Share

Bab. 5

last update Last Updated: 2022-08-18 15:07:34

“Maaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?” tanyaku ragu.

“Panggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,” ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.

“Tuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,” ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.

“Ha?” Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. 

“Maaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!” ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. 

“Nona Zi memang lucu,” ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. 

*”

Aku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatukan.  Perabotan di sinipun tampak bersih dan rapi. Kulkas berpintu empat, rak piring dan perabotan tempat ini berwarna senada dan begitu indah, bahkan beberapa bunga yang berdiri indah di atas vas itu turut menjadi pelengkap dapur ini.

“Nasinya sudah dibuat, Mbok?” tanyaku kepada perempuan tua yang menjadi seniorku. 

“Tuan tidak makan nasi, Non. Tuan makannya kentang kukus. Ini lagi Simbok kupas kentangnya,” ucap wanita itu dengan pisau dan kentang di tangannya. 

“Ha? Tidak makan nasi, Mbok? Apa kenyang Cuma makan kentang ini?” tanyaku sambil mencuci kentang yang sudah di kupas. Membayangkan sehari makan tanpa nasi saja membuatku kelaparan. Aku tidak bisa jika harus meninggalkan karbo yang itu, tidak makan nasi bagiku tidak makan. Bagiku, makan nasi bekas itu lebih mengenyangkan dari pada memakan kentang rebus seperti ini.

“Ya begitulah, Non. Itu memang menu makanan Tuan. Hampir dua tahun ia makan dengan menu yang selalu sama.”

Aku mengernyitkan dahiku aneh, rasanya Om galak itu gak normal. Mana mungkin ada orang yang mau mengonsumsi makanan yang sama tiap harinya. Ini bahkan sampai dua tahun..

“Kenapa di rumah besar ini, hanya ada Simbok dan Pak Tejo. Apa tidak kewalahan untuk membersihkan tempat seluas ini?”  tanyaku sambil memasukkan kentang ke dalam kukusan.

“Gak ada yang betah, Non. Semua mengundurkan diri, tak ada yang bertahan selama sehari.”

“Apa, Mbok?” Aku masih tak percaya dengan tuturan wanita di sebelahku ini.

“Jujur aku juga capek, Non. Simbok sudah beberapa kali berniat untuk pulang kampung, ingin menghabiskan waktu bersama anak dan cucu. Tapi Simbok selalu gak tega jika melihat Tuan sendirian. Siapa yang akan mengurusnya?” 

“Orang tua Om Zuan ke mana, Mbok? Kenapa mereka gak di sini dan ikut membantu mengurus anak galaknya itu,”

Selama di sini aku memang belum bertemu orang tua Om Zuan. Bahkan saat hari pernikahan itupun, orang tuanya tak ikut serta. Hanya ada Om galak itu dan beberapa rekannya.

“Ayahnya tuan sudah meninggal lama, sedangkan Ibunya Tuan Zuan kini sedang berada di luar negri untuk melanjutkan pengobatannya.”

“Pengobatan? Sakit apa, Mbok?”

“Aku gak tahu, Non. Aku juga gak berani tanya sama Tuan. Banyak bicara sama dia sama saja mencari masalah. Gini aja Mbok masih banyak yang keliru,” ucapnya sambil terkekeh menahan tawa. 

“Dulu Tuan Zuan itu sosok lelaki yang hangat, Non. Dia lelaki yang baik dan begitu menyayangi istrinya. Apalagi saat Nona cantik hamil, ia bahkan memberi kami uang yang cukup lumayan. Katanya syukuran atas hadirnya janin yang mengisi rahim istrinya. Gak tanggung-tanggung Non hampir sama dengan harga satu unit motor saat ini. Apalagi asisten rumah tangga di sini begitu banyak, hampir 15 orang.”

“Om Zuan sudah menikah, Mbok?”

“Iya, Non. Tapi meninggal saat melahirkan, beserta dengan janinnya.

“Ehem,” Deheman keras membuat kami saling menatap satu sama lain. Suara khas dengan suara berat di tenggorokan.

“Astagfirullah, Om. Ngagetin Zi saja,” ucapku ketika menengok ke sumber suara. Lelaki berjas dengan koper di tangannya itu membuat aku bergidik ngeri. Aku menampakkan senyum yang kupaksa sambil menampakkan jejeran gigiku. Semoga saja ia tak berdiri di situ lebih lama, apa ia mendengar pembicaraan kami ?

“Kaget karena gosipin saya di belakang? Apa ini salah satu pekerjaan wanita? Tukang ngegosip,” ucapnya dengan nada tinggi. Tubuhku gemetar, sepertinya Om galak ini memang mendengar percakapan kami. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
termyata Zuan duren? eh dudes duda judes....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Akad   bab.36c

    Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?

  • Terpaksa Akad   bab. 36b

    Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka

  • Terpaksa Akad   bab. 36a

    Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den

  • Terpaksa Akad   bab. 35b

    “Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana

  • Terpaksa Akad   bab. 35a

    Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra

  • Terpaksa Akad   bab.34b

    “Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status