Share

Bab 4 : Menampakkan Diri

"Ayah, aku mau rumah ini dijual!" ucap Ressa tiba-tiba.

Zaki yang sedang memeriksa berkas menghentikan aktivitasnya, matanya menatap Ressa heran.

"Kenapa?"

"Rumah ini horor aku gak tenang tinggal di rumah ini!" teria Ressa menggebu gebu. Kejadian di sekolah membuatnya berontak, Ressa tidak bisa menerima saat Sekar meyebutnya anak pesugihan.

"Jangan bicara aneh-aneh kamu cepat masuk!" seru Zaki tidak suka. Ressa pulang sekolah langsung marah-marah tidak jelas.

"Tapi, aku berkata jujur," sahut Ressa memelas. Ressa mulai muak dengan hidupnya, yang tiba-tiba ada teror entah dari mana datangnya, dan entah apa tujuannya.

"Sudah Papah pikirkan, kita akan pergi ke kota, tapi setelah kamu lulus sekolah," ujar Zaki tegas.

Ressa menundukkan kepalanya, lulus sekolah masih lama, sekarang baru menginjak semester pertama berarti 6 bulan lagi Ressa harus bertahan.

Ressa mendesah pelan sebelum meninggalkan Zaki yang sedang bermesraan dengan Dea. Sampai di kamar, Ressa merebahkan tubuhnya, menatap langit langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh.

Setelah kejadian aneh yang selalu menimpanya, Ressa selalu menyimpan rasa curiga terhadap siapapun dan juga kewaspadaan di mana pun Ressa berada.

Ressa mengambil ponselnya yang di simpan di dalam laci. Tiba-tiba sesuatu yang lengket mengenai tangannya. Dengan perasaan cemas Ressa menarik tangannya perlahan.

"Darah," gumam Ressa pelan.

Walaupun jantungnya berpacu sangat kencang, Ressa berusaha mengendalikan dirinya, berusaha tetap tenang dan segera membasuh tangannya ke kamar mandi.

BRAK

Pintu kamar mandi tiba-tiba saja tertutup dengan sendirinya. Ressa melirik kanan dan kiri tidak ada siapapun di sana.

Dengan perasaan campur aduk Ressa mendekati pintu kamar mandinya.

"A-apa ada orang di sana?" teriak Ressa memberanikan diri.

"Tentu saja."

Tiba-tba dari luar sana ada yang menjawab pertanyaan Ressa. Suaranya serak dan sedikit berbisik.

Bulu kuduk Ressa berdiri, tubuhnya bergetar sekarang, Ressa benar-benar takut. Tubuh Ressa luruh ke bawah, Ressa terduduk di lantai. Isak tangisnya mulai terdengar Ressa tidak bisa menahannya lagi.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar dan menpakan secarik kertas yang tergantung di ambang pintu.

BUKAN WAKTU YANG TEPAT MEMBUNUHMU SEKARANG

Dengan tubuh yang masih gemetar, Ressa menarik kertas itu sekuat tenaga, menyobeknya tidak beraturan, lekas membuangnya pada tempat sampah.

"Dia bukan hantu." Ressa menenangkan dirinya sendiri.

Perlahan Ressa melangkahkan kakinya keluar berbekal pel yang tersedia di kamar mandinya.

Tidak ada siapapun, saat Ressa mulai menelusuri kamarnya. Pintu menuju balkon kamarnya pun masih terkunci rapat. Hanya pintu saat masuk ke kamarnya saja yang tidak Ressa kunci.

Dengan cepat Ressa mengganti pakaiannya dan memasukan beberapa keperluan ke dalam tasnya, tidak lupa ponsel pun turut Ressa masukan. Setelah selesai, Ressa berlari menuruni tangga.

"Ressa mau kemana kamu?" tanya Zaki heran.

"Apa tadi ada tamu yang datang?"

Bukannya menjawab Ressa malah balik bertanya.

"Tidak ada. Kamu mau kemana?" tanya Zaki lagi.

"Malam ini aku mau nginap di rumah Andini, kebetulan besok hari minggu. Gak papa, kan?" Ressa meminta ijin terlebih dahulu.

"Baiklah, untuk malam ini saja," ujar Zaki mengijinkan putrinya.

"Terimakasih, Ayah." Ressa langsung berlari ke depan rumahnya. Tidak lupa, sebelum berangkat Ressa berpesan pada Tio agar memperhatikan Zaki dan Dea.

Ressa menghirup udara banyak banyak sebelum melangkah. Sebenarnya, pemukiman di mana Ressa tinggal tidak begitu sepi, di dekat rumah Ressa terdapat 2 tetangga yang selalu ada di rumahnya, seperti pada umumnya pagi ke sawah dan sore harinya pulang.

Dengan mengucapkan basmallah terlebih dahulu, Ressa mulai melangkahkan kakinya. Rumah Ressa dan Andini tidak begitu jauh hanya terhalang kebun singkong saja, di mana Wulan kehilangan nyawanya. Sepanjang perjalanan hati Ressa tidak tenang, di belakangnya seperti ada yang mengikutinya.

Srek

"Siapa itu!?" teriak Ressa spontan langsung menoleh ke belakang. Namun, tidak ada siapa-siapa hanya dedaunan yang bergoyang yang Ressa lihat.

Ressa kembali melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk dan langkah kaki yang cepat.

Jeduk

Tiba-tiba Ressa menabrak sesuatu yang keras, bisa Ressa lihat dia memakai baju yang serba hitam.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa ....!" Ressa teriak begitu histeris, Ressa lari terpontang-panting tidak tentu arah. Banyak duri yang menusuk telapak kaki sampai betisnya, tapi tidak Ressa rasakan yang terpenting baginya adalah meyelamatkan diri.

Ressa bersembunyi di balik semak-semak. Ressa membekap mulutnya erat. Bisa Ressa lihat si pembawa kapak itu celingukan mencarinya. Tiba-tiba saja dia mencopot topeng wajahnya. Tapi sangat di sayangkan, Ressa tidak bisa melihatnya karena dia membelakangi dirinya.

"Sial," umpatnya bisa terdengar oleh Ressa.

Dia kembali memakai topengnya dan berjalan seperti seorang pencuri, ternyata dia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Ressa menghembuskan nafasnya lega setelah melihat orang bertopeng itu jauh darinya. Setelah cukup lama bersembunyi, Ressa keluar dengan tubuh yang masih bergetar. Ressa terpaksa menelpon Andini untuk menjemputnya.

"Gimana biasakan?" tanya Ressa dengan suara pelan, takut orang misterius itu kembali lagi.

"Baiklah tunggu di sana," sahut Andini di sebrang telpon.

Ressa mulai berjalan sedikit demi sedikit. Sekarang kakinya terasa lecet apalagi bagian telapak kakinya sangat sakit, sepertinya ada duri yang menancap di bagian telapak kakinya itu.

Dengan langkah pincang, Ressa mendekati batu kemudian duduk di atasnya.

Senyuman Ressa merekah, terlihat Andini melambaikan tangan ke arahnya.

"Ressa kamu gak papa?" tanya Andini cemas.

"Kakiku sakit sepertinya kena tusukan duri," jawab Ressa sambil meringis menahan sakit.

"Sini aku bantu."

Dengan cekatan, Andini pun menggandeng Ressa.

Ressa tidak menolaknya, karena memang dia sedang butuh bantuan.

"Terimakasih Andini," kata Ressa setelah mereka sampai.

"Tidak papa, ayo langsung masuk aja, maaf ya rumahku emang kayak gini sangat jauh sama rumah kamu," ujar Andini merendah.

"Jangan gitu Andini, ini rumah ternyaman bagiku," ucap Ressa jujur, karena memang itu kebenarannya.

Memang secara ekonomi, Andini sangat jauh sekali. Rumahnya saja masih panggung dan lantainya terbuat dari bambu. Berbeda dengan rumah Ressa yang sangat mewah tapi banyak teka-teki di dalamnya.

"Sini aku cabut durinya," kata Andini yan langsung menarik kaki Ressa ke hadapannya. Berbekal obat seadanya Andini mencoba mencabut duri dari kaki Ressa.

"A-aakkhhh Andini gak usah biar aku saja," ucap Ressa meringis kesakitan.

"Gak papa, kamu kok bisa kayak gini sini sih Ress? Perasaan jalan menuju rumahku baik baik saja," tanya Ressa heran.

"Walaupun aku ceritakan kamu gak akan percaya Andin, kalau orang misterius itu selalu mengikutiku." Ressa menjawab dengan membuang mukanya.

"Maaf Ressa," ujar Andini merasa bersalah.

Sejenak mereka terdiam sambi membersihkan luka di kaki Ressa.

Beberapa menit kemudian paman dan bibinya Andini sudah pulang dari sawah. Andini menyambut mereka dengan suka cita. Ya, Andini sudah tidak punya orang tua, dan sekarang dia tinggal bersama paman dan bibinya.

"Nak Ressa sudah lama disini ?" tanya Ima, bibi Andini.

"Baru kok Bi, maaf jika menganggu aku mau nginap disini satu malam saja," ujar Ressa sambil menunduk. Walaupun Ressa sering main tapi ini pertama kalinya Ressa bermalam.

"Sering-sering juga gak papa, justru kami senang rumah semakin rame sekarang," Kata Ima terseyum.

Namun, tidak jauh dari sana seseorang tersenyum sinis ketika mendengar Ressa akan bermalam di sana.

"Tunggu aku di sana, Ressa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status