Share

3. Pembunuhan di Depan Mata

Lelaki itu menyeret sang Gadis menuju belakang rumah. Si lelaki memukuli berulangkali hingga gadis itu kelojotan kemudian bergeming. Saat melihatnya, Parmin kalap, kaki Parmin yang asalnya terasa lemah, mendadak mendapat kekuatan, ia mencoba meraih apa pun yang ada di dekatnya. Batu, ranting, dan kayu. Namun apa daya, sekuat apapun ia berusaha mengambil semua seperti tak dapat diraih. Ia seperti tak beraga.

Parmin luruh ke atas tanah. Ia menangis, meraung, dan menjambak-jambak rambutnya. "Maafkan aku, maaf. Tak mampu menolongmu." Parmin terduduk kelelahan. Ia sangat frustasi, berharap ada yang menolong mereka.

Angin berembus meniup kabut, menghilangkan dua manusia yang ada di hadapannya dari pandangan Parmin.

"Tidaak!" Parmin menjerit. Ia bangkit dengan terseok-seok mencari ke sana ke mari. Tak peduli kakinya terasa perih.

Tiba-tiba dari arah depan ia melihat sosok lelaki itu menyeret tubuh tak bernyawa gadis yang sudah tak karuan rupanya. Bajunya yang putih berlumuran darah.

"Kini giliranmu tiba ...." gumam lelaki itu dengan suara serak. Parmin mendengar lelaki itu bernyanyi lirih. Seperti merapal mantra.

"Apakah lelaki itu akan membunuhku juga?" Parmin kembali gemetar. Ia merangkak menuju batang pohon besar. Bersembunyi.

Srek.

Srek.

Srek.

Suara langkah kaki, gesekan mayat gadis yang diseretnya dengan tanah dan daun kering terdengar jelas dan mengerikan.

Desau angin, nyanyian lirih dari bibir lelaki itu, terdengar sangat jelas dan menyiksa Parmin yang bersandar ketakutan pada batang pohon di dekatnya.

Langkah dan suara lelaki menyeret mayat sang gadis itu semakin mendekat ke arahnya. Parmin benar-benar dicekam ketakutan. Ia terus berdoa dalam hatinya, wajah emak dan adiknya terbayang. Mungkin jika ini akhir hidupnya, ia pasrah. Namun, jika Sang Pencipta mengizinkan, ia ingin melihat wajah emak juga adiknya untuk terakhir kalinya. Membiayai operasi emaknya serta melihatnya sehat kembali.

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo tangi nggonmu guling

Awas jo ngetoro

Aku lagi bang wingo wingo

Jin setan kang tak utusi

Dadyo sebarang

Wojo lelayu sebet"

Parmin lamat-lamat mendengar kidung Lingsir Wengi yang sering dinyanyikan bapaknya saat dia ketakutan tak bisa tidur. Suaranya terdengar begitu saja di kepala. Seperti ada yang menyuruhnya untuk mengikuti. Perlahan Parmin menyanyikannya. Dalam tradisi Jawa, Lingsir Wengi adalah doa-doa yang dikidungkan Sunan Kalijaga untuk "tolak bala" dan mengusir pengaruh jin jahat. Biasanya dinyanyikan pengantar tidur, menggunakan laras Durmo yang suram dan menyedihkan.

Tiba-tiba angin dingin kembali berembus. Semua mendadak kembali gelap. Tak lama Parmin melihat kembali kabut asap dan sang gadis bergaun merah yang diikutinya sedang berjalan lurus. Ia menghela napas dan bersyukur semua yang dilihatnya hanya fatamorgana. Dengan tertatih-tatih ia segera berjalan mengikuti gadis itu. Parmin memasuki lorong yang sangat panjang. Ia tak tahu ada di mana. Gadis bergaun merah pun menghilang.

***

Keesokan harinya, Parmin ditemukan petugas jaga di ruang jenazah dengan kondisi tertidur memeluk mayat yang sebelumnya ditemukan tanpa identitas. Menurut catatan forensik: diduga seorang gadis berusia duapuluhan, terjatuh dan akhirnya terbawa arus sungai. Parmin hanya menatap dengan pandangan kosong, tak bisa ditanyai apa pun. Kiai pun dipanggil untuk menyadarkannya.

***

Selang beberapa hari, Parmin menceritakan semua kejadian mengerikan yang dialaminya. Meskipun tak ada yang memercayainya, tetapi sang penyidik dari kepolisian, malah merasa ceritanya adalah sebuah petunjuk. Berselang dua hari kemudian, polisi sudah menemukan dan meringkus pelakunya: yaitu ayah tiri dari identitas mayat sang gadis yang wajahnya penuh bekas luka. Ayah tirinya, ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan dan pemerkosaan.

Awalnya, polisi kesulitan menemukan jejak pembunuhan karena tersangka pelaku sangat lihai merekayasa alibi dan barang bukti. Namun, karena pengalaman horor Parmin semua segera terungkap. Menurut polisi, tersangka terindikasi psikopat.

Parmin tak pernah mengerti apa yang sudah terjadi. Siapa perawat berbaju putih yang berkelebatan dan siapa gadis merah yang menemuinya. Siapa pula yang mengirim chat padanya karena setelah dicek lagi tak ditemukan pesan di sana. Menurut "Orang Pintar", ia di bawa ke alam gaib, tetapi kata orang yang paham, dia masuk ke lorong waktu dan melihat rekaman kejadian. Penjelasan kedua lebih mampu mengurangi rasa bersalahnya karena Parmin tak dapat mencegah tragedi sebab apa uang dilihatnya sudah terjadi.

Namun kini, semua hal mengerikan baginya sudah berlalu, terlebih yang paling menakutkan dalam hidupnya, yakni tak bisa bertemu keluarganya. Emaknya sudah bisa dioperasi. Parmin mendapatkan bantuan dari ibunya korban pembunuhan sebagai tanda terima kasih karena sudah memberi petunjuk pada polisi. Parmin pun mendapat bantuan membangun warung yang semi permanen dari kepolisian yang peduli akan kisah Parmin, orang pinggiran yang membantu dalam membongkar kasus pembunuhan.

***

Parmin akhirnya bisa menarik napas lega, sore itu ia mendapat kabar ibunya sudah sembuh. Semua ketakutan dalam hidupnya sudah sirna. Ia kembali kepada warung kopi tempat dirinya mencari rezeki sebagai orang pinggiran. Malam itu, tak biasanya warungnya ramai hingga pukul satu malam. Tukang ojek yang biasanya tak pernah mangkal di warungnya apalagi ngopi, kini betah berada di sana mendengarkan kisahnya dan sesekali menimpali dengan pengalaman mereka yang tak kalah horornya. Meski mereka merinding ngeri, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut.

Parmin tak mampu menghentikan mereka untuk terus membahas pengalaman juga rumor hantu di rumah sakit tempat mereka menggantungkan hidup.

Matanya Parmin sudah sangat mengantuk, ia berusaha mengusir mereka dengan cara halus. "Semua sudah berakhir. Roh gadis itu pasti sudah tenang dan tak akan mengganggu lagi. Rumor perawat tua dari kamar mayat pun tak terbukti, jadi pulanglah kalian, tak usah takut." Satu persatu tukang ojek pangkalan itu akhirnya mengundurkan diri.

Parmin baru saja melayang ke alam mimpi, ketika terdengar ketukan keras di pintu warungnya. Parmin mengucek matanya dan mengembuskan napas kesal. Namun, ia tak tega mengusir mereka yang ingin membeli sesuatu, meskipun di pintu sudah tertulis kertas dengan spidol permanen, "Tidak menerima pembeli warungnya di atas jam 10 malam. Tertanda, Parmin". Matanya melirik ponsel sementara gedoran itu terasa semakin kuat. Jam duabelas malam.

"Sudah tutup! Siapa ma--"

Parmin hendak marah, tetapi tak jadi. Kosong tak ada siapa pun.

"Siapa, sih, yang iseng?" sungutnya.

Parmin menutup kembali pintu warungnya. Ia tak menyadari di bawah pohon kersen yang tampak gelap, sesosok gadis bergaun merah, berdiri depan warungnya dengan pandangan kosong.

"Ini semua belum berakhir, Mas Min."

***

Catatan kaki :

*Tolak bala : menolak kekuatan jahat/bencana

*Wedang Uwuh : seduhan teh atau herbal seperti sampah.

*Menjelang malam, dirimu akan lenyap

Jangan bangun dari tempat tidurmu

Awas jangan menampakkan diri

Aku sedang dalam kemarahan besar

Jin dan setan yang kuperintah

Menjadi perantara

Untuk mencabut nyawamu

***

Bumi Sunda, 30 September 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status