Share

Bab 3. Penurunan Jasad Andre

Di bawah pohon pak polisi menurunkan jasad Andre sambil menunggu mobil ambulans. Andini berjalan setengah berlari, tangisannya kembali pecah dan berteriak histeris.

"Bang Andre, jangan tinggalin aku, Baaang ...!" 

"Bangun! Bentar lagi kita menikah, Bang," jeritnya sambil berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh kekasihnya yang sudah terbujur kaku di atas tanah.

Pak Herman langsung memegang pundaknya dan mengajaknya ke mobil. 

"Ayok, Nak. Kita ke mobil!" paksanya.

Akan tetapi, putrinya tidak mau dan bergeming serta terus berteriak histeris, "Tidak, jangan pisahin aku darinya, Pih!"  

Tangis haru Andini semakin menjadi membuat semua orang yang mendengarnya teriris pilu. Tubuhnya lunglai, tenaganya terkuras membuat keseimbangannya oleng dan hampir tersungkur ke tanah, untung ayahnya dan Derry berada di dekatnya sehingga bisa menahannya.

Pak Herman lalu mendekap dan memeluk Andini, akhirnya air matanya tumpah ruah 'tak terbendung lagi. Hatinya berkecamuk, sedih dan marah berbaur menjadi satu, rasanya dia tidak percaya kalau anak dan menantunya menjadi korban begal ... setelah tenang dan amarahnya mereda. Ayah Andini langsung menelepon keluarga Andre yang rumahnya berdomisili di Bandung. 

Derry yang sedari tadi berdiri dekat mereka terus memandang Andini dengan sedih, air matanya tak terasa jatuh di pipinya.

Dalam benaknya bergumam, "Siapa yang sudah tega memperkosa dan membunuh tunangan gadis idamannya itu?" 

"Sudah, Pak, yang sabar. Kita bawa Andini ke mobil saja, biar bisa istirahat ... kasian dia!" saran Derry kepada Pak Herman. 

"Oh, iya, Nak," ucap Pak Herman, terus memapah anaknya ke mobil dibantu Derry. 

Sesampainya di mobil, badan Andini langsung terkulai. Sepertinya dia tak sadarkan diri mungkin karena kecapean terus-terusan menangis serta jiwanya tergoncang dan trauma dengan kejadian yang menimpanya.

Setelah olah TKP, polisi langsung memasukkan jasad Andre ke mobil jenazah dan membawanya ke rumah sakit. Kemudian Derry meminta orang tuanya untuk melanjutkan perjalanannya ke pasar, sedangkan dia mau ikut mengantar Andini dan pak Herman ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya dan melakukan visum.

Setelah ambulans datang, jasad Andre dimasukkan ke mobil tersebut didampingi Derry. 

Beberapa kilo meter dari TKP, di depan sebuah warung kopi menuju RSUD terlihat sebuah sebuah motor yang sedang terparkir dengan dua orang pengendaranya mengawasi mobil ambulans yang baru saja melewatinya, sepertinya mereka sengaja diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.

Dengan senyum menyeringai salah satu darinya menelepon bosnya untuk memberi kabar, "Hallo, Bos. Mereka sudah dibawa polisi." 

"Ok, awasi terus!" perintahnya. 

"Siap, Bos!" Kemudian mereka langsung pergi. 

Ambulans pun berjalan menelusuri jalanan nan sepi, suara sirine terdengar pilu menyayat kalbu, seperti sedang menggambarkan suasana hati Andini yang remuk redam.

Di dalam mobil Pak Herman, terlihat putrinya yang cantik jelita tak sadarkan diri semenjak naik mobil tadi. Setelah sampai di RSUD Subang, jasad Andre langsung dimasukkan ke ruang forensik untuk dilakukan otopsi. Sedangkan Derry membantu pak Herman mengantarkan Andini untuk di visum.

Andini di bopong oleh Pak Dadang sopir ayahnya bersama Derry yang semenjak naik mobil pingsan, mungkin rasa lelah yang menghimpit pikiran dan hatinya membuat kondisi tubuhnya melemah. Mereka pun cepat-cepat menaikkannya ke blankar yang baru saja dibawa oleh dua orang perawat dari dalam, dengan sigap mereka langsung mendorongnya ke IGD rumah sakit tersebut untuk pemeriksaan lebih lanjut diiringi pak Herman.

Pak Herman dan Derry hanya bisa menunggu di luar, di benak mereka berkecamuk dengan pikirannya masing-masing.

Ayahnya Andini terlihat gusar dan cemas, dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib putrinya kedepannya. Ada rasa takut yang menghinggapi hati dan pikirannya, dalam benaknya berkata, "Gimana nasib putriku kedepannya. Pasti dia mengalami trauma berkepanjangan. Alangkah malangnya nasibmu, Nak!" gumam Pak Herman sambil mengusap dada.

Dari tadi ayah tiga anak itu mondar- mandir di depan ruang IGD, kadang sesekali duduk terus tegak lagi. Sedangkan di wajah Derry terlihat ada rasa iba dan khawatir, walaupun dia masih bisa duduk dengan tenang sambil sesekali melihat layar hpnya. 

Ketika mereka duduk sambil termangu di kursi tunggu, dua orang polisi datang menghampirinya.

"Selamat pagi, maaf, Pak. Keluarga saudara Andre apakah sudah datang?" tanya Polisi membuyarkan lamunan mereka.

Derry dan Pak Herman serempak menoleh ke arah Pak Polisi tersebut, "Ohh, belum kayaknya, Pak!" Jawab ayahnya Andini agak gugup. 

"Oh, belum, ya! Baiklah, kalau begitu Saya tunggu di depan kamar forensik aja, kalau mereka sudah datang tolong kabarin kami, Pak," jawab Polisi itu dengan sopan. 

"Baik-- baik Pak, nanti kami langsung antar ke sana," ucap Pak Herman kembali. 

"Ok, kalau begitu, Saya permisi dulu," jawab Pak Polisi, terus mereka pergi ke ruangan forensik yang letaknya di sebelah gedung rumah sakit tersebut. 

Tidak lama dari luar terlihat dua wanita bergegas masuk, yang satu terlihat masih muda dan yang satunya sudah cukup berumur. Mereka terus menghampiri pak Herman.

"Pah, gimana keadaan putri kita? Dia baik-baik aja, kan?" Bu Sri yang baru saja datang beserta keponakannya langsung membrodong suaminya dengan beberapa pertanyaan.

Raut wajahnya terlihat cemas, matanya pun sembab, sepertinya dari tadi terus menangis setelah mendapatkan kabar duka dari suaminya. 

"Sabar, Mah. Dokter sedang memeriksanya," jawab Pak Herman dengan suara pelan, lalu mendekap dan mengelus pundak istrinya.

Tangis Bu Sri pun pecah, air matanya tumpah tak terbendung lagi, hatinya gundah dan shock serta khawatir dengan keadaan putrinya, Nisa keponakannya ikut menenangkannya. 

"Sudah Tante, jangan nangis terus! Kita berdo'a saja biar Andini tidak kenapa-kenapa, ya," Nisa melap air mata tantenya dengan tisu, lalu mengajaknya duduk.

Kemudian, tidak sengaja Nisa menoleh ke kursi sebelahnya, dia pun kaget dan seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Der--ry!"  Dia menyapa Derry teman sekelasnya waktu masih duduk di bangku SMA dulu.

Derry yang dari tadi sedang menunduk sambil melihat ponselnya langsung menoleh ke arahnya.

"Ni--sa, kau di sini?!" jawab Derry heran, terus tersenyum dan bersalaman.

"Iya, aku lagi nganter tanteku! Kau lagi ngapain di sini?" tanya Nisa keheranan.

"Hmmm, i--ni, tadi aku nganter Om Herman dan Andini. Tadi kami ketemu di jalan, jadi sekalian nganter ke mari, takutnya polisi butuh saksi untuk hal ini," jawab Derry lugas, terus dia menceritakan semua yang terjadi ketika menemukan sepupu Nisa itu di TKP. 

Nisa pun manggut-manggut, terus berkata, "Oh, terima kasih ya, Der. Kamu emang tidak berubah, selalu baik terhadap keluarga kami," lirih Nisa, "Tante, Om, masih kenal dak sama Derry? Dia dulu sering ke rumah untuk mengajak Anton main sepak bola!" Seru Nisa menerangkan.

"Oh, Kamu Derry, ya? Maaf, Om tadi tidak mengenalimu!" Sergah Pak Herman, "Terima kasih ya, Kamu sudah menolong Andini dan memberitahu kami," ucap Pak Herman, sambil menepuk bahunya.

Memang kedua orang tua Andini kurang mengenal sosok Derry karena sibuk sehingga jarang ketemu. 

"Sama-sama, tidak apa, Om. Derry memakluminya, kok! Lagian tadi kebetulan kami lewat dan menemukan Andini," lirih Derry sambil tersenyum.

Mereka pun terus mengobrol ngalor-ngidul, sampai akhirnya seorang dokter keluar dan memberitahukan kondisi Andini kepada mereka. Dan Pak Herman diajak pak dokter masuk ke ruangannya sepertinya ada hal yang mau di sampaikannya. Ibu Sri, Nisa dan Derry di perbolehkan masuk untuk menjenguk Andini yang masih terbaring dan tertidur pulas. Ibunya terlihat sangat terpukul setelah melihat kondisi putrinya, dia terus menangisinya. 

"Andini, kamu kenapa bisa begini? Siapa yg tega menyakitimu, Nak" Isak tangisnya pecah, Bu Sri tidak bisa menahan rasa sedihnya, "Sungguh malang nasibmu, Nak!" lirihnya terus memeluk anaknya sambil mengecup kening dan pipinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status