Share

Teror Kumara Merah
Teror Kumara Merah
Penulis: Gloria Pitaloka

1. Pesanan dari Kamar Mayat

Tangan Parmin gemetar ketika tepat pukul 00.00 tengah malam mendapatkan pesan misterius. "Mas Min, saya pesan kopi panas, anterin ke ruang kelas satu," tulis pesan tersebut. Parmin menduga dari salah satu keluarga pasien RS Moegie Waras yang berjaga di sana.

Dahi Parmin mengernyit. Dia memang telah membuka layanan pesan antar. Namun, itu hanya berlaku untuk para petugas jaga saja. Lantas, dari mana keluarga pasien mengetahui nomor kontaknya? Parmin berpikir, barangkali dapat dari perawat jaga atau Mas Satpam.

Parmin mengamati foto profil "W******p" pengirim pesan tersebut. Gadis bergaun merah. Wajahnya tidak terlihat karena posenya membelakangi, hanya menampakkan rambut yang tergerai lurus.

Lagi pula tengah malam seperti itu, di ruang rawat kelas satu, bukankah itu ruangan yang dekat dengan kamar yang bahkan, Parmin tak berani menyebutkan namanya. Parmin terus memikirkan bermacam praduga di kepalanya.

Setengah bergidik Parmin membayangkannya harus mengunjungi ruangan yang melewati ruang paling horor di RS Moegi Waras. Menurut rumor, pernah ada pasien yang tak kunjung sembuh, tetapi kemudian sembuh setelah semalaman dirawat suster tua yang muncul dari arah ruang pemulasaraan jenazah. Rumor itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, menjadi hawa ketakutan tersendiri di antara para perawat dan staf yang mendengarnya.

Sebelumnya Parmin hanya berjualan hingga pukul sebelas malam. Lantas seminggu yang lalu, adiknya mengirimi pesan bahwa ibunya dirawat di rumah sakit karena batu ginjal dan harus segera dioperasi. Parmin belum memegang uang sama sekali karena baru membayar sewa lapak tempatnya berjualan kopi. Maka akhirnya Parmin memutuskan berjualan hingga dini hari untuk mendapatkan uang lebih banyak.

Parmin tak lulus SD karena tak ada biaya, Parmin pun diajak pamannya bekerja ke kota sebagai kernet buruh bangunan. Belasan tahun dia mencari uang di kota besar. Beberapa tahun lalu, ia merasa bosan kehidupannya yang tak ada kemajuan dengan pekerjaan sebagai buruh bangunan. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan mengadu nasib ke kota kecil Wathu Gedhe.

Sempat terlunta-lunta, Parmin ditawari berjualan oleh warga pemilik lahan di sebelah rumah sakit. Sejak pertama melihat, Parmin sudah membayangkan usahanya akan ramai. Ia jatuh hati pada lapak yang dinilainya sangat strategis. Bermodal pinjaman, Parmin membuka lapak kopi dan macam-macam wedang di gerobak sederhana miliknya. Gerobak sekaligus tempat tidurnya, sehingga ia bisa berhemat uang kontrakan. Parmin pun terbilang beruntung, ia tak memiliki saingan karena suasana yang angker membuat orang enggan berjualan di sana. Ini membuahkan rezeki lebih untuknya.

Bagi Parmin pedagang kecil yang tak paham apa-apa; asal cukup makan dan tidur nyenyak, maka dirinya sudah bahagia. Begitulah Parmin mengapa ia memilih membuka lapak di depan rumah sakit yang terkenal angker.

Lantas Parmin menyeduh kopi gunung racikannya sendiri. Aroma kopi yang tersiram air panas, menguar harum memenuhi rongga parunya. Rasa takut yang tadi merajainya perlahan menghilang bersama kepulan uap. Dengan yakin, ia siap membawa pesanan kopi dalam wadah termos mini itu ke dalam rumah sakit itu.

Setelah menutup lapak miliknya, Parmin memasuki gerbang rumah sakit melalui pintu selatan di mana orang sepertinya--bukan perawat, staf, apalagi dokter--bebas keluar masuk. Halaman RS Moegi Waras tampak temaram. Melewati pos "security", Mas Satpam yang sering pesan wedang uwuh padanya, tak terlihat batang hidungnya.

Tanpa disadari Parmin ruang-ruang makin bertambah. Samar-samar Parmin menghidu aroma bunga melati. Semakin lama semakin menyengat penciumannya. Hidungnya mencari dari mana aroma itu berasal. Parmin celingukan mencari rumpun bunga melati. Tak ada satu pun rumpun melati yang dia dapatkan, hanya ada teras sunyi nan sepi seakan di telan kegelapan abadi.

Parmin telah melewati beberapa ruang yang terlihat gelap di dalam. Tak ada perawat yang terlihat bertugas jaga malam. Ia pun tak menemukan satu pun keluarga pasien yang biasanya tertidur di lorong.

Parmin merasakan keanehan. Ia mulai menyadari bahwa lorong itu lebih panjang dari biasanya. Rasa takut kembali menghampirinya.

Tiba-tiba pada ponselnya bergetar mengagetkannya. Dengan gugup dibukanya ponsel, alarm pengingat: 00.00! Parmin semakin menyadari ada yang ganjil di sana. Semakin gugup ketika ia menyadari malam itu adalah malam jumat kliwon menurut penanggalan kalender Jawa.

Deg!

Parmin teringat ketika pemesan mengirim "chat" sebelumnya, waktu di ponselnya sudah menampilkan jam dua belas malam. Mendadak terlihat dengan jelas olehnya, ruangan-ruangan yang dia lewati semua sama dengan pintu dan jendela tertutup rapat. Parmin mencoba mengintip ke dalam melalui jendela. Hanya ada gelap, tanpa setitik pun cahaya terlihat. Di atas pintu tak ada papan penanda. Parmin yang kebingungan, ia mencoba mengetuk-ngetuk pintu dan jendela, berharap ada yang terbangun.

Namun, nihil. Tak ada orang. Ketika ia mengontak gadis yang mengirim pesan padanya melalui aplikasi "W******p" pun sudah tak bisa dihubungi.

Kala Parmin nyaris putus asa, tampak seseorang berpakaian putih seperti suster terlihat di kejauhan berjalan seorang diri.

"Mbak, Mbak!" Dengan gembira Parmin menyerunya, tetapi perawat itu seperti tak mendengarnya. Parmin pun sontak berlari mengejar.

Meski sekuat tenaga Parmin berlari, suster itu malah semakin menjauh. Parmin masih berusaha mengejarnya. Namun, kini ia malah kehilangan jejak. Suster itu menghilang tak tertangkap pandangan matanya. Parmin menghela dan mengembuskan napas kuat-kuat. Lelah mengejar ia tersandar di dinding lalu tubuhnya lunglai merosot ke lantai. Sudah bertahun-tahun Parmin mengenal seluk beluk rumah sakit ini. Namun, mengapa seakan ia sedang tersesat.

Dalam kekalutan aroma melati kembali tercium seiring angin yang berembus. Entah kenapa terlihat ada cahaya remang yang seakan menyoroti berasal dari sebuah ruangan. Sekelebatan sosok putih terlihat memasuki ruangan.

"Itu dia!" Parmin bersorak.

Dengan penuh keyakinan di sana ada perawat, Parmin bergegas menghampiri. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan sendirinya. Parmin terkejut, ia tak mendapati seorang pun yang membuka pintu. Akan tetapi hatinya terlalu senang mendapati ruangan bercahaya, membuatnya mengabaikan hal itu.

Sejenak Parmin meragu. Mendadak bulu kuduknya berdiri. Sekejap ia bimbang antara memilih masuk atau tetap di luar. Perlahan ia melihat sekeliling, suasana di luar tampak gelap dan terlihat lebih mengerikan. Ia pun bergidik ngeri.

Pemuda itu memutuskan: lebih baik masuk ke dalam. Di sana, barangkali ada petugas yang bisa ia tanyai.

Parmin melangkah perlahan memasuki ruangan. Tampak brankar dan ranjang besi berjejer berselimut putih menutupi sesuatu.

Deg-deg!

Degup jantungnya terasa berpacu dengan cepat. Pikirannya berkelana. Keringat mulai menetes. Hawa dingin terasa menyusup ke hingga tengkuknya. Lututnya mulai goyah. Dengan gemetar perlahan ia mundur. Namun, tanpa disengaja ia menabrak salah satu ranjang dan kain putih itu pun tersingkap.

Parmin terperenyak. Di depan matanya, sesosok mayat terbujur kaku dengan wajah yang rusak!

"Ma-mayat!" Ingin Parmin berteriak, tetapi suaranya tenggelam di tenggorokan. Parmin menggigit bibirnya hingga berdarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status