Beranda / Horor / Teror Kumara Merah / 1. Pesanan dari Kamar Mayat

Share

Teror Kumara Merah
Teror Kumara Merah
Penulis: Gloria Pitaloka

1. Pesanan dari Kamar Mayat

Penulis: Gloria Pitaloka
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-16 19:16:27

Tangan Parmin gemetar ketika tepat pukul 00.00 tengah malam mendapatkan pesan misterius. "Mas Min, saya pesan kopi panas, anterin ke ruang kelas satu," tulis pesan tersebut. Parmin menduga dari salah satu keluarga pasien RS Moegie Waras yang berjaga di sana.

Dahi Parmin mengernyit. Dia memang telah membuka layanan pesan antar. Namun, itu hanya berlaku untuk para petugas jaga saja. Lantas, dari mana keluarga pasien mengetahui nomor kontaknya? Parmin berpikir, barangkali dapat dari perawat jaga atau Mas Satpam.

Parmin mengamati foto profil "W******p" pengirim pesan tersebut. Gadis bergaun merah. Wajahnya tidak terlihat karena posenya membelakangi, hanya menampakkan rambut yang tergerai lurus.

Lagi pula tengah malam seperti itu, di ruang rawat kelas satu, bukankah itu ruangan yang dekat dengan kamar yang bahkan, Parmin tak berani menyebutkan namanya. Parmin terus memikirkan bermacam praduga di kepalanya.

Setengah bergidik Parmin membayangkannya harus mengunjungi ruangan yang melewati ruang paling horor di RS Moegi Waras. Menurut rumor, pernah ada pasien yang tak kunjung sembuh, tetapi kemudian sembuh setelah semalaman dirawat suster tua yang muncul dari arah ruang pemulasaraan jenazah. Rumor itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, menjadi hawa ketakutan tersendiri di antara para perawat dan staf yang mendengarnya.

Sebelumnya Parmin hanya berjualan hingga pukul sebelas malam. Lantas seminggu yang lalu, adiknya mengirimi pesan bahwa ibunya dirawat di rumah sakit karena batu ginjal dan harus segera dioperasi. Parmin belum memegang uang sama sekali karena baru membayar sewa lapak tempatnya berjualan kopi. Maka akhirnya Parmin memutuskan berjualan hingga dini hari untuk mendapatkan uang lebih banyak.

Parmin tak lulus SD karena tak ada biaya, Parmin pun diajak pamannya bekerja ke kota sebagai kernet buruh bangunan. Belasan tahun dia mencari uang di kota besar. Beberapa tahun lalu, ia merasa bosan kehidupannya yang tak ada kemajuan dengan pekerjaan sebagai buruh bangunan. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan mengadu nasib ke kota kecil Wathu Gedhe.

Sempat terlunta-lunta, Parmin ditawari berjualan oleh warga pemilik lahan di sebelah rumah sakit. Sejak pertama melihat, Parmin sudah membayangkan usahanya akan ramai. Ia jatuh hati pada lapak yang dinilainya sangat strategis. Bermodal pinjaman, Parmin membuka lapak kopi dan macam-macam wedang di gerobak sederhana miliknya. Gerobak sekaligus tempat tidurnya, sehingga ia bisa berhemat uang kontrakan. Parmin pun terbilang beruntung, ia tak memiliki saingan karena suasana yang angker membuat orang enggan berjualan di sana. Ini membuahkan rezeki lebih untuknya.

Bagi Parmin pedagang kecil yang tak paham apa-apa; asal cukup makan dan tidur nyenyak, maka dirinya sudah bahagia. Begitulah Parmin mengapa ia memilih membuka lapak di depan rumah sakit yang terkenal angker.

Lantas Parmin menyeduh kopi gunung racikannya sendiri. Aroma kopi yang tersiram air panas, menguar harum memenuhi rongga parunya. Rasa takut yang tadi merajainya perlahan menghilang bersama kepulan uap. Dengan yakin, ia siap membawa pesanan kopi dalam wadah termos mini itu ke dalam rumah sakit itu.

Setelah menutup lapak miliknya, Parmin memasuki gerbang rumah sakit melalui pintu selatan di mana orang sepertinya--bukan perawat, staf, apalagi dokter--bebas keluar masuk. Halaman RS Moegi Waras tampak temaram. Melewati pos "security", Mas Satpam yang sering pesan wedang uwuh padanya, tak terlihat batang hidungnya.

Tanpa disadari Parmin ruang-ruang makin bertambah. Samar-samar Parmin menghidu aroma bunga melati. Semakin lama semakin menyengat penciumannya. Hidungnya mencari dari mana aroma itu berasal. Parmin celingukan mencari rumpun bunga melati. Tak ada satu pun rumpun melati yang dia dapatkan, hanya ada teras sunyi nan sepi seakan di telan kegelapan abadi.

Parmin telah melewati beberapa ruang yang terlihat gelap di dalam. Tak ada perawat yang terlihat bertugas jaga malam. Ia pun tak menemukan satu pun keluarga pasien yang biasanya tertidur di lorong.

Parmin merasakan keanehan. Ia mulai menyadari bahwa lorong itu lebih panjang dari biasanya. Rasa takut kembali menghampirinya.

Tiba-tiba pada ponselnya bergetar mengagetkannya. Dengan gugup dibukanya ponsel, alarm pengingat: 00.00! Parmin semakin menyadari ada yang ganjil di sana. Semakin gugup ketika ia menyadari malam itu adalah malam jumat kliwon menurut penanggalan kalender Jawa.

Deg!

Parmin teringat ketika pemesan mengirim "chat" sebelumnya, waktu di ponselnya sudah menampilkan jam dua belas malam. Mendadak terlihat dengan jelas olehnya, ruangan-ruangan yang dia lewati semua sama dengan pintu dan jendela tertutup rapat. Parmin mencoba mengintip ke dalam melalui jendela. Hanya ada gelap, tanpa setitik pun cahaya terlihat. Di atas pintu tak ada papan penanda. Parmin yang kebingungan, ia mencoba mengetuk-ngetuk pintu dan jendela, berharap ada yang terbangun.

Namun, nihil. Tak ada orang. Ketika ia mengontak gadis yang mengirim pesan padanya melalui aplikasi "W******p" pun sudah tak bisa dihubungi.

Kala Parmin nyaris putus asa, tampak seseorang berpakaian putih seperti suster terlihat di kejauhan berjalan seorang diri.

"Mbak, Mbak!" Dengan gembira Parmin menyerunya, tetapi perawat itu seperti tak mendengarnya. Parmin pun sontak berlari mengejar.

Meski sekuat tenaga Parmin berlari, suster itu malah semakin menjauh. Parmin masih berusaha mengejarnya. Namun, kini ia malah kehilangan jejak. Suster itu menghilang tak tertangkap pandangan matanya. Parmin menghela dan mengembuskan napas kuat-kuat. Lelah mengejar ia tersandar di dinding lalu tubuhnya lunglai merosot ke lantai. Sudah bertahun-tahun Parmin mengenal seluk beluk rumah sakit ini. Namun, mengapa seakan ia sedang tersesat.

Dalam kekalutan aroma melati kembali tercium seiring angin yang berembus. Entah kenapa terlihat ada cahaya remang yang seakan menyoroti berasal dari sebuah ruangan. Sekelebatan sosok putih terlihat memasuki ruangan.

"Itu dia!" Parmin bersorak.

Dengan penuh keyakinan di sana ada perawat, Parmin bergegas menghampiri. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan sendirinya. Parmin terkejut, ia tak mendapati seorang pun yang membuka pintu. Akan tetapi hatinya terlalu senang mendapati ruangan bercahaya, membuatnya mengabaikan hal itu.

Sejenak Parmin meragu. Mendadak bulu kuduknya berdiri. Sekejap ia bimbang antara memilih masuk atau tetap di luar. Perlahan ia melihat sekeliling, suasana di luar tampak gelap dan terlihat lebih mengerikan. Ia pun bergidik ngeri.

Pemuda itu memutuskan: lebih baik masuk ke dalam. Di sana, barangkali ada petugas yang bisa ia tanyai.

Parmin melangkah perlahan memasuki ruangan. Tampak brankar dan ranjang besi berjejer berselimut putih menutupi sesuatu.

Deg-deg!

Degup jantungnya terasa berpacu dengan cepat. Pikirannya berkelana. Keringat mulai menetes. Hawa dingin terasa menyusup ke hingga tengkuknya. Lututnya mulai goyah. Dengan gemetar perlahan ia mundur. Namun, tanpa disengaja ia menabrak salah satu ranjang dan kain putih itu pun tersingkap.

Parmin terperenyak. Di depan matanya, sesosok mayat terbujur kaku dengan wajah yang rusak!

"Ma-mayat!" Ingin Parmin berteriak, tetapi suaranya tenggelam di tenggorokan. Parmin menggigit bibirnya hingga berdarah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Teror Kumara Merah   13. Mimpi Sadar

    Ricky terdiam. Dia mengingat-ingat sosok penampakkan gadis di dalam sel penjara itu. Gadis Londo, bergaun putih. Tak ada yang dia ingat dengan jelas dari sosok yahg diduga hantu itu, kecuali wajahnya yang menakutkan. Eh, tapi tunggu dulu. Ia ingat, entah mengapa di antara bayangan hitam putih itu terlihat cahaya kehijauan keluar dari dadanya. Saat diperjelas ingatannya, Ricky tersentak kaget. Sosok itu mengenakan kalung dengan liontin yang mirip dengan yang digenggamnya. Ricky gemetar dan menjatuhkan kalung, dengan sigap Parmin menangkapnya."Ky!""Ah, untunglah, kalau tidak tertangkap mungkin bisa pecah," gumam Parmin. "Ma-maf, aku kaget.""Kau melihatnya juga, kan?""I-iyaa, aku melihat d-dia memakai kalung bercahaya hijau dan sangat mirip dengan liontin ini.""Nah, aku pun melihatnya. Entah kenapa sangat jelas terlihat. Seakan sebuah petunjuk untuk kita.""Apa hubungannya?""Pasti ada hubungannya. Aku yakin. Aku mendengar suara sosok itu memanggil namaku, tapi bukan Parmin.""Apa

  • Teror Kumara Merah   12. Rahasia Bunker Tua

    Pada akhirnya, Parmin hanya bisa berangkat berdua saja dengan Ricky karena temannya itu tak bisa, katanya sedang pergi ke kota Subang mengurus KTP di discukdapil. Parmin turun dari motor, Ricky menyimpan kendaraannya di halaman depan. Saat pertama menginjakkan kaki di sana suasana dingin dan sunyi menyambut kedatangan mereka. Rumah itu bergaya Belanda. Pondasi yang tinggi dari batu kali, dinding batu bata disemen. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu jati. Namun, karena waktu menjadi aus dan engselnya lepas di beberapa tempat. Ada beberapa ruangan di dalam. Satu ruang depan, dua kamar, kamar mandi, dan satu dapur. Saat mereka memasuki ruangan terlihat kusam dan kotor. Banyak cangkang kwaci, kacang, minuman doping, dan obat batuk sachet berserakan di sana. Botol-botol bir kalengan pun berserakan. Bahkan sebuah bungkus kondom tergeletak begitu saja. Parmin menggeleng-geleng. Dia sudah mengerti apa yang mereka lakukan di ruang kosong itu. Sepertinya, tempat itu sudah l

  • Teror Kumara Merah   11. Rumah Peninggalan Kolonial

    "Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka

  • Teror Kumara Merah   10. Uji Nyali

    Parmin terbangun dari tidurnya. Mimpi lagi, pikirnya. Bukan mimpi buruk seperti sebelumnya. Namun, mimpi yang aneh dan perasaannya segitu buruk. Seakan-akan dia melihat langsung kejadian dan memahami perasaan masing-masing penghuninya. "Sebenarnya perasaan apa ini?" batin Parmin memegangi dadanya. Seperti ada rasa sedih yang menyakitkan, ada rasa benci yang menyesakkan, ada rasa kecewa dan amarah yang sangat meluap-luap dan membuat tidak nyaman. Peristiwa di mimpi itu, meski tidak semua kejadian dan perkataan bisa diingat. Namun, Parmin bisa jelas mengingat ekspresi dan rasa yang berkecamuk dalam dada. Parmin melihat jam dinding. Tepat pukul dua pagi. Sayup suara emaknya mengaji terdengar di keheningan. Rupanya suara emak yang membangunkannya dari mimpi yang membuat dirinya sesak napas itu. Sampai menjelang pagi, Parmin tak bisa memejamkan mata kembali. Pada akhirnya, ia hanya duduk dan membuat coretan-coretan di sebuah buku tentang mimpinya. Semenjak kejadian di Wat

  • Teror Kumara Merah   12. Teror Kumara Merah 2

    Parmin, Kasih beserta dua teman mereka tidak langsung pulang selepas menerima penyerahan hadiah. Uang hadiah ditransfer ke rekening Parmin karena Kasih masih di bawah umur. Selama ini kalau transfer menggunakan rekening Ricky atau dulu melalui wesel pos. Untuk merayakan mereka berkeliling di kota Subang. Belanja pakaian untuk Kasih, Emak, bahkan dua temannya. Kasih pun memaksa kakaknya membeli baju baru yang lebih kekinian, katanya. "Menurut Kasih, Aa itu memiliki tampang yang seperti artis remaja Stefan Williams, loh," katanya. "Hanya saja gaya berpakaian dan rambut yang sederhana membuat Aa kayak wong ndeso." Mau tidak mau Parmin tergelak mendengar pujian yang diakhiri ejekan itu. "Stefan Williams itu siapa, sih?""Ih, Aa enggak gaul. Itu lho, pemeran utama Film anak langit. Yang bule itu. Cakep banget. Motornya juga keren.""Apa? Steffan Williams itu mirip Kang Parmin?Huekekekek! Kalau si mirip si Emen, sih, iya. " Ricky tertawa mengejek. "Seriusan, ih.

  • Teror Kumara Merah   11. Teror Kumara Merah 1

    Parmin berdiri dengan tubuh dan kaki yang gemetar. "A-adik saya Kasih, sa-saya akan menjemputnya, Pak!" ucapnya panik dan memburu pintu. "Tahan, dia!" perintah Kang Wisnu. Para kru pun mencegah Parmin dengan menahannya di depan pintu. "Kang Min!" Ricky yang kaget menyaksikan kejadian itu menghampiri dengan cemas. "Jangan bertindak gegabah. Tenang, jangan takut. semua sudah terkendali. Lihatlah, sudah tidak apa-apa. Adikmu baik-baik saja." Kang Wisnu menenangkan seraya menunjuk ke arah monitor. Di dalam layar terlihat Kasih yang tampak sudah ditenangkan oleh Penjelajah yang menemaninya. Lampu lilin pun berhasil dinyalakan kembali. Ketiga bayangan sinar merah yang tadi terlihat pun sudah menghilang. Namun, Parmin seakan-akan merasakan kemampuan dadakan melihat ke mana perginya sinar merah itu melesat. Semuanya terlihat dengan jelas di depan matanya, padahal mereka ada di dalam ruangan tertutup. Mata Parmin terbelalak. Sedang Kang Wisnu menatap tajam ke arah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status