menghampiri Ressa yang mematung menatapnya."Pantas tidak ada yang membuka pintu, pantas sampai ti
Ressa memandang foto tersebut. Wajahnya begitu rupawan, dengan tahi lalat di dagunya menambah kesan manis pada foto wanita itu.Senyumannya terukir begitu tulus, memakai sanggul, dan kebaya berwarna putih. Ressa, kemudian membalikan foto tersebut."Kehancuran," gumam Ressa pelan.Ressa, menatap tulisan tersebut yang berada di balik foto. Heran, sudah pasti dia rasakan. Hatinya pun bertanya-tanya, tentang siapa wanita cantik itu? Kenapa bisa berada di ruangan kerja Ayahnya?"Ehh, Bibi ngapain di sini?" tanya Ressa kaget. Saat mau keluar dari ruang kerja Zaki, Rosmi berdiri di ambang pintu."Maaf Non, ada Pak Tomo bersama Mutia," kata Rosmi mengatakan tujuannya. "Oh, terimakasih," ujar Ressa, kemudian berlalu dari hadapan Rosmi. Tidak lupa Ressa mengunci ruangan kerja Ayahnya. Beruntung hanya Ressa dan Zaki saja yang punya kunci ruangan tersebut. Ressa, turun ke bawah dengan langkah kaki tergesa. Tampak Tono dan Mutia tengah duduk di ruang tamu. "Apa kabar, Non Ressa?" Tomo berdiri saat
Ressa tersentak kaget, batu sebesar bola kasti mengenai tanah, tepatnya di belakang Ressa. Ressa memperhatikan batu yang menggelinding ke arahnya. Matanya menatap seluruh penjuru di sekitarnya."Hey berhenti!" teriak Ressa tiba-tiba saat melihat daun yang bergoyang tidak jauh di mana dia berdiri. Ressa, tidak menghiraukan panggilan Dea yang ketakutan sendirian. Ressa lebih mementingkan orang yang berani mengerjainya. Ressa, terus berlari hingga sampai di tepi sungai. Ressa, celingukan mencari sosok yang sempat dia lihat. Namun, tidak ada siapa pun di sana, Ressa kehilangan jejak."Kamu mencariku."Suara itu kembali, suara yang sudah tidak asing di telinga Ressa. Dengan gerakan perlahan, Ressa memutar tubuhnya.Plak"Aaawwww, hey .... Apa yang kamu lakukan?"Ressa terperanjat, suara itu berganti. Padahal Ressa dengan jelas mendengar suara si pemilik kapak tersebut."Tante ngapain di sini?" tanya Ressa heran."Ya jelas nyusul kamulah!" jawab Dea marah. Saat itu, Ressa memang berbalik de
"Andini, apa kamu kenal dengan foto ini?" tanya Ressa memperlihatkan foto yang dia bawa. "Aku tidak tahu, Ressa." Andini menjawab begitu singkat, setelah beberapa saat dia terdiam."Coba kamu perhatikan dulu, Andini," pinta Ressa memelas."Aku tidak mengenalnya, Ressa. Kalau pun aku tahu pasti aku akan memberitahu semuanya. Sayangnya aku tidak tahu," kata Andini, kemudian sibuk kembali dengan bacaan di depannya.Ressa termenung, sudah dari semalam dia memikirkan foto tersebut. Dari riasannya, terlihat wanita tersebut seperti seorang pengantin. Ressa memperhatikan foto tersebut dengan teliti, tapi tetap saja Ressa tidak tahu siapa dia."Mungkin itu ibumu saat masih muda," celetuk Andini, saat melihat Ressa bengong."Ibuku tidak punya tahi lalat. Tunggu .... Kenapa wajah kamu bagitu mirip dengan foto ini." Resa membandingkan foto yang berada di tangannya dengan Andini di depannya. "Bukannya di dunia ini setiap manusia memiliki 7 kembaran? Jangan berpikir kalau dia adalah ibuku. Aku m
"Jaga bicaramu, Sekar!" seru Ressa penuh tekanan. Ressa tidak percaya dengan apa yang Sekar katakan. Jika benar Ayahnya menyembah sesuatu untuk kepentingan dunia, maka tidak mungkin kepalanya kena hantaman kapak. Tidak mungkin sesuatu yang disembah, melukai penyembahnya dengan cara tidak masuk akal. Lagipula luka yang Zaki alami bisa diobati dengan tenaga medis. Orang misterius itu juga melayang menggunakan tali, bukan menghilang meninggalkan kepulan asap."Aku melihatnya dengan kepalaku sendiri," kata Sekar dengan tatapan begitu yakin."Omong kosong macam apa ini? Atau mungkin kamu dibalik semua ini?" "Apa maksudmu?" tanya Sekar heran.Ressa terdiam, tidak mungkin jika dia harus menceritakan teror yang dialaminya pada Sekar."Jangan pura-pura kamu! Ada masalah apa kamu dengan keluargaku!?""Hahaha .... Dasar orang gila," gumam Sekar, kemudian meninggalkan Ressa yang masih diselimuti amarah."Ressa, ayo masuk," ajak Andini."Andini, apa Sekar termasuk dalam hal ini?" tanya Ressa denga
"Non, ini saya, Tomo."Ressa menghentikan teriaknya. Matanya terbuka secara perlahan. Sedikit demi sedikit orang yang berada di depannya terlihat jelas. Tomo berdiri dengan jas hujan warna hitam melekat di tubuhnya, serta cangkul yang dia pikul di atas bahunya. Untuk sekilas Tomo memang terlihat seperti hantu, apalagi rambutnya yang panjang terlihat begitu menyeramkan."Pa-Pak Tomo," kata Ressa tergagap."Iya Non, ini saya. Tadi saya kehujanan dan pulangnya kemalaman, banyak pekerjaan yang tadi saya kerjakan," ucap Tomo menahan rasa dingin di tubuhnya."Kenapa harus lewat pintu utama?" tanya Ressa heran. "Pintu belakang terkunci, sepertinya Rosmi sengaja menutupnya," jelas Tomo.Ressa menghela nafasnya. Jelas terkunci karena memang ini sedang hujan dan pintu belakang sedikit rusak apalagi dalam keadaan hujan."Masuk, Pak."Tidak banyak bicara lagi, Ressa menyuruh Tomo untuk masuk. Namun sebelum itu, Ressa menyuruh Tomo agar melepas jas hujannya dulu."Tomo," seru Zaki heran, Tomo data
"Saya kurang tahu, Non," jawab Tio.Perlahan Ressa bangkit sambil menahan nyeri di bagian lehernya. Orang rumah tidak ada yang bangun, selain Tio. Aneh, padahal keributan terjadi cukup lama dan menimbulkan suara keras."Biar saya bantu, Non," kata Pak Tio menawarkan bantuan."Tidak usah Pak, terimakasih. Bapak istrirahat saja sepertinya Pak Tio kelelahan," ucap Ressa menolak secara halus. Ressa berjalan ke atas kamarnya kembali. Namun tiba-tiba saja ...."Aaaaaaaaa .... "Ressa terpleset tepat saat dia akan menginjak tangga terakhir. Tubuhnya menggelinding ke bawah, kepalanya juga beberapa kali terbentur. Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya, tulang-tulangnya terasa linu akibat benturan pada tangga. "Pak Tio .... " panggil Ressa dengan suara lemah. Dia tidak bisa berdiri walaupun sudah beberapa kali mencobanya, kakinya keseleo. Tio pun tidak nampak batang hidungnya saat dia memanggilnya, mungkin Tio sudah kembali beristirahat di kamarnya. Ressa beringsut mendekati anak tangga, ke