Share

Kesepakatan.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 21:41:16

Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya.

Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya.

"Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku.

"Ma, tunggu sebentar."

"Apa lagi?" tanyanya kesal.

"Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku.

Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku.

Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam.

"Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu.

"Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya akan memberi pelajaran pada jal*ng itu, menunjukkan di mana tempat yang pantas untuk wanita yang tidak jelas asal-usulnya."

Dua bulan menjadi menantunya, aku sudah faham dengan kelakuan ibu mertua ini. Ucapan Mama Rosa selalu pedas dan menusuk hati.

Hanya karena besar di panti asuhan Mama Rosa berulang kali mengatakan Raline, wanita yang tidak jelas asal-usulnya.

"Demi Tuhan, jangan Ma." Panik, aku meraih tangan mertuaku dan membungkuk di depannya. Tidak punya cara lain, aku merendahkan diri memohon padanya.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan mama mertuaku ini, Mama Rosa pasti akan mempermalukan Raline di depan umum. Dan aku tidak boleh membiarkannya atau Mas Ammar akan marah besar padaku.

"Kalau Mama masuk sekarang dan marah-marah bukan Raline yang malu tapi keluarga kita yang akan malu, Ma. Di dalam banyak sekali tamu undangan dan sebagian besar adalah istri-istri pengusaha yang mungkin saja mengenal Mama sebagai istri Papa Malik Zafier," jelasku panjang lebar.

Mama Rosa menghela nafas panjang, terlihat sedikit tenang. "Lalu aku harus bagaimana? Diam saja membiarkan anak kurang aja itu melempar kotoran di wajahku, begitu?"

"Bu-bukan begitu Ma." Aku menggelengkan kepalaku. "Kita cari cara lain. Ma-maksudku, tolong biarkan aku saja yang menyelesaikannya dengan cara lain," pintaku menatap penuh harap.

Mama Rosa bergeming. Matanya menatapku lekat seolah sedang berpikir. "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" tanyanya.

"Aku... aku akan merebut hati Mas Ammar," jawabku bersungguh-sungguh.

"Bagaimana caranya?" Mama Rosa terlihat lebih tenang.

Spontan aku menghela nafas lega, "Kita bicara di dalam mobil, Ma. Aku akan menjelaskannya," ujarku menarik mama Rosa masuk kembali ke mobil.

"Katakan," suruhnya tak sabar begitu kami duduk di dalam mobil.

"E... aku akan berusaha meluluhkan hati Mas Ammar. Membuatnya melupakan Raline dan mencintaiku," kataku bersungguh-sungguh meski jujur dalam hati aku sendiri tak yakin. Aku hanya mengatakan kata-kata yang kurasa bisa menyakinkan Mama Rosa.

"Aku mengenal Raline sejak masih remaja. Aku tahu baik dan buruknya. Jadi, aku pasti visa mencari celah untuk memisahkan mereka."

Mama Rosa masih diam, mungkin belum yakin dengan ucapanku.

"Aku janji Ma, aku akan memisahkan mereka dengan caraku. Tolong beri aku waktu," tambahku sambil memegang tangan Mama Rosa. Berharap wanita itu percaya dan memberikan aku waktu untuk memisahkan dua sejoli itu.

"Kamu yakin bisa?" Mama Rosa menatapku lekat.

"Yakin Ma." Aku mengangguk.

Mama Rosa terdiam. Wanita itu mungkin sedang mempertimbangkan usulku. Beberapa detik berlalu dan wanita itu hanya diam.

"Berikan aku waktu dua atau tiga bulan. Aku yakin aku bisa meluluhkan hati Mas Ammar dan membuatnya melupakan Raline seperti keinginan Mama tanpa harus merusak nama baik keluarga Zafier."

Mama Rosa mendengus kasar. Tiba-tiba matanya memerah dan mulai mengembun. "Saya tidak menyangka Ammar tega melakukan ini semua. Kenapa dia tidak memikirkan nama baik keluarga. Tapi malah kamu yang memikirkan nama baik keluarga kami," katanya terlihat sedih.

Tak tahu harus berkata apa, aku memilih diam.

Mama Rosa menghela nafas panjang. "Baiklah, aku ikuti maumu. Tapi ada syaratnya,"

Entah apa syaratnya tapi aku langsung menganggukkan kepalaku. "Katakan apa syaratnya, Ma. Jika aku bisa, pasti akan kulakukan."

"Penuhi keinginan Oma Rumana. Kamu harus segera hamil anak Ammar."

Aku terkesiap.

Dari awal pernikahan, memiliki momongan tidak pernah ada dalam pikiranku. Aku sadar aku bukan wanita yang diinginkan Mas Ammar menjadi istrinya. Aku tidak mau jika nantinya anakku akan bernasib sama sepertiku, tidak diharapkan.

"Kuberi waktu tiga bulan dan kamu harus bisa hamil anak Ammar bagaimanapun caranya." Mama Rosa menatap tepat ke dalam mataku.

Aku tidak mengerti, kenapa bagi mereka momongan itu sangat penting. Seakan-akan menikah hanya bertujuan untuk melanjutkan keturunan.

"Bagaimana?" Mama Rosa memegang kedua lenganku. "Saya janji, jika kamu berhasil hamil anak Ammar saya akan selalu berpihak sama kamu."

Tak punya pilihan lain, aku hanya mengangguk pasrah.

"Bagus. Tugasmu memang hanya patuh," katanya terlihat puas dan lega. "Namun sebelum itu kita perlu ke suatu tempat lebih dulu."

"Kemana Ma," tanyaku namun tak mendapatkan jawaban.

"Jalan Pak," perintah Mama Rosa pada sopir dan tanpa menunggu lama mobil mulai melaju meninggalkan pelataran panti asuhan.

Akhirnya aku bisa menghela nafas lega. Setidaknya satu masalah teratasi.

Dengan kecepatan sedang mobil melaju membelah keramaian jalanan kota siang ini. Sudah tiga puluh menit berlalu namun aku masih belum tahu akan dibawa kemana.

"Pak belok kanan, kita ke rumah sakit tempat Samudra praktek." Perintah Mama Rosa pada Pak sopir.

Bingung, aku langsung menoleh pada mama mertuaku yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Maaf Ma, untuk apa ke rumah sakit?" tanyaku hati-hati.

"Untuk memeriksakan kamu," katanya menatapku datar lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Aku makin bingung, "Tapi aku tidak sedang sakit, Ma."

Wanita itu menghela nafas panjang. "Sebelum kamu mengandung anak Ammar, saya harus memastikan kamu pantas untuk menjadi ibu dari calon cucu-cucu saya nanti."

"Ma-maksudnya?"

"Saya ingin tahu apa kamu masih peraw*an atau sudah tidak peraw*an."

Degh.....

Tubuhku seketika mematung dengan dada berdenyut nyeri.

Seburuk itukah aku di matanya?

"Saya juga harus memastikan kamu tidak mengidap H*v atau penyakit lain yang membahayakan putraku dan calon cucuku nanti."

Astaghfirullah......

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Bimbang.

    "Mana Ayu?" tanya Gio pada Renjana yang duduk duduk di kursi teras samping. Pria itu mengerutkan dahinya. Sudah hampir pukul 9 malam bukannya menemani putrinya tidur tapi adiknya itu malah melamun seorang diri. Renjana menoleh, mengurai senyum tipis sebelum akhirnya menjawab. "Ayu sama Papa. Lagi nonton film kartun favoritnya di kamar Papa," jawabnya. "Oh...." Gio mengangguk, melangkah mendekat lalu mengambil duduk di sebelah Renjana. "Sedang apa kamu sendirian di sini?" "Me time dengan menikmati coklat hangat," jawab Renjana sambil mengangkat gelas berisi coklat hangat. Gio mengangkat tangannya mengelus puncak kepala adiknya yang tertutup hijab. "Oh iya, kamua ingat Galih? Temanku yang dulu sering kesini?"Renjana berusaha mengingat, "Cowok yang selalu pakai topi?" "Iya." Gio mengangguk. "Papanya Galih memiliki sebuah sekolah swasta. Setelah papanya meninggal sekarang sekolah itu Galih yang mengelola. Dia bilang, ingin mengajakmu bergabung. Tapi gajinya tidak besar kare

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Permintaan Raline

    "Rahimku rusak, aku tidak bisa lagi punya anak." Renjana terkesiap. Matanya membulat dan lidahnya kaku, tak bisa berkata-kata. Fakta yang baru saja ia dengar sangat mengejutkan. "Aku tidak bisa menjadi wanita sempurna, Ana. Tidak akan ada laki-laki yang mau menikah wanita mandul sepertiku. Lalu bagaimana hidupku nanti?" Raline menangis tersedu-sedu. "Ini semua karena kamu dan Mas Ammar," katanya sambil mengusap air mata. Renjana masih bergeming. Otaknya masih berusaha memahami semua pengakuan Raline. "Kamu harus bertanggung jawab Ana. Harus!" Raline memajukan tidak tubuhnya sambil menggebrak meja. Renjana mendesah berat. Melihat tangis Raline, muncul rasa iba di hatinya. Sebagai wanita ia bisa memahami perasaan wanita itu. Namun, lebih dari rasa iba, yang saat ini memenuhi pikirkan Renjana adalah ucapan Raline tentang keinginan Ammar untuk mengambil Dahayu darinya. 'Tidak. Raline pasti berbohong. Dalam surat perjanjian itu jelas ditulis Mas Ammar akan kehilangan seluru

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Berkerja sama.

    Sesuai perjanjian, Ammar diizinnkan menemui Dahayu kapanpun. Tak ada lagi drama perebutan hak asuh, apalagi penculik seperti sebelumnya. Renjana legowo memberikan kesempatan untuk Ammar dekat dengan putrinya. Tiga sampai empat kali dalam seminggu sudah menjadi jadwal wajib bagi Ammar untuk datang ke kediaman kelaurga Fahrezi. Tak hanya Ammar, kedua orang tuanya juga sering datang mengunjungi Dahayu. Hubungan dua keluarga pun mulai membaik. Seperti sore ini setelah menyelesaikan pekerjaan Ammar segera menuju kediaman keluarga Fahrezi untuk menemui buah hatinya. Setelah dua hari dia tidak datang. "Boleh ketemu Ayu?" tanya Ammar begitu pintu dibuka oleh Renjana. "Boleh. Ayu ada di ruang tengah. Sedang main barbie," beritahu Renjana. Wanita itu mempersilahkan Ammar masuk dan mengantarnya ke ruang tengah. "Hai sayangku," ucapnya pada gadis kecil yang sedang duduk di atas karpet. "Halo, Papa," sapa Dahayu kegirangan. "Papa sudah nggak sibuk?" tanyanya setelah sang papa d

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Menikmati waktu bersama.

    "Tidak boleh." Ucap Renjana tegas. Dahayu langsung menatap Mamanya, gadis kecil itu nampak kaget. Sebulumnya sang Mama tidak pernah berbicara dengan nada keras. "Eh.... maksud Mama, Papap tidak bisa tinggal sama Ayu, Papa kan kerja nanti saipa yang ngurusin Ayu?" jelas Renjana dengan nada yang lebih lembut. "Ya Mama lah, maksudnya Ayu. Papa tingga sama kita Di sini," kekeh Ayu menggemaskan sampai membuat Ammar tak bisa berkata-kata dan hanya senyum-senyum sambil menggelengkan kepala. "Gak bisa," tegas Renjana yang langsung disambut dengan wajah ketus Dahayu. "Papa itu sibuk kerja di luar kota, jauh banget. Gak bisa tiap hari di sini." "Mama pasti bohong," Ayu memicingkan matanya, curiga. Renjana menghela nafas panjang, mengais kesabaran yang mulai menipis. "Mama gak bohong, sayang...." katanya dengan senyum yang dipaksakan. "Coba kami tanya aja Papamu," sambungnya mendelik ke arah Ammar. "Eee... iya." Ammar hanya mengangguk saja. Ini kali pertama dirinya melihat Ren

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Papanya Ayu,

    Pagi-pagi Ammar mendatangi kediaman keluarga Fahrezi. Kabar dari Renjana yang diterimanya pagi ini membuat pria itu sangat bahagia. "Suruh orang untuk membeli beberapa mainan yang paling bagus dan mahal untuk putriku," perintahnya pada Arya sebelum keluar dari mobil. Dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya pria itu melangkah menuju pintu rumah mantan mertuanya itu. Baru menapaki teras pintu sudah terbuka. Nampak Gio dengan setelan rapi khas orang berangkat kerja menatapnya dengan tatapan kaget juga aneh. "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya setelah melihat penunjuk waktu di tangannya yang baru menunjukkan pukul 7 kurang lima menit. "Aku ingin bertemu Ayu. Tadi Ana sudah menelponku, memberitahukan kalau kalian sudah setuju." Ammar menjawab dengan ramah. Tak ada sedikitpun rasa dendam pada pria yang telah membuatnya terbaring di meja operasi beberapa pekan yang lalu. "Apa ini tidak terlalu pagi?" Gio melihat Ammar dari atas sampai bawah. "Dilihat dari pakaianmu yang

  • Terpaksa Aku Menjadi Orang Ketiga   Ketegasan Renjana.

    "........ Bagaimana?" Akmal menatap Ammar dengan seringai, tatapan penuh kebencian. Jika dulu ia membenci pria itu karena perbuatannya yang telah menyakiti Renjana, tapi kini kebencian itu bertambah dengan kesalahan kakek dan kedua orang tuanya. "Papa, tolong jangan sangkut pautkan orang lain dalam masalahku dan Mas Ammar." Renjana tak bisa lagi menahan diri. Dengan tegas wanita itu memberi peringatan pada papanya. Menurutnya permintaan sang papa sudah sangat keterlaluan. Tidak seharusnya Akmal menggunakan masalah Ammar dan Renjana untuk membalas sakit hatinya pada Maliq. Akmal tak menghiraukan ucapan putrinya. Dia tetap kekeh dengan keputusannya. "Mau atau tidak, itu adalah syaratku," katanya tegas. "Saya siap bertanggung jawab atas semua kesalahan saya pada Ana. Bahkan jika saya harus menyerahkam semua yang saya miliki termasuk nyawanya saya. Tapi, tolong jangan libatkan orang tua saya. Mereka tidak ada hubungannya dengan dosa-dosa yang telah saya lakukan," Mendeng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status