Share

Bab. 5

“Maaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?” tanyaku ragu.

“Panggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,” ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.

“Tuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,” ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.

“Ha?” Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. 

“Maaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!” ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. 

“Nona Zi memang lucu,” ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. 

*”

Aku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatukan.  Perabotan di sinipun tampak bersih dan rapi. Kulkas berpintu empat, rak piring dan perabotan tempat ini berwarna senada dan begitu indah, bahkan beberapa bunga yang berdiri indah di atas vas itu turut menjadi pelengkap dapur ini.

“Nasinya sudah dibuat, Mbok?” tanyaku kepada perempuan tua yang menjadi seniorku. 

“Tuan tidak makan nasi, Non. Tuan makannya kentang kukus. Ini lagi Simbok kupas kentangnya,” ucap wanita itu dengan pisau dan kentang di tangannya. 

“Ha? Tidak makan nasi, Mbok? Apa kenyang Cuma makan kentang ini?” tanyaku sambil mencuci kentang yang sudah di kupas. Membayangkan sehari makan tanpa nasi saja membuatku kelaparan. Aku tidak bisa jika harus meninggalkan karbo yang itu, tidak makan nasi bagiku tidak makan. Bagiku, makan nasi bekas itu lebih mengenyangkan dari pada memakan kentang rebus seperti ini.

“Ya begitulah, Non. Itu memang menu makanan Tuan. Hampir dua tahun ia makan dengan menu yang selalu sama.”

Aku mengernyitkan dahiku aneh, rasanya Om galak itu gak normal. Mana mungkin ada orang yang mau mengonsumsi makanan yang sama tiap harinya. Ini bahkan sampai dua tahun..

“Kenapa di rumah besar ini, hanya ada Simbok dan Pak Tejo. Apa tidak kewalahan untuk membersihkan tempat seluas ini?”  tanyaku sambil memasukkan kentang ke dalam kukusan.

“Gak ada yang betah, Non. Semua mengundurkan diri, tak ada yang bertahan selama sehari.”

“Apa, Mbok?” Aku masih tak percaya dengan tuturan wanita di sebelahku ini.

“Jujur aku juga capek, Non. Simbok sudah beberapa kali berniat untuk pulang kampung, ingin menghabiskan waktu bersama anak dan cucu. Tapi Simbok selalu gak tega jika melihat Tuan sendirian. Siapa yang akan mengurusnya?” 

“Orang tua Om Zuan ke mana, Mbok? Kenapa mereka gak di sini dan ikut membantu mengurus anak galaknya itu,”

Selama di sini aku memang belum bertemu orang tua Om Zuan. Bahkan saat hari pernikahan itupun, orang tuanya tak ikut serta. Hanya ada Om galak itu dan beberapa rekannya.

“Ayahnya tuan sudah meninggal lama, sedangkan Ibunya Tuan Zuan kini sedang berada di luar negri untuk melanjutkan pengobatannya.”

“Pengobatan? Sakit apa, Mbok?”

“Aku gak tahu, Non. Aku juga gak berani tanya sama Tuan. Banyak bicara sama dia sama saja mencari masalah. Gini aja Mbok masih banyak yang keliru,” ucapnya sambil terkekeh menahan tawa. 

“Dulu Tuan Zuan itu sosok lelaki yang hangat, Non. Dia lelaki yang baik dan begitu menyayangi istrinya. Apalagi saat Nona cantik hamil, ia bahkan memberi kami uang yang cukup lumayan. Katanya syukuran atas hadirnya janin yang mengisi rahim istrinya. Gak tanggung-tanggung Non hampir sama dengan harga satu unit motor saat ini. Apalagi asisten rumah tangga di sini begitu banyak, hampir 15 orang.”

“Om Zuan sudah menikah, Mbok?”

“Iya, Non. Tapi meninggal saat melahirkan, beserta dengan janinnya.

“Ehem,” Deheman keras membuat kami saling menatap satu sama lain. Suara khas dengan suara berat di tenggorokan.

“Astagfirullah, Om. Ngagetin Zi saja,” ucapku ketika menengok ke sumber suara. Lelaki berjas dengan koper di tangannya itu membuat aku bergidik ngeri. Aku menampakkan senyum yang kupaksa sambil menampakkan jejeran gigiku. Semoga saja ia tak berdiri di situ lebih lama, apa ia mendengar pembicaraan kami ?

“Kaget karena gosipin saya di belakang? Apa ini salah satu pekerjaan wanita? Tukang ngegosip,” ucapnya dengan nada tinggi. Tubuhku gemetar, sepertinya Om galak ini memang mendengar percakapan kami. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
termyata Zuan duren? eh dudes duda judes....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status