Share

Bab 2. Sesosok Pria Tergelantung

Kedua mata Andini terus memasati wajah orang yang tergelantung dan sudah terbujur kaku di atas dahan. Meskipun tanpa penerangan dan terlihat gelap gulita, tetapi remang-remang ada pantulan sinar rembulan yang membantu penglihatannya sehingga bisa melihat sekilas wajah pria tersebut meski hanya terlihat samar-samar.

Gadis berkerudung merah marun itu sangat shock dan kaget setelah mengenali baju dan celana jeans yang dipake pria tersebut, rasanya tidak percaya kalau itu jasad tunangannya.

"Abang ... kenapa kamu, Bang!" Andini berteriak histeris dan terduduk lemas.

Matanya melebar ketika melihat wajah sang pujaan hatinya sudah tak berdaya di atas pohon. "Bang, ayok turun! Kita pulang!" teriaknya kembali. Namun, masih tidak ada reaksi dari Andre membuat dirinya semakin cemas dan gelisah, terus bermonolog, "Ya Alloh, apa yang telah terjadi dengan tunanganku?!"

"Abaaang ... bangun! Ayok turun!" teriaknya kembali.

Akan tetapi, tubuh Andre terlihat terkulai 'tak berdaya dan tak bergerak lagi membuat dirinya semakin shock dan histeris,

"Abaaang ... ayok ngomong, Bang!" jeritnya. Namun, tidak ada suara sedikitpun darinya, hanya suara lolongan anjing dan jangkrik bercampur baur dengan gemersik dedaunan yang tertiup angin yang terdengar di telinganya.

Untuk sesaat tubuhnya terpaku di atas tanah, wajahnya menengadah dalam batinnya bergumam, "Aku harus kuat dan harus meminta pertolongan secepatnya." 

Kemudian Andini berjalan terhuyung-huyung ke pinggir jalan untuk menghadang dan meminta pertolongan kepada mobil yang mungkin saja ada yang lewat tanpa mengindahkan rasa sakit yang dirasakannya.

"Tolooong ... Papih, Mamih, tolong aku!" teriaknya sambil menangis histeris.

Dia berusaha meminta pertolongan tetapi keadaan di sana sangat sepi, karena di bahu kanan kiri jalan di keliling hutan belantara dan jauh dari pemukiman warga. Tangannya memegang keningnya, kepalanya terasa berat dan pening mungkin akibat pukulan yang dihantamkan seseorang dari belakang tadi, tenaganya pun sudah terkuras habis membuat tubuhnya lemas dan akhirnya rubuh sampai terduduk.

Sungguhpun amarahnya memuncak, tetapi dia masih bisa bersabar dan beristigfar. Meskipun, dalam benaknya masih menahan amarah dan mengumpat, "Bedebah! Awas kalian, akan kucari sampai kapanpun," gertaknya.

Sorot matanya tajam, raut wajahnya memerah, giginya menggertak, tangannya mengepal lalu menonjok-nonjokkannya ke tanah, sepertinya rasa nyeri di tubuhnya tidak sebegitu pedih dibandingkan kejadian yang sudah menimpanya. Mereka sudah merenggut mahkota yang selama ini dijaganya dan sudah memisahkan dirinya dengan sang pujaan hati yang sangat dicintainya untuk selamanya.  

"Awas kalian! aku tidak akan membiarkan kalian bebas dan hidup damaiii ...!" teriaknya sambil terus meraung menangisi nasib kekasih dan dirinya. 

Beberapa jam Andini duduk terpaku di pinggir jalan sambil menangis terus menerus, sampai suaranya mulai parau tidak terdengar jelas lagi. Selang beberapa waktu dari kejauhan terlihat sebuah mobil pik-up melintas di jalan nan sepi itu. Ada tiga orang yang menumpangi kendaraan tersebut, mobil mereka pun berhenti setelah melihat dan mendengar teriakan meminta tolong. Mereka bergegas turun, lalu menghampirinya. 

"Kamu kenapa, Neng?" Seorang ibu dan bapak turun dari mobil.

"Tolong aku, Bu, Pak! Tolong turunkan calon suamiku!" teriak Andini pilu sambil menunjuk ke arah pohon. 

Mereka bergegas menghampiri dan melihat keadaan Andini yang masih menangis dan terus memanggil-manggil Andre tunangannya, "Abang, kenapa kamu, Bang? Banguuun ...!"

Matanya terlihat sayup sambil terus melihat ke arah pohon, sepertinya dia sudah merasa lelah dan tidak sanggup menerima kenyataan ini. 

"Ya, Alloh, Gusti nu Agung ada apa ini? Siapa dia, Neng?" Seru Ibu Lastri panik, lalu menyuruh Pak Mamat menyenteri ke atas pohon di pinggir gubuk. Mereka kaget melihat seseorang tergelantung di atas dahan pohon nangka. Pikiran mereka berkecamuk, dalam benaknya bergumam, 'Ada kejadian apa sebenarnya?' 

 

"Derry, sini cepat!" Pak Mamat memanggil anaknya yang masih memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. 

Derry yang baru saja keluar dari mobilnya bergegas berjalan terus menghampirinya,

"Ada apa, Bi?" lirihnya sambil menghampiri kedua orang tuanya. 

"Lihat noh!" sergah Pak Mamat sambil terus menyenteri pria yang tergantung itu.

"Astagfirullah haladzim, siapa itu, Bi?" sergah Derry kaget, lalu dia bergegas berjalan menghampiri ibunya untuk melihat gadis yang sedang menangis di sampingnya, kemudian memasati wajahnya.

 

"Ka--kamu!" 

Derry kaget setelah melihat seorang gadis yang dikenalnya tengah menangis histeris dengan keadaan bajunya yang lusuh dan koyak-koyak.

"Ka--kamu Andini, kan?" tanyanya kembali untuk memastikan. Akan tetapi, Andini masih bergeming tidak menghiraukannya.

Terus dia berjongkok di dekatnya, dahinya mengkerut, lalu mengamati wajah gadis cantik berlesung pipit yang masih terduduk lemas dengan tatapannya yang kosong sambil  menangis meratapi kepergian kekasihnya itu. 

Andini adalah adik kelasnya waktu SMA, sebenarnya dulu dia pernah menaruh hati kepadanya, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Karena Derry sadar diri dengan keadaan orang tuanya yang hanya sebagai pedagang dan buruh tani, sedangkan dia anak seorang Lurah di desa tetangganya serta adik sahabatnya bermain bola. Namun, sekarang dirinya merasa shock melihat gadis idamannya dalam keadaan tragis seperti itu. 

"Kamu kenal dia, Ry?" tanya Pak Mamat ayahnya Derry dengan penuh tanda tanya di pikirannya. 

Derry pun menggangguk dan menjawabnya, "Dia Andini, anak Pak Herman mantan Kades desa sebelah, Bi." 

"Ohh, berarti dia anak Sri teman Ibu waktu mengaji dulu ya, Aa? berarti dia adek kelas SMAmu," ucap Bu Lastri.

Sepengetahuan Bu Lastri, dulu dia pernah bertemu dengan Bu Sri dan Andini anak--nya pas mau masuk sekolah di SMAN, tetapi beda tingkat kelas. Anaknya  kelas dua, sedangkan anak temannya itu baru kelas satu. 

"Iya, Ummi," jawab Derry sambil tegak kembali.

 

Bu Lastri langsung mendekap Andini erat, dia merasa iba melihat keadaan anak temannya itu. Sedangkan Derry langsung menelepon keluarga Andini, kebetulan nomor telepon rumahnya masih tersimpan di ponselnya.

Dulu Derry sering ke rumahnya untuk mengajak main sepak bola bersama kakaknya yang bernama Anton walaupun umurnya lebih tua selisih dua tahun darinya, setelah mengabari keluarganya kemudian menelepon polsek setempat. 

Biasanya malam hari Pak Mamat dan Bu Lastri pergi ke pasar induk untuk menjual hasil kebunnya. Kebetulan Derry lagi libur kerja di sebuah kantor polisi daerah Bandung, sehingga dia bisa ikut mengantar kedua orang tuanya, biasanya yang mengantar adalah adiknya yang cowok, yang baru duduk di bangku kuliah. Kadang mereka pergi berdua saja kalau anak-anaknya sibuk kerja atau sekolah. 

Selang beberapa lama aparat kepolisian datang, dan tidak lama ayah Andini pun muncul bersama sopir nya. 

"Andini, kenapa kamu, Nak?" ucap Pak Herman shock. Dia terus mendekap anaknya dan memeriksa keadaan tubuhnya, di hatinya sedih dan geram setelah melihat keadaan putrinya yang lusuh dan memar-memar di tangan serta kakinya.

"Siapa yang telah berani melakukan ini kepadamu, Nak?" gertak Pak Herman geram. Darahnya mulai mendidih tetapi dia harus bisa meredam semua amarahnya. 

Andini hanya menggelengkan kepalanya, terus menangis sesegukan dipelukkan ayahnya. Isak tangisnya terasa memecah gendang telinga, jiwanya sangat terpukul dan tergoncang, dia tidak bisa menerima kejadian tragis yang baru saja menimpanya.

"Papih, kenapa dengan Bang Andre?" tanya Andini sambil terus menatap wajah Pak Herman.

"Ikhlaskan ya, Nak! Kita do'akan saja biar Andre tenang di sana," lirih Pak Herman menahan tangis sambil mengelus kepala anaknya. 

"Tidak, Pih. Andre baik-baik aja!" bentak Andini dengan mata menyala, terus dia melangkah terhuyung-huyung ke arah pohon itu, tetapi Pak Herman dengan sigap menahannya. Namun, gadis malang itu terus memberontak, sepertinya dirinya belum bisa menerima kenyataan akan kehilangan tunangan yang sangat dicintainya untuk selamanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status