Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.âMa, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? â ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.âOm.âEntah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. âZi kangen, Om. Zi ....âAku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. âOm Zuan.â Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.âOm Zuan, ini Zi.â Aku terus mendekat.âSiapa, Zi? Aku gak kenal!âAku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka
Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.âZuan, apa kamu di dalam?â terdengar teriakan mama dari balik pintu. âTadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...âMama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.âKalian sudah bertemu?â Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. âKenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?â Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.âMaaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.ââKalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?â aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?
âApa? Mempelai perempuannya menghilang?â terdengar selentingan di indraku.Semua tampak panik dan saling sibuk mencari mempelai yang hendak akad sejam lagi.âBagaimana bisa terjadi? Bukankah kalian sudah memutuskan anak kalian menikah dengan tuanku?â tampak suara seram dari balik ruang yang tertutup korden, sesaat kemudian seorang lelaki berbadan tinggi itu keluar dengan raut muka muram.âBagaimana ini, Bu! Anak kita memang keterlaluan, ia bikin keluarga kita malu,â terdengar suara pelan di dalam kamar, sedangkan aku tetap menikmati nasi rawon yang disajikan di pesta ini.Hari ini acara pernikahan sepupuku, ia akan menikah dengan lelaki kota kaya yang memiliki beberapa investasi sawah di daerahku. Begitulah yang aku dengar. Pak de dan Bu de ku kerap kali menyombongkan pernikahan ini, bakal memiliki mantu kaya.âRombongan pengantin prianya sudah datang,â teriak salah satu warga yang kini menuju kamar melewatiku. Pak De dan Bu De tampak keluar dari kamar dengan muka panik, bahkan terden
Seusai akad aku langsung di boyong ke kota, di tempat di mana aku tak mengenal siapapun. Termasuk suamiku. Ia dingin, tak banyak bicara. Bahkan diperjalanan yang menghabiskan beberapa jam itupun tak terdengar sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya tampak raut kekecewaan. Mungkin ia membayangkan wanita yang dinikahi berperawakan menarik, dengan kulit putih bersih dan bertubuh semampai seperti Mesa. Namun kenyataannya, ia menikahi gadis dekil dengan kulit sawo matang ini. Kenapa ia tak menolak saat hendak menikah denganku? Entahlah. Aku pun tak berani bertanya. Hanya diam.âSilahkan masuk, Non.â Seorang wanita berpawakan seperti Simbok membukakan pintu mobil, sedangkan lelaki yang dari tadi duduk di sebelahku sudah melangkah masuk ke rumah terlebih dulu.Aku menatap bangunan mewah berwarna serba putih itu, pilarnya besar dan menjuntai tinggi ke atas. Aku melangkah masuk dengan pelan, apalagi kebaya yang aku pakai terasa begitu ketat, membuat jarak langkahku kian menyempit.Saat per
Seusai akad aku langsung di boyong ke kota, di tempat di mana aku tak mengenal siapapun. Termasuk suamiku. Ia dingin, tak banyak bicara. Bahkan diperjalanan yang menghabiskan beberapa jam itupun tak terdengar sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya tampak raut kekecewaan. Mungkin ia membayangkan wanita yang dinikahi berperawakan menarik, dengan kulit putih bersih dan bertubuh semampai seperti Mesa. Namun kenyataannya, ia menikahi gadis dekil dengan kulit sawo matang ini. Kenapa ia tak menolak saat hendak menikah denganku? Entahlah. Aku pun tak berani bertanya. Hanya diam.âSilahkan masuk, Non.â Seorang wanita berpawakan seperti Simbok membukakan pintu mobil, sedangkan lelaki yang dari tadi duduk di sebelahku sudah melangkah masuk ke rumah terlebih dulu.Aku menatap bangunan mewah berwarna serba putih itu, pilarnya besar dan menjuntai tinggi ke atas. Aku melangkah masuk dengan pelan, apalagi kebaya yang aku pakai terasa begitu ketat, membuat jarak langkahku kian menyempit.Saat per
âOm, bangun, Om. Ini sudah subuh. Mari kita jamaah dulu,â ucapkan sambil menggoyangkan tubuhnya. Entah mulai kapan lelaki ini tertidur di sini, tepatnya di sofa panjang sebelah meja kerjanya. Aku tertidur ketika ia masih sibuk menghadap tumpukan kertas di meja kerja itu.âAku masih ngantuk,â ucapnya masih dengan mata tertutup. Kini ia mengubah posisi dengan membelakangiku. âOm bangun, adzan sudah selesai berkumandang dari tadi. Jangan seperti anak SD yang susah dibangunkan untuk berangkat sekolah.ââApa? Kamu bandingkan aku dengan anak SD?ââMaaf, Om. Tapi memang itu benar. Aku biasanya membangunkan ponakanku selalu pakai drama, sama seperti membangunkan om!ââZi,â ucap lelaki itu dengan menaikkan nadanya.âKamu tahu, itu baru jam setengah lima pagi?â ucapnya sambil menunjuk jam di sudut kamar.âTahu, Om.ââKenapa kamu bangunkan aku jam segini? Ini bukan jamku untuk bangun, nanti pukul enam aku akan bangun sendiri, jangan lupa kamu harus sudah menyiapkan sarapanku,â ucap lelaki berpa
âMaaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?â tanyaku ragu.âPanggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,â ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.âTuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,â ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.âHa?â Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. âMaaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!â ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. âNona Zi memang lucu,â ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. *âAku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatuka
âBukan seperti itu, Om . Tapi ....â Aku tertunduk.Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.âTapi apa, ha?ââ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?â tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.âIni rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,â ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.âMaaf Tuan. Makanannya belum siap,â ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. âGak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.âLelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. âJangan, Zi!âJangan, Non!â Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berha