Share

bab. 6

last update Last Updated: 2022-08-18 15:08:21

 “Bukan seperti itu, Om . Tapi ....” Aku tertunduk.

Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.

“Tapi apa, ha?”

“ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?” tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.

“Ini rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,” ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.

“Maaf Tuan. Makanannya belum siap,” ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. 

“Gak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.”

Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. 

“Jangan, Zi!

“Jangan, Non!” 

Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berhamburan mengisi ruangan dapur ini. Bahkan beberapa sudah masuk dalam kuah sup yang aku buat.

“Zi, bukankan aku sudah bilang. Kamu harus belajar dari Simbok. Aku tak suka makan sup ayam yang ditaburi bawang goreng,” ucapnya sinis sambil melihat kuah sup yang aku buat. 

“Tapi, Om!”

“Gak ada tapi. Lain kali kalau mau melakukan sesuatu bicara dulu. Jangan seperti itu. Main cemplang Cemplung, gak jelas,” imbuhnya lagi. 

“Oh ya, jangan lagi buat dapurku kotor seperti ini. Aku tak suka.”

Manik mataku mengarah ke tubuhnya yang kini kembali ke kursi makan. Benar-benar lelaki yang aneh, bukankah bawang goreng membuat makanan menjadi lebih sedap?

Simbok kini membersihkan bawang goreng yang berceceran di atas meja, bahkan ada juga yang jatuh dilantai. Parahnya, beberapa bawang goreng itu sudah ada yang masuk di kuah sup Om galak. Sedangkan kami gak mungkin lagi membuat makanan baru. Waktu yang tersisa hanya tinggal beberapa menit, seperti ajang masak saja.

Dua bola matanya menatap sup yang aku buat, sedangkan tangannya tampak membolak balikkan ayam, dan beberapa irisan sayur di dalamnya memakai sendok. 

“Kenapa lagi, Om?” tanyaku.

Ia mengarahkan telapak tangannya ke arahku. Seakan memberi kode untuk berhenti bicara. 

“Kamu mau membunuhku, Zi?”  tanyanya sambil mengarahkan pandangan kepadaku. Dua alisnya saling bertaut, dengan mimik wajah yang membuatku ketakutan. Seingatku, aku tak memasukkan bahan aneh-aneh. Ya. Meskipun benar sih lelaki itu membuatku jengkel. Tapi aku tak pernah berpikiran untuk memberikan ia racun.

“Tapi, Om. Zi tidak ....”

“Kentangnya harus tiga potong ukuran sedang. Yang kamu masukkan di sini, empat potong ukuran besar. Kamu ingin aku cepat mati?” 

“Ya elah, Om. Gitu aja marah. Tinggal makan 3 potong saja kan beres. Gak harus marah-marah. Cepat tua Lo, Om. Pantas saja banyak kerutan di dahi Om Zuan,” ucapku sambil menunjuk dahinya yang kini semakin berkerut.

“Zi,” ucapnya dengan penegasan.

“Zi lupa, Om. Belum ngasih makan pusi. Zi permisi dulu,” ucapku dan berlari. Berlari dengan terengah-engah menuju ke kamar. 

Pusi adalah kucing kesayanganku saat di kampung. Bagaimana kabarnya saat ini ya? Apa sekarang pusi sudah makan? Kasihan kamu meow.

“Menyiapkan makan Om Zuan, seperti ikut kontes MasterChef saja. Gak boleh ini, gak boleh itu. Harus sempurna. Mendingan ikutan kontes sih, kalau di sana menang dapat hadiah, kalau di sini. Dapat hadiah enggak, dapat Omelan iya,” ucapku sambil berdiri di atas balkon kamar, melihat pemandangan bawah dengan air mancur serta pepohonan yang tampak rindang. 

Sesaat mataku terpaku ketika Om galak sudah berada di kamar.

“Tunggu, Om!”

Teriakku sambil menutup kedua mataku dengan tangan. Lelaki yang masuk ke dalam pandanganku itu hampir melepas pakaian yang di kenakannya. 

“Ada apa lagi, Zi?” tanyanya terheran. 

“Bisa gak, Om. Kalau ganti pakaian di kamar mandi saja.

“Ini kamarku, Zi. Apa aku salah?” 

“E-enggak, Om,” jawabku sambil menggeleng.

“Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
om Zuan g ngerti y.. kan Zi masih polos..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Akad   bab.36c

    Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?

  • Terpaksa Akad   bab. 36b

    Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka

  • Terpaksa Akad   bab. 36a

    Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den

  • Terpaksa Akad   bab. 35b

    “Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana

  • Terpaksa Akad   bab. 35a

    Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra

  • Terpaksa Akad   bab.34b

    “Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status