Share

bab. 6

 “Bukan seperti itu, Om . Tapi ....” Aku tertunduk.

Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.

“Tapi apa, ha?”

“ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?” tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.

“Ini rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,” ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.

“Maaf Tuan. Makanannya belum siap,” ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. 

“Gak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.”

Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. 

“Jangan, Zi!

“Jangan, Non!” 

Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berhamburan mengisi ruangan dapur ini. Bahkan beberapa sudah masuk dalam kuah sup yang aku buat.

“Zi, bukankan aku sudah bilang. Kamu harus belajar dari Simbok. Aku tak suka makan sup ayam yang ditaburi bawang goreng,” ucapnya sinis sambil melihat kuah sup yang aku buat. 

“Tapi, Om!”

“Gak ada tapi. Lain kali kalau mau melakukan sesuatu bicara dulu. Jangan seperti itu. Main cemplang Cemplung, gak jelas,” imbuhnya lagi. 

“Oh ya, jangan lagi buat dapurku kotor seperti ini. Aku tak suka.”

Manik mataku mengarah ke tubuhnya yang kini kembali ke kursi makan. Benar-benar lelaki yang aneh, bukankah bawang goreng membuat makanan menjadi lebih sedap?

Simbok kini membersihkan bawang goreng yang berceceran di atas meja, bahkan ada juga yang jatuh dilantai. Parahnya, beberapa bawang goreng itu sudah ada yang masuk di kuah sup Om galak. Sedangkan kami gak mungkin lagi membuat makanan baru. Waktu yang tersisa hanya tinggal beberapa menit, seperti ajang masak saja.

Dua bola matanya menatap sup yang aku buat, sedangkan tangannya tampak membolak balikkan ayam, dan beberapa irisan sayur di dalamnya memakai sendok. 

“Kenapa lagi, Om?” tanyaku.

Ia mengarahkan telapak tangannya ke arahku. Seakan memberi kode untuk berhenti bicara. 

“Kamu mau membunuhku, Zi?”  tanyanya sambil mengarahkan pandangan kepadaku. Dua alisnya saling bertaut, dengan mimik wajah yang membuatku ketakutan. Seingatku, aku tak memasukkan bahan aneh-aneh. Ya. Meskipun benar sih lelaki itu membuatku jengkel. Tapi aku tak pernah berpikiran untuk memberikan ia racun.

“Tapi, Om. Zi tidak ....”

“Kentangnya harus tiga potong ukuran sedang. Yang kamu masukkan di sini, empat potong ukuran besar. Kamu ingin aku cepat mati?” 

“Ya elah, Om. Gitu aja marah. Tinggal makan 3 potong saja kan beres. Gak harus marah-marah. Cepat tua Lo, Om. Pantas saja banyak kerutan di dahi Om Zuan,” ucapku sambil menunjuk dahinya yang kini semakin berkerut.

“Zi,” ucapnya dengan penegasan.

“Zi lupa, Om. Belum ngasih makan pusi. Zi permisi dulu,” ucapku dan berlari. Berlari dengan terengah-engah menuju ke kamar. 

Pusi adalah kucing kesayanganku saat di kampung. Bagaimana kabarnya saat ini ya? Apa sekarang pusi sudah makan? Kasihan kamu meow.

“Menyiapkan makan Om Zuan, seperti ikut kontes MasterChef saja. Gak boleh ini, gak boleh itu. Harus sempurna. Mendingan ikutan kontes sih, kalau di sana menang dapat hadiah, kalau di sini. Dapat hadiah enggak, dapat Omelan iya,” ucapku sambil berdiri di atas balkon kamar, melihat pemandangan bawah dengan air mancur serta pepohonan yang tampak rindang. 

Sesaat mataku terpaku ketika Om galak sudah berada di kamar.

“Tunggu, Om!”

Teriakku sambil menutup kedua mataku dengan tangan. Lelaki yang masuk ke dalam pandanganku itu hampir melepas pakaian yang di kenakannya. 

“Ada apa lagi, Zi?” tanyanya terheran. 

“Bisa gak, Om. Kalau ganti pakaian di kamar mandi saja.

“Ini kamarku, Zi. Apa aku salah?” 

“E-enggak, Om,” jawabku sambil menggeleng.

“Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
om Zuan g ngerti y.. kan Zi masih polos..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status