Home / Horor / Teror Kumara Merah / 2. Memasuki Alam Lain

Share

2. Memasuki Alam Lain

last update Last Updated: 2021-11-16 19:29:39

Sesosok berpakaian putih yang tadi di kejarnya samar terlihat di pojok ruangan. Namun, ketika ia menajamkan penglihatan sosok itu sudah tak ada. Perlahan ia bangkit. Dalam benaknya lari adalah jalan terbaik. Meski goyah ia tetap berusaha mundur mencari jalan keluar dari ruangan mengerikan itu.

Parmin segera berbalik. Namun, tubuhnya menabrak sesuatu di belakangnya.

"Aaaa!" Parmin berteriak sembari menutupi wajahnya.

"Mas Min ...." Suara merdu yang didengarnya seketika membuat Parmin memberanikan diri membuka mata. Dia mengembuskan napas lega. Seorang gadis bergaun merah berdiri di hadapannya, tengah menatapnya lurus tanpa senyum.

Parmin yang ketakutan, berusaha melirik ke bawah. Ternyata kaki gadis itu masih menapak lantai.

"Ah, Mbak ternyata manusia. Kupikir hantu."

Parmin mengusap dada, merasakan degup jantung yang tak beraturan. Gadis bergaun merah itu memberikan senyum yang samar dan aneh. Sangat aneh, tengah malam mengapa seorang gadis berada di ruang jenazah.

Dalam benaknya, Parmin menduga gadis muda ini petugas ruang mayat yang baru. Wajahnya masih tampak asing, ia tak pernah melihat sebelumnya.

"Mbak ini ... yang memesan kopi pada saya?" Suara Parmin memecah kesunyian.

Gadis bergaun merah itu hanya mengangguk. Wajahnya masih tanpa senyum sedikit pun. Dingin.

"Mbak, mengapa ada di ruangan ... ini? Tidak takut?" Gadis bergaun merah itu hanya menggeleng.

"Mbak apakah penjaga kamar ini yang baru?" Gadis itu kembali hanya mengangguk, membuat Parmin menjadi sedikit kesal.

"Mengapa gadis ini hanya diam saja, untung cantik," Parmin membatin.

"Mbaknya kok ditanya cuma angguk-anguk aja, bisu, ya?" ceplos Parmin. Dengan cepat ia menutup mulutnya yang terasa kurang ajar itu. Tanpa ia duga, sang gadis bergaun merah kembali mengangguk.

"Dia mengiakan? Bisu? Lantas siapa tadi memanggil namaku? Ah, masa bodo!" batin Parmin terus berkecamuk.

"Maaf, Mbak. Saya ngeri lama-lama di sini. Di mana saya harus menyimpan kopi ini? Saya harus kembali dengan cepat. Besok pagi saya ambil kembali termosnya. Atau Mbak, bisa menitipkan di depan gerobak saya." Gadis itu masih terdiam dengan wajah menatap kosong padanya. Parmin kebingungan melihat reaksi gadis di hadapannya.

"Mbak?"

Gadis bergaun merah itu mengangkat tangannya perlahan dan menunjuk ke pojok. Parmin mengikuti dengan pandangannya, sebuah meja berisi peralatan medis sepertinya. Dengan masih takut-takut, Parmin menuju meja, mengeluarkan termos mini, dan gelas plastik dari dalam tasnya, kemudian menyusunnya.

"Selesai."

Parmin terkejut ketika berbalik gadis itu sudah ada di belakangnya tanpa terdengar langkah kakinya.

Parmin mengusap dadanya, "Aduh! Mbak ngagetin saya saja." Gadis bergaun merah itu masih terdiam dengan wajah kaku dan tatapan yang kosong.

Mendadak angin berhembus kencang dan ruangan berkabut. Parmin tak bisa melihat apapun kecuali gadis bergaun merah itu yang berjalan sangat cepat seperti melayang. Parmin berteriak memanggilnya, lalu mengejarnya karena ia sangat ketakutan ditinggal sendiri dalam ruang jenazah.

Tanpa sadar Parmin sudah berada di sebuah ruang kosong. Ia melihat ke sekeliling, hanya ada kegelapan yang pekat. Matanya mendadak terasa perih. Namun, tiba-tiba ruangan tempat Parmin berdiri berubah dalam sekejap. Parmin menajamkan penglihatannya ia seperti berada di sebuah kamar. Semua tak terlihat jelas karena remang-remang. Namun, hanya ada suara gedebuk dan teriakan tertahan yang terdengar sangat jelas di telinganya. Parmin berusaha membuat matanya fokus dan seketika ia terbelalak.

Di sana, tepat di depan matanya, seorang lelaki tua tengah bergumul dengan seorang perempuan di atas ranjang. Lelak itu sedang menindih perempuan di bawahnya. Wajah Parmin memerah karena malu, ia pun membuang muka.

"Matilah kau!" Namun, suara kasar yang didengarnya, mau tak mau membuatnya kembali berpaling.

Mata Parmin kembali terbelalak memelototi adegan yang tadinya disangka pergumulan suka sama suka itu.

"Itu pemerkosaan!" teriaknya.

Parmin menyadari dan melihat dengan jelas, kalau gadis yang di bawah pria itu sedang megap-megap berjuang melepaskan diri dari cekikan. Matanya sampai memelotot menahan sakit, hingga mengeluarkan air mata. Lelaki di atasnya pun terlihat mendelik mengerikan.

"Hei! Lepaskan!" Parmin sekuat tenaga berusaha menariknya lelaki durjana itu. Namun, Parmin sangat kaget ketika tangannya melewati mereka. Dia, seperti menangkap ruang yang kosong. Parmin mencoba berkali-kali hasilnya tetap sama. Dia pun menjambak rambutnya saking frustrasi. Wajah gadis itu kini, semakin memerah menahan cekikkan, sementara tangannya sedang berusaha keras melepas cekalan. Parmin hanya mampu berteriak-teriak dan menjangkau kehampaan seakan-akan tak ada yang mendengar dan melihat suaranya.

"Mengapa seperti ini?"

"Apakah aku sudah mati?" Parmin keheranan mendapati keadaan dirinya.

"Kkh ... kkhh ...." Suara tertahan gadis itu kembali menyadarkannya.

"Aku harus melakukan sesuatu!" tekadnya.

"Hei, Gadis! Lentikkan ibu jarinya! Tendang alat vitalnya!" teriak Parmin berulangkali.

Saat itu, keajaiban terjadi. Seakan mendengar suaranya, si gadis menarik ibu jari tangan lelaki yang mencekiknya keluar. Si lelaki menguatkan cekikkannya, tetapi posisi ibu jari yang ditarik paksa jemari gadis itu dari arah tengah kedua tangan lelaki, membuat daya cekiknya melemah dengan cepat, tekanan pada lehernya dan cekalan pun perlahan mengendur.

Berhasil!

Sang gadis mendorong sekuat tenaga, lalu menendang lelaki tepat di bagian intinya. Lelaki mengerikan itu terjengkang sambil menjerit. Sayang sekali, tendangannya kurang tepat sasaran hanya mengenai perut atasnya. Si gadis segera turun dari ranjang melarikan diri.

"Lari, ayo lari ke sini!" teriak Parmin berusaha membuka pintu. Si gadis menyambutnya dan meraih handle pintu. Namun sayang, sebelum berhasil mencapainya, Si lelaki berhasil mengejar kemudian menendang hingga terjatuh, alhasil kepalanya membentur pintu.

Parmin tercekat. Kini, wajah lelaki penjahat itu menatap lurus ke arah Parmin seakan-akan bisa melihatnya dengan sorot mata mengerikan. Rambut panjang riap-riap, wajahnya penuh bekas luka. Parmin tercekat. Ia terduduk dengan gemetar. Ketakutan jika lelaki itu akan menghajarnya. Tangan lelaki itu terangkat seakan, Parmin refleks memejamkan mata.

Namun, lelaki itu kemudian memalingkan wajah pada gadis yang tergeletak di lantai sembari merintih menahan sakit. Tanpa berbicara ia mencekal rambut panjang Si gadis yang sontak mengaduh kesakitan.

Parmin membuka matanya, ia bersyukur selamat, tetapi nyawa gadis itu dalam bahaya. Parmin sangat ingin menolongnya. Ia berusaha melepaskan cekalan lelaki mengerikan itu.

Sayangnya, tiba-tiba lelaki itu kembali menatapnya tajam. Matanya melotot tajam, lalu ia berteriak sangat keras, "Kau! Tunggulah giliranmu!" teriaknya seakan hendak menelan Parmin sehingga membuat tubuh Parmin terlonjak ke belakang saking terkejutnya. Ketakutan kembali menyergap seluruh tubuhnya, tubuhnya lunglai seperti tak bertenaga.

"A-apa, lelaki itu bisa melihatku?" gumamnya berkeringat dingin.

Tanpa mampu dicegah, lelaki berwajah penuh luka itu menyeret Si gadis keluar kamar. Si gadis masih berusaha melepaskan cekalan di rambutnya. Parmin pun terus mengikutinya dengan diam-diam dengan tubuh yang gemetar.

.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Youe
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Teror Kumara Merah   13. Mimpi Sadar

    Ricky terdiam. Dia mengingat-ingat sosok penampakkan gadis di dalam sel penjara itu. Gadis Londo, bergaun putih. Tak ada yang dia ingat dengan jelas dari sosok yahg diduga hantu itu, kecuali wajahnya yang menakutkan. Eh, tapi tunggu dulu. Ia ingat, entah mengapa di antara bayangan hitam putih itu terlihat cahaya kehijauan keluar dari dadanya. Saat diperjelas ingatannya, Ricky tersentak kaget. Sosok itu mengenakan kalung dengan liontin yang mirip dengan yang digenggamnya. Ricky gemetar dan menjatuhkan kalung, dengan sigap Parmin menangkapnya."Ky!""Ah, untunglah, kalau tidak tertangkap mungkin bisa pecah," gumam Parmin. "Ma-maf, aku kaget.""Kau melihatnya juga, kan?""I-iyaa, aku melihat d-dia memakai kalung bercahaya hijau dan sangat mirip dengan liontin ini.""Nah, aku pun melihatnya. Entah kenapa sangat jelas terlihat. Seakan sebuah petunjuk untuk kita.""Apa hubungannya?""Pasti ada hubungannya. Aku yakin. Aku mendengar suara sosok itu memanggil namaku, tapi bukan Parmin.""Apa

  • Teror Kumara Merah   12. Rahasia Bunker Tua

    Pada akhirnya, Parmin hanya bisa berangkat berdua saja dengan Ricky karena temannya itu tak bisa, katanya sedang pergi ke kota Subang mengurus KTP di discukdapil. Parmin turun dari motor, Ricky menyimpan kendaraannya di halaman depan. Saat pertama menginjakkan kaki di sana suasana dingin dan sunyi menyambut kedatangan mereka. Rumah itu bergaya Belanda. Pondasi yang tinggi dari batu kali, dinding batu bata disemen. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu jati. Namun, karena waktu menjadi aus dan engselnya lepas di beberapa tempat. Ada beberapa ruangan di dalam. Satu ruang depan, dua kamar, kamar mandi, dan satu dapur. Saat mereka memasuki ruangan terlihat kusam dan kotor. Banyak cangkang kwaci, kacang, minuman doping, dan obat batuk sachet berserakan di sana. Botol-botol bir kalengan pun berserakan. Bahkan sebuah bungkus kondom tergeletak begitu saja. Parmin menggeleng-geleng. Dia sudah mengerti apa yang mereka lakukan di ruang kosong itu. Sepertinya, tempat itu sudah l

  • Teror Kumara Merah   11. Rumah Peninggalan Kolonial

    "Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka

  • Teror Kumara Merah   10. Uji Nyali

    Parmin terbangun dari tidurnya. Mimpi lagi, pikirnya. Bukan mimpi buruk seperti sebelumnya. Namun, mimpi yang aneh dan perasaannya segitu buruk. Seakan-akan dia melihat langsung kejadian dan memahami perasaan masing-masing penghuninya. "Sebenarnya perasaan apa ini?" batin Parmin memegangi dadanya. Seperti ada rasa sedih yang menyakitkan, ada rasa benci yang menyesakkan, ada rasa kecewa dan amarah yang sangat meluap-luap dan membuat tidak nyaman. Peristiwa di mimpi itu, meski tidak semua kejadian dan perkataan bisa diingat. Namun, Parmin bisa jelas mengingat ekspresi dan rasa yang berkecamuk dalam dada. Parmin melihat jam dinding. Tepat pukul dua pagi. Sayup suara emaknya mengaji terdengar di keheningan. Rupanya suara emak yang membangunkannya dari mimpi yang membuat dirinya sesak napas itu. Sampai menjelang pagi, Parmin tak bisa memejamkan mata kembali. Pada akhirnya, ia hanya duduk dan membuat coretan-coretan di sebuah buku tentang mimpinya. Semenjak kejadian di Wat

  • Teror Kumara Merah   12. Teror Kumara Merah 2

    Parmin, Kasih beserta dua teman mereka tidak langsung pulang selepas menerima penyerahan hadiah. Uang hadiah ditransfer ke rekening Parmin karena Kasih masih di bawah umur. Selama ini kalau transfer menggunakan rekening Ricky atau dulu melalui wesel pos. Untuk merayakan mereka berkeliling di kota Subang. Belanja pakaian untuk Kasih, Emak, bahkan dua temannya. Kasih pun memaksa kakaknya membeli baju baru yang lebih kekinian, katanya. "Menurut Kasih, Aa itu memiliki tampang yang seperti artis remaja Stefan Williams, loh," katanya. "Hanya saja gaya berpakaian dan rambut yang sederhana membuat Aa kayak wong ndeso." Mau tidak mau Parmin tergelak mendengar pujian yang diakhiri ejekan itu. "Stefan Williams itu siapa, sih?""Ih, Aa enggak gaul. Itu lho, pemeran utama Film anak langit. Yang bule itu. Cakep banget. Motornya juga keren.""Apa? Steffan Williams itu mirip Kang Parmin?Huekekekek! Kalau si mirip si Emen, sih, iya. " Ricky tertawa mengejek. "Seriusan, ih.

  • Teror Kumara Merah   11. Teror Kumara Merah 1

    Parmin berdiri dengan tubuh dan kaki yang gemetar. "A-adik saya Kasih, sa-saya akan menjemputnya, Pak!" ucapnya panik dan memburu pintu. "Tahan, dia!" perintah Kang Wisnu. Para kru pun mencegah Parmin dengan menahannya di depan pintu. "Kang Min!" Ricky yang kaget menyaksikan kejadian itu menghampiri dengan cemas. "Jangan bertindak gegabah. Tenang, jangan takut. semua sudah terkendali. Lihatlah, sudah tidak apa-apa. Adikmu baik-baik saja." Kang Wisnu menenangkan seraya menunjuk ke arah monitor. Di dalam layar terlihat Kasih yang tampak sudah ditenangkan oleh Penjelajah yang menemaninya. Lampu lilin pun berhasil dinyalakan kembali. Ketiga bayangan sinar merah yang tadi terlihat pun sudah menghilang. Namun, Parmin seakan-akan merasakan kemampuan dadakan melihat ke mana perginya sinar merah itu melesat. Semuanya terlihat dengan jelas di depan matanya, padahal mereka ada di dalam ruangan tertutup. Mata Parmin terbelalak. Sedang Kang Wisnu menatap tajam ke arah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status