Dengan terpaksa Ammar memutar mobilnya menuju rumah sakit. Mengurungkan niatnya menyusul mertuanya ke bandara. Namun meski begitu putra sulung Maliq Zafier itu sudah memerintahkan anak buahnya untuk mencari informasi tentang pesawat yang ditumpangi Renjana. Sampai di rumah sakit Ammar langsung menuju ke ruang UGD. Di depan ruangan itu nampak Rosa menangis dengan ditemani Samudra. "Ma, bagaimana dengan keadaan Oma?" tanya Ammar dengan nafas memburu. Rosa mengangkat kepalanya, menatap sedih putra pertamanya. "Oma mengalami serangan jantung. Sekarang sedang ditangani oleh dokter," Ammar mendesah berat, mendongakkan wajahnya berusaha menguap dirinya sendiri. 'Tenang, semua akan baik-baik saja," bisiknya dalam hati, berusaha untuk tenang. Merasa sedikit tenang, ia berjongkok di depan sang Mama. Digenggamnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu erat. "Oma pasti akan baik-baik saja," ucapnya menyakinkan sang mama. Bukannya tenang, Rosa malah menangis. "Andai saja kamu
Dari apartemen, Ammar langsung menuju ke rumah orang tua Renjana. Saat ini yang Ammar pikirkan adalah meminta maaf pada Renjana dan bundanya Arfan. Entah apa yang akan dia katakan pada dua wanita yang telah disakitinya itu, tapi yang pasti dia harus memohon pengampunan dua wanita itu. Dan jika perlu Ammar bahkan siap bersujud di kaki keduanya demi mendapatkan pengampunan. "Hanya wanita bodoh yang melepaskan cinta pertamanya untuk dimiliki sahabatnya sendiri." Ucapan Raline terus terngiang-ngiang di telinganya membuat dadanya terasa sesak oleh rasa sesal. "Astaga..... apa yang sudah kamu lakukan Ammar?" rutuknya pada dirinya sendiri. "Bagaimana bisa kamu sebodoh itu," Waktu seakan berjalan lambat, jarak yang biasa ditempuh dengan waktu kurang dari setengah jam kini terasa sangat panjang dan lama. Beberapa kali Ammar menengok jam di pergelangan tangannya untuk memastikan waktu benar-benar berjalan. Pedal gas ditekannya lebih dalam dan laju mesin bermotor yang ditumpanginya
"Halo," Ammar menghubungi orang kepercayaannya. "Cari tahu informasi tentang kematian Arfan sedetail mungkin! Mulai dari penyebab kematian dan siapa saja yang kemungkinan terlibat dengan insiden-insiden kecelakannya?" lanjutnya memberi perintah anak buahnya melalui sambungan telpon. Ammar langsung melempar ponselnya ke atas dasbor mobil begitu selesai memberi perintah. Sepanjang jalan hatinya begitu resah. Pikirannya melayang kemana-mana. Rasa bersalah mulai bersarang di benaknya mengingat sikap kasarnya terhadap Renjana. "Astaga..... Apa yang sudah kamu lakukan Ammar?" geramnya sambil mencengkeram stir. "Kenapa waktu itu kamu begitu bodoh begitu saja mempercayai ucapan Raline," rutuknya pada diri sendiri. "Demi Tuhan, aku tidak akan bisa memaafkanmu jika semua ucapan Zahra benar," ucap Ammar bersumpah. Namun jauh di dasar hatinya Ammar berharap semua ucapan Zahra tidak benar. Sejujurnya lebih dari rasa kecewanya pada Raline, rasa bersalahnya pada Renjana jauh lebih besa
"Apa Anda sanggup?" tantang Zahra. "Maksud kamu?" Ammar memicingkan matanya. Zahra menyeringai, berhasil membuat Ammar penasaran. "Kenyataannya mungkin akan membuat Anda sakit hati bahkan menyesal," ujar Zahra tersenyum sinis. "Tidak perlu mengkhawatirkan saya. Cukup katakan yang sebenarnya dan suamimu akan mendapatkan kontrak kerja samanya." Zahra menoleh pada sang suami, meminta pertimbangan. "Pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan persahabatanmu. Keputusannya ada di tanganmu. Tapi jika dengan ini bisa melegakan hatimu, lakukanlah." Danu menggenggam tangan sang istri untuk memberi dukungan. Zahra terdiam untuk beberapa saat, menimang untuk mengungkapkan atau tetap diam. Setelah berpikir beberapa menit Zahra pun menghela nafas, lalu memandang Ammar. "Baiklah saya akan menceritakan semua tentang Renjana dan Raline. Tapi ini saya lakukan bukan untuk kerja sama yang Anda tawarkan akan tetapi demi hati nurani saya sendiri." Kedua alis Ammar menukik tajam, "Demi hati
"Lalu dimana istri saya?" tanya Ammar pada Pan Security. "Nyonya....." Ucapan pak security terpotong suara gedoran dari dalam rumah. Dok... Dok..... Dok... Suara pintu ruang tamu digedor dari dalam. "Pak.... Pak.... tolong buka pintunya, saya masih di dalam." Suara Renjana terdengar memanggil dari dalam rumah. "Maaf Tuan, Nyonya Ana saya kunci dari luar. Saya tidak punya alasan menahan Nyonya Ana, jadi saya kunci saja pintunya," jelas pak Security sambil menyerahkan kunci rumah. Tak menjawab, Ammar langsung menyambar kunci lalu berlari menuju pintu rumah. Dan saat pintu terbuka nampaknya Renjana berdiri mematung dengan tangan memegangi koper. Tak menyangka Ammar yang akan membukakan Tadi, setelah berbicara dengan Oma Rumana, wanita cantik itu izin untuk mengemasi barang-barangnya yang tertinggal di rumah itu. Namun saat ingin keluar tiba-tiba pintunya sudah terkunci dari luar. "Ana," panggil Ammar. Tiba-tiba jantung Renjana berdegup kencang, ada rasa was-
"Apa Oma? Tolong berikan jawabannya," Oma Rumana mendesah berat, sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Karena.......... Almarhum suamiku sudah menulis wasiat, hanya yang bersedia menikahi putri Gayatri yang akan mewarisi Zafier's group." Mata Renjana tertegun. Rasa kaget juga tak percaya memenuhi otak dan hatinya. "Kenapa begitu?" tanyanya. Oma Rumana menghela nafas panjang. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya. Mata sayu itu bahkan sudah berkaca-kaca. "Maliq sudah cerita kan?" tanya Oma Rumana. Renjana terdiam sebentar, lalu menganggukkan kepalanya. "Suamiku, Khalid Zafier ingin menebus dosanya dengan menjodohkan kamu dengan putra pertandingan Maliq." Helaan berat terdengar dari mulut Renjana. Mengapa harus menjodohkannya dengan Ammar. Bukankah itu artinya mengulangi kesalahan yang sama. Seperti saat menjodohkan Maliq dengan Gayatri. "Mas Khalid sangat menyayangi Ibumu. Gayatri adalah wasiat dari orang tuaku untuk dibesarkan dan dijaga dengan baik. Tapi seca
"Seperti yang kamu dengar. Kita bisa menikah setelah aku dan Ana bercerai. Tapi... jangan berharap untuk hidup sebagai menantu keluarga Zafier karena namaku akan langsung dicoret dari keturunan keluarga Zafier, setelah perceraian itu terjadi." "Ka-mu bercandaan kan, Mas?" tanya Raline. "Kamu lagi mengujiku kan?" tanya Raline tak percaya. Senyum dingin nampak di bibir Ammar. Melihat reaksi Raline, hatinya mulai goyah. Ternyata ucapannya papanya benar. "Tidak semua wanita cantik memiliki hati yang tulus. Wanita itu, apa kamu yakin akan masih mau bersamamu jika kamu bukanlah Ammar Alfatih Zafier?" ucap Maliq beberapa minggu yang lalu. "Aku serius. Saat ini keluargaku sedang merundingkan perceraianku dan Ana, juga kemungkinan Samudra menggantikanku menikahi Ana. Lalu, secara otomatis Samudra yang akan mewarisi perusahaan keluarga kami," jelas Ammar yang langsung membuat tubuh Raline lemas menyandar pada sandaran sofa. Suasana pun mendadak hening. Ammar masih sabar menunggu re
"Mas, " Sebuah panggilan terdengar saat Ammar baru saja menutup pintu mobilnya. Pria itu pun menoleh. Dengusan kasar terdengar dari mulutnya begitu melihat sosok wanita yang saat ini berlari ke arahnya. "Mas," panggil Raline langsung meraih tangan Ammar. "Kenapa Mas, gak mau angkat telponku?" lanjutnya merajuk. "Kenapa kamu datang kesini?" tanya Ammar sambil melepaskan tangan Raline dari lengannya. "Tolong jaga sikapmu ini di kantor," Saat ini mereka sedang berada di area parkiran kantor. Ammar baru saja turun dari mobilnya saat tiba-tiba Raline muncul entah dari mana. Namun yang pasti keberadaan wanita itu akan jadi masalah jika sampai ketahuan Maliq Zafier, papanya Ammar. "Mas sekarang berubah. Apa sudah gak cinta sama aku?" Raline terlihat kecewa. Wajah cerianya mendadak muram dengan mata berkaca-kaca. Sudah dua minggu pria itu seolah menghindarinya. Puluhan pesan dikirimnya namun tak satupun mendapat balasan. Telponnya juga tak pernah diangkat. "Aku sangat sibuk
"Apa kamu akan membatalkan perceraianmu?" tanya Gio saat kaki Renjana baru saja menapaki anak tangga. Wanita itu pun membalikkan tubuhnya. "Tidak," jawabnya yang langsung disambut hembusan nafas lega dari mulut Gio. "Baguslah. Ternyata kamu tidak selemah yang aku pikirkan," pujinya sambil tersenyum. Gio yang sebelumnya berdiri langsung melangkah ke arah sofa tengah lalu mendudukkan dirinya di sana. "Tukang selingkuh seperti dia harus kamu buang jauh-jauh dari hidupmu," Satu alis Renjana terangkat, dari mana kakak sambungnya itu tahu. Bertahun-tahun pria itu tinggal di luar negeri. Ah... pasti ibu kandung dari pria itu yang memberi tahu. "Mereka tidak selingkuh. Mereka sudah menjalin hubungan jauh sebelum Mas Ammar menikah denganku," "Apa aku tidak salah dengar, Ana? Kamu membela mereka? Orang-orang yang sudah mengkhianati dan menipumu secara terang-terangan?" Gio menatap adiknya itu dengan tatapan tak percaya. "Memangnya hubungan apa yang bisa mengalahkan sakralnya ik