Share

Bab 6 : Hantaman Kapak

"Aldo," seru Ressa kaget. Dia pikir orang misterius itu kembali, tapi ternyata yang ada di belakangnya adalah Aldo, teman sekelasnya.

"Maaf, aku bikin kamu kaget." Aldo berlari kecil menghampiri Ressa.

"Oh tidak," kata Ressa menepi. Berjalan kembali tidak memperdulikan kehadiran Aldo. Ressa ingin segera sampai. Hatinya sedang tidak tenang, Ressa tidak ingin berbicara dengan siapa pun.

"Aku duluan," ucap Ressa, kemudian berlari menerobos hujan yang sudah mulai reda. Ressa tidak peduli saat Aldo memanggilnya, itu tidak penting baginya.

Tidak berapa lama, Ressa sudah sampai di rumahnya. Dengan tubuh menggigil, Ressa memaksakan diri masuk setelah gedoran pintu tidak ada yang membukanya.

"Ressa!" tiba-tiba seseorang memanggilnya begitu keras.

Ressa mendongak ke atas, melihat Zaki yang sedang berkacak pinggang di sana.

"Kenapa kamu masuk dalam keadaan basah kuyup seperti ini? Astaga ...." Zaki menghampiri Ressa yang mematung menatapnya.

"Pantas tidak ada yang membuka pintu, pantas sampai tidak terdengar, Ayah malah bermesraan di tengah derasnya hujan seperti ini. Aku sudah lelah mengetuk pintu. Jangan bilang ada Pak Tio dan Bi Rosmi karena mereka sedang tidak ada." Ressa berbicara terlebih dahulu sebelum Zaki mengatakan sesuatu. Ressa tahu, Zaki marah padanya, tapi Ressa pun lebih marah karena Zaki dan Dea terlalu dekat. Dea tidak tahu malu.

Ressa melanjutkan langkahnya, tidak peduli tetes demi tetes air yang membasahi lantai. Zaki pun tidak berbicara, karena dia merasa salah. Dia malah sibuk dengan Dea di ruang kerjanya.

"Mas, Pak Tio dan Bi Rosmi emangnya kemana?" tanya Dea penasaran.

"Setiap hari sabtu, mereka memang selalu keluar untuk berbelanja bulanan. Karena toko di sini kurang lengkap, jadi mereka pergi ke kota," jelas Zaki.

"Ohh, terus kapan kamu mau halalin aku," ucap Dea begitu manja.

Dor ....

Prang ....

Zaki dan Dea terperanjat, bukan suara kilat yang mereka dengar tapi itu suara pistol melepaskan peluru.

"Mas, lampunya mati," bisik Dea dengan tangan bergetar.

"Ka-kamu tenang Sayang, ini gak akan lama," kata Zaki terdengar gugup.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore, suasana yang lumayan mencekam untuk daerah perkampung. Keadaan yang remang-remang membuat Zaki dan Dea tidak begitu jelas melihat keadaan sekitarnya.

Aaaaaaaaaa ....

"Ressa!" sontak Zaki berbalik arah, jeritan itu tidak salah lagi, itu pasti Ressa.

Dengan langkah tergesa, Zaki berlari ke kamar putrinya. Dea berjalan terseok-seok mengimbangi langkah Zaki. Mata Zaki melotot, saat matanya melihat sesuatu di balik kaca putrinya. Pria berjubah itu kembali, dengan topeng berwajah buruk rupa dan mulut yang miring. Dia berdiri tegak dengan kapak penuh darah. Untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar. Tidak ada yang Zaki lakukan selain menatap lurus ke arah pria tersebut. Ressa yang terjengkang tidak jauh darinya dia biarkan saja.

"Apa yang di maksud dengan balas budi?" suara serak dari pria tersebut menyadarkan Zaki yang hampir kehilangan kesadaran.

Prang ....

"Ressa ...."

Kaca berukuran besar berserakan di lantai. Senjata yang berupa kapak itu telah menghancurkannya. Ressa menyilangkan  tangan di depan wajahnya, melindungi serpihan kaca yang beterbangan. Zaki dan Dea menghampiri Ressa.

"Siapa kau?! Buka topengmu jangan menjadi seorang pecundang!" teriak Zaki dengan tangan terkepal kuat. Zaki menghampiri pria tersebut dengan emosi yang meluap-luap.

Duk

Belum sampai Zaki memukulnya, kepalanya kena hantam kapak lebih dulu. Darah tidak bisa dibendung, keningnya yang terluka lebar mengeluarkan darah yang begitu banyak.

"Aaahh, kenapa bisa seperti ini?" gerutu Dea panik sendiri. Niat ingin refreshing ke pedesaan asri karena stres dengan pekerjaan, justru Dea malah semakin stress. Apalagi di suguhkan dengan momen seperti ini.

"Ayo Ayah, biar aku bantu." Ressa memapah Zaki, setelah pria berkapak itu pergi melayang ke bawah.

Untuk sekarang, Ressa tidak bisa berpikir jernih. Orang misterius itu tiba-tiba saja datang saat dia membuka gorden. Ressa, turun ke bawah dengan sapu tangan di kening Zaki, agar darah tidak keluar banyak.

"Pak Tio .... Pak Tio .... " teriak Ressa, yang kebetulan melihat mobil yang baru saja memasuki halaman. Dengan langkah yang di percepat, Ressa berhasil sampai di depan rumahnya.

"Pak Tio, keluarkan lagi mobilnya, Ayah terluka," teriak Ressa panik. Tubuhnya sudah sempoyongan, karena Zaki sudah setengah sadar. Dea tidak membantunya, dia hanya mengikuti dari belakang.

"Tuan, kenapa Non?" tanya Rosmi kaget.

"Ayah kecelakaan. Bibi tolong bereskan kamarku, hati-hati ada pecahan kaca di sana," jawab Ressa sekaligus memerintah.

"Ya ampun Tuan, kenapa bisa seperti ini?" 

Dengan sigap, Tio menggantikan posisi Ressa, lalu memapah Zaki ke dalam mobil.

"Tante gak usah ikut, biar aku saja. Tante bisa bantu Bibi beresin kamar," kata Ressa mencegat Dea yang hendak masuk.

"Anak kecil tahu apa, minggir!" 

"Tidak, sudah ada Pak Tio yang membantuku, terimakasih." Tanpa pikir panjang, Ressa langsung masuk dan memerintahkan Tio agar menjalankan mobilnya.

Sepanjang perjalanan, Ressa tidak bisa fokus. Matanya terpejam dengan pikiran melayang. Ressa sedang memikirkan perkataan pria tadi. 

"Balas budi?" gumam Ressa pelan.

Pertanyaan-pertanyaan lain mulai muncul di hati Ressa. Nyawa? Balas budi?

"Kita sudah sampai." Tio membuyarkan lamunan Ressa.

"Ayo bantu aku bawa Ayah," kata Ressa.

Kedua orang itu pun, langsung membopong Zaki memasuki klinik. Untung saja jaraknya tidak terlalu jauh, hingga Zaki bisa segera ditangani.

Ressa dan Tio menunggunya di luar, menunggu dokter selesai dengan pekerjaannya.

"Non, maaf sebelumnya. Kalau boleh tahu Tuan kenapa?" tanya Tio hati-hati.

"Dia datang lagi, entah apa yang dia inginkan," jawab Ressa begitu dingin. Ada amarah terselubung dalam hatinya. Sampai saat ini, Ressa belum tahu siapa dia, dan apa maksudnya.

Tio terdiam, dia tidak mengerti dengan apa yang Ressa ucapkan. Teror yang sempat Ressa ceritakan padanya, belum mampu membuatnya percaya. Walaupun bangkai tikus menjadi fakta utama yang pernah dia lihat.

"Bagaimana keadaan Ayah saya, dok?" tanya Ressa saat Dokter Andra keluar.

"Ayah kamu baik-baik saja, untung kamu segera membawanya ke sini. Darahnya memang keluar banyak, tapi kondisinya masih stabil. Hanya dengan banyak berisitirahat dan minum obat, insyaallah kondisinya segera membaik," jawab Dokter Andra, dia adalah dokter muda yang baru beberapa bulan bertugas.

"Terimakasih, dok." Ressa bernafas lega. Ayahnya baik-baik saja itu sudah membuat hati dan jiwanya kembali bersatu. Ressa, tidak ingin kehilangan orang-orang yang ada di sekitarnya lagi. Cukup Ibu dan Wulan saja yang menjadi korban, karena saat itu Ressa, masih belum tahu ada orang di balik semuanya.

"Non, disuruh nebus obat, saya gak bawa uang," ucap Tio pelan.

"Aku juga gak bawa, Pak," kata Ressa bingung, sambil meraba-raba saku celananya.

"Pak Tio tunggu di sini tungguin Ayah, aku pulang dulu. Mana kunci mobilnya?" 

"Biar saya aja, Non."

"Gak usah Pak, aku bisa sendiri lagian jaraknya tidak terlalu jauh. Bapak tungguin Ayah saja, jangan sampai ada orang asing masuk." kata Ressa memastikan.

"Tapi, Non ...."

"Gak papa Pak, jangan khawatir. Aku titip Ayah sebentar." Ressa merebut kunci di tangan Tio, dan segera pergi ke rumahnya.

Tatapannya begitu fokus saat mobil berjalan. Tidak Ressa hiraukan rasa takut yang bersembunyi di hatinya. Ressa memberanikan diri, semuanya demi Zaki. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menambah kesan seram perjalannya. Tapi, Ressa tidak tergoyahkan. Zaki, orang satu-satunya yang dia miliki sekarang. Tekad bulat sudah memenuhi isi pikirannya, dia yakin akan menguak semuanya.

Perjalanan yang mulus, Ressa sampai dengan dengan selamat. Ressa, segera berlalu ke dalam rumahnya.

"Ressa, bagaimana keadaan Pak Zaki?" tanya Dea menghentikan langkah Ressa.

"Berhenti mendekati Ayahku, Tante Dea!"

"Hey, aku bertanya. Pak Zaki adalah atasanku, apa aku salah mengkhawatirkannya?"

"Salah besar, karena seorang sekertaris tidak sepantasnya mencari kesempatan dalam kesempitan!" potong Ressa cepat. Dea melotot lebar, Ressa semakin berani padanya.

Tidak membuang-buang waktu. Sebelum Dea kembali berbicara, Ressa menuju lantai atas untuk mengambil uang.

"Uangku habis ternyata," gumam Ressa pelan, saat melihat dompet kecil di lacinya kosong.

Karena merasa angker, Ressa buru-buru keluar. Ressa sangat takut, saat gorden kamarnya berkibar-kibar karena kaca yang menghalanginya sudah pecah. Ressa masuk ke dalam ruangan kerja Zaki. Ressa teringat pada pesan Ayahnya 'jika uangnya habis, dia bisa mengambil kembali di ruang kerjanya'.

Ressa, membuka kunci sebuah laci. Tempat khusus yang Zaki sediakan untuk keperluan rumah dan tentunya untuk Ressa.

Brak

Tanpa sengaja Ressa menyenggol berkas yang ada di meja Zaki. Sambil menggerutu,  Ressa terpaksa membereskannya. Namun, tiba-tiba sebuah foto yang terselip di salah satu berkas Zaki, mencuri perhatian Ressa. Dengan hati-hati, Ressa menarik foto itu perlahan.

"Foto siapa ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status