Share

Bab. 7

“Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. 

“Jangan, Om,” ucapku sambil mendorong tubuhnya agar tak semakin mendekat. 

“Kenapa, Zi? Ha? Kamu terganggu?” Lelaki itu terus mendekat sambil kembali menyeringai, ia semakin mendekat hingga terasa aroma nafasnya saat ia berbicara. Desiran jantungku benar-benar tak karuan. Ini pertama kalinya aku bersama lelaki sedekat ini.

Aku terpejam, rasanya aku tak mampu menatap lelaki itu lebih lama. Sungguh perasaan yang tak pernah aku mengerti, dibalik rasa ketakutan, ada rasa yang aneh yang kini menjelajahi ruang hatiku.

“Ba,” terdengar suaranya yang mengejutkan serta aroma nafas yang kian menyeruak. 

Sontak aku membuka mata, dan ia tertawa begitu konyolnya. 

“Kamu pikir aku mau ngapain, Zi? Ha? Aku tidak mungkin melakukan itu denganmu,” ucapnya sambil menata nafasnya yang terengah. Ia terus tertawa setelah puas mengerjaiku.

“Aku tegaskan lagi, aku tak mungkin mencintaimu. Dan kamu juga jangan sampai jatuh hati kepadaku,” tuturnya sambil kembali melanjutkan tawanya yang tertahan. Tawa yang jahat. Entah mulai kapan aku merasakan sakit diperlakukan seperti ini.

**

Aku menatap tubuhnya yang dari duduk di kursi kerja, dua bola matanya tampak menyusuri tulisan dalam layar laptop di depannya. Sesekali ia menengok ke ponsel untuk memastikan sesuatu, dan kembali menatap layar yang sama. 

Aku akui, ia memang pekerja keras. Dari kemarin aku hanya melihatnya kerja, marah, kerja, marah. Hanya itu. Mungkin karena kesibukannya yang monoton itulah membuat hidupnya kaku, serasa kanebo kering. 

Ia tampak meneguk air putih yang sudah kusiapkan, lagi-lagi pandangannya kembali ke dalam jejeran tulisan dalam layar tersebut. Sesekali aku melirik detikan jarum jam yang berada di sudut kamar, semakin benda itu berputar, rasa laparku semakin menyeruak.  Kata Simbok tiap malam Minggu Om galak tak makan di rumah. Ia lebih memilih menikmati masakan resto favoritnya. Entah di mana itu akupun tak tahu. 

“Om,”  teriakku sambil duduk di ranjang menatap ke arahnya yang tampak tak peduli denganku. 

“Hm,” hanya terdengar Deheman, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

“Ini sudah jam delapan malam, Om,” ucapku sambil menahan lilitan perut yang semakin perih. Apalagi siang tadi aku tak ikut makan, karena mood makanku hilang setelahemdengar om marah-marah.

“Iya, Kamu tidur saja dulu. Nanti aku menyusul. Kamu bukan anak kecil yang harus di dongenginkan?” tanyanya sambil menggerakkan jemarinya, menyusun jejeran huruf dan angka di layar depannya. Tetap dengan posisi yang sama, tanpa menoleh ke arahku. Sedangkan dari tadi aku terus saja mengelus perut untuk memintanya bersabar.

“Tapi, Om, aku ....”

“Sudahlah, Zi. Aku ini kerja. Bisa kan untuk tidak bawel sekali ini saja,” ucapnya dengan nada meninggi. Kali ini ia menoleh ke arahku.

“Lapar,” ucapku lirih melanjutkan kalimat yang terputus. 

“Kamu bilang apa?” 

“Enggak, Om. Enggak jadi.”

Lelaki itu berjalan mendekati pintu almari, di ambilnya pakaian yang menggantung dan bergegas memakainya. Kini ia berjalan ke arahku dengan muka yang masih terlihat serius. 

“Ayo ikut aku,” ucapnya dengan nada meninggi. Lebih tepatnya seperti teriakan. 

“E-enggak, Om.”

Aku menggelengkan kepala, merutuki diri sendiri. 

‘Kenapa kamu harus mengganggu kerjanya, Zi? Kamu tahu kan lelaki itu lelaki seperti apa? Kenapa kamu cari mati begini?’

“Ayo,” ucapnya lagi. Kali ini berbeda, ia mengulurkan tangannya ke arahku.

“Enggak, Om. Aku mau tidur,” ucapku bergegas berbaring.

Sungguh di luar dugaanku, ketika tubuh kecilku terasa terangkat. Ia membopongku ke punggungnya. Seperti kuli yang sedang mengangkat beban beras sekarung dalam pundaknya. Aku meronta, meminta untuk dilepaskan, namun laki-laki ini benar-benar kaku, ia tak bergeming sama sekali. Bahkan beberapa pukulan yang aku layangkan, ia sama sekali tak mengaduh kesakitan. 

Mobil terhenti di depan sebuah resto. Pandangan pertamaku mengarah kepada gambar menu besar di depan pintu masuk, aku menelan salivaku dalam. Rasanya ingin sekali menikmati makanan seperti gambar tersebut. Aku terhenyak ketika mendengar suara pintu mobil yang terbuka. Lelaki itu kembali menggendong tubuhku seperti saat awal tadi, hingga kulihat semua pasang mata mengarah kepadaku.

“Om lepaskan,” ucapku sambil meronta.

Ia sama sekali tak bergeming seakan tak mendengarnya. 

“Menu biasa. Dua porsi,” ucapnya ketika melewati salah satu pramusaji. Ia tetap dengan posisi semula, tanpa melepas gendongannya. Kulihat wajah wanita itu yang tampak tersenyum sambil menatap ke arahku. Sial, rasanya aku benar-benar malu saat ini. 

“Kamu kenapa, Zi?” tanya Om Zuan sambil menarik buku menu yang ku pegang. Ya, kami duduk di ujung ruangan dengan beberapa pasang mata yang menatapku aneh. Apalagi ini malam Minggu. Tempat ini begitu ramai.

“Kembalikan buku menu itu, Om. Aku malu semua mata menatap ke arahku,” ucapku sambil mencoba meraih buku berukuran lumayan besar dari tangannya. Buku menu yang mampu menjadi penghalang manik-manik mata  ke arahku.

Tanpa di sangka, Om Zuan kini justru tertawa terbahak. Hingga membuat se isi ruangan ini kembali  mengarahkan pandangan ke meja kami, tak terkecuali pramusaji tadi yang kini berjalan mendekat dengan nampan yang berisi beberapa menu pesanan lelaki di depanku.

“Istrinya ya, Pak? Serasi sekali,” ucap pramusaji cantik itu sambil melengkungkan bibirnya.

Apa? Aku di bilang serasi dengan om-om seperti ini? Kemungkinan umur kamipun terpaut sepuluh tahun lebih, dan ia bilang serasi? Sepertinya mata wanita ini benar-benar tidak beres.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
om Zuan g peka banget sih.. masa gendong Zi kyak krung beras. y malu lah..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status