Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya.
Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya. "Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku. "Ma, tunggu sebentar." "Apa lagi?" tanyanya kesal. "Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku. Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam. "Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu. "Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya akan memberi pelajaran pada jal*ng itu, menunjukkan di mana tempat yang pantas untuk wanita yang tidak jelas asal-usulnya." Dua bulan menjadi menantunya, aku sudah faham dengan kelakuan ibu mertua ini. Ucapan Mama Rosa selalu pedas dan menusuk hati. Hanya karena besar di panti asuhan Mama Rosa berulang kali mengatakan Raline, wanita yang tidak jelas asal-usulnya. "Demi Tuhan, jangan Ma." Panik, aku meraih tangan mertuaku dan membungkuk di depannya. Tidak punya cara lain, aku merendahkan diri memohon padanya. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan mama mertuaku ini, Mama Rosa pasti akan mempermalukan Raline di depan umum. Dan aku tidak boleh membiarkannya atau Mas Ammar akan marah besar padaku. "Kalau Mama masuk sekarang dan marah-marah bukan Raline yang malu tapi keluarga kita yang akan malu, Ma. Di dalam banyak sekali tamu undangan dan sebagian besar adalah istri-istri pengusaha yang mungkin saja mengenal Mama sebagai istri Papa Malik Zafier," jelasku panjang lebar. Mama Rosa menghela nafas panjang, terlihat sedikit tenang. "Lalu aku harus bagaimana? Diam saja membiarkan anak kurang aja itu melempar kotoran di wajahku, begitu?" "Bu-bukan begitu Ma." Aku menggelengkan kepalaku. "Kita cari cara lain. Ma-maksudku, tolong biarkan aku saja yang menyelesaikannya dengan cara lain," pintaku menatap penuh harap. Mama Rosa bergeming. Matanya menatapku lekat seolah sedang berpikir. "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" tanyanya. "Aku... aku akan merebut hati Mas Ammar," jawabku bersungguh-sungguh. "Bagaimana caranya?" Mama Rosa terlihat lebih tenang. Spontan aku menghela nafas lega, "Kita bicara di dalam mobil, Ma. Aku akan menjelaskannya," ujarku menarik mama Rosa masuk kembali ke mobil. "Katakan," suruhnya tak sabar begitu kami duduk di dalam mobil. "E... aku akan berusaha meluluhkan hati Mas Ammar. Membuatnya melupakan Raline dan mencintaiku," kataku bersungguh-sungguh meski jujur dalam hati aku sendiri tak yakin. Aku hanya mengatakan kata-kata yang kurasa bisa menyakinkan Mama Rosa. "Aku mengenal Raline sejak masih remaja. Aku tahu baik dan buruknya. Jadi, aku pasti visa mencari celah untuk memisahkan mereka." Mama Rosa masih diam, mungkin belum yakin dengan ucapanku. "Aku janji Ma, aku akan memisahkan mereka dengan caraku. Tolong beri aku waktu," tambahku sambil memegang tangan Mama Rosa. Berharap wanita itu percaya dan memberikan aku waktu untuk memisahkan dua sejoli itu. "Kamu yakin bisa?" Mama Rosa menatapku lekat. "Yakin Ma." Aku mengangguk. Mama Rosa terdiam. Wanita itu mungkin sedang mempertimbangkan usulku. Beberapa detik berlalu dan wanita itu hanya diam. "Berikan aku waktu dua atau tiga bulan. Aku yakin aku bisa meluluhkan hati Mas Ammar dan membuatnya melupakan Raline seperti keinginan Mama tanpa harus merusak nama baik keluarga Zafier." Mama Rosa mendengus kasar. Tiba-tiba matanya memerah dan mulai mengembun. "Saya tidak menyangka Ammar tega melakukan ini semua. Kenapa dia tidak memikirkan nama baik keluarga. Tapi malah kamu yang memikirkan nama baik keluarga kami," katanya terlihat sedih. Tak tahu harus berkata apa, aku memilih diam. Mama Rosa menghela nafas panjang. "Baiklah, aku ikuti maumu. Tapi ada syaratnya," Entah apa syaratnya tapi aku langsung menganggukkan kepalaku. "Katakan apa syaratnya, Ma. Jika aku bisa, pasti akan kulakukan." "Penuhi keinginan Oma Rumana. Kamu harus segera hamil anak Ammar." Aku terkesiap. Dari awal pernikahan, memiliki momongan tidak pernah ada dalam pikiranku. Aku sadar aku bukan wanita yang diinginkan Mas Ammar menjadi istrinya. Aku tidak mau jika nantinya anakku akan bernasib sama sepertiku, tidak diharapkan. "Kuberi waktu tiga bulan dan kamu harus bisa hamil anak Ammar bagaimanapun caranya." Mama Rosa menatap tepat ke dalam mataku. Aku tidak mengerti, kenapa bagi mereka momongan itu sangat penting. Seakan-akan menikah hanya bertujuan untuk melanjutkan keturunan. "Bagaimana?" Mama Rosa memegang kedua lenganku. "Saya janji, jika kamu berhasil hamil anak Ammar saya akan selalu berpihak sama kamu." Tak punya pilihan lain, aku hanya mengangguk pasrah. "Bagus. Tugasmu memang hanya patuh," katanya terlihat puas dan lega. "Namun sebelum itu kita perlu ke suatu tempat lebih dulu." "Kemana Ma," tanyaku namun tak mendapatkan jawaban. "Jalan Pak," perintah Mama Rosa pada sopir dan tanpa menunggu lama mobil mulai melaju meninggalkan pelataran panti asuhan. Akhirnya aku bisa menghela nafas lega. Setidaknya satu masalah teratasi. Dengan kecepatan sedang mobil melaju membelah keramaian jalanan kota siang ini. Sudah tiga puluh menit berlalu namun aku masih belum tahu akan dibawa kemana. "Pak belok kanan, kita ke rumah sakit tempat Samudra praktek." Perintah Mama Rosa pada Pak sopir. Bingung, aku langsung menoleh pada mama mertuaku yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Maaf Ma, untuk apa ke rumah sakit?" tanyaku hati-hati. "Untuk memeriksakan kamu," katanya menatapku datar lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Aku makin bingung, "Tapi aku tidak sedang sakit, Ma." Wanita itu menghela nafas panjang. "Sebelum kamu mengandung anak Ammar, saya harus memastikan kamu pantas untuk menjadi ibu dari calon cucu-cucu saya nanti." "Ma-maksudnya?" "Saya ingin tahu apa kamu masih peraw*an atau sudah tidak peraw*an." Degh..... Tubuhku seketika mematung dengan dada berdenyut nyeri. Seburuk itukah aku di matanya? "Saya juga harus memastikan kamu tidak mengidap H*v atau penyakit lain yang membahayakan putraku dan calon cucuku nanti." Astaghfirullah......"Tanpa alasan yang jelas semua investor tiba-tiba membatalkan kerja sama," bisik Arya. Mendengar kabar mengejutkan itu pandangan Ammar langsung tertuju pada sosok yang srsang memandangnya sambil membusungkan dadanya. Samudra tersenyum sinis, dengan satu alis terangkat. "Bagaimana? Apa kabarnya baru kau dengar?" ujarnya dengan nada mengejek. Di tempatnya Maliq menghela nafas, tidak menyangka kedua putranya akan saling menjatuhkan karena cinta. "Ana, kamu yakin dengan keputusanmu?" tanyanya pada Renjana. Dan wanita itupun mengangguk. Dibanding dirinya yang harus memilih, Renjana lebih ikhlas jika Ammar menentukan pilihannya. "Apapun pilihan Mas Ammar akan saya terima. Apapun yang terjadi dia akan tetap ayahnya Ayu." Maliq kembali menghela nafas. Dia tahu seperti apa sifat putra pertamanya. Pria itu tidak akan mengorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadinya. "Dari data yang kuterima, ada sekitar seribu lima ratus karyawan dan buruh yang menggantungkan hidup
Pagi ini Renjana sengaja memasak nasi goreng seafood, salah satu makanan favorit Ammar. Dengan telaten wanita yang memakai jilbab soft pink itu mengisi piring suami dan putrinya dengan nasi goreng buatannya. Di ujung meja Akmal menatap dengan perasaan haru. Mata tuanya bahkan sampai berkaca-kaca melihat keharmonisan yang tercipta di meja makan pagi ini. Sudah sangat lama dia menantikan moment bahagia putrinya itu. "Papa mau nambah lagi?" tanya Renjana pada Akmal yang sejak tadi menatapnya sambil tersenyum. "Nggak, sudah cukup." Renjana pun mengalihkan pandangannya pada Ammar. "Oh iya, Mas. Nanti pulang dari antar Ayu sekolah, aku mau pergi lihat lokasi tanah yang mau aku beli." "Kamu jadi buka sekolah?" tanya Ammar. Sebelumnya Renjana memang sudah mengutarakan keinginannya itu pada sang suami. Namun Ammar tidak menyangka jika istrinya akan segera merealisasikan keinginannya itu secepat ini. "Jadi dong... mendirikan sekolah adalah caraku untuk memberikan jalan pada anak-an
"Bagaimana?" Satu alis Samudra terangkat saat sebuah senyuman tipis Renjana sematkan di bibir tipisnya. "Kenapa? Apa penawaran yang kuberikan kurang menarik?" "Kenapa kamu tidak ajukan penawaran itu pada Mas Ammar?" "Maksudmu?" Samudra menatap wanita berhijab yang duduk di sebelah mamanya itu penuh tanya. Tak hanya pria itu, kedua orang tuanya juga nampak penasaran dengan maksud Renjana. "Buat kesepakatan dengan Mas Ammar. Suruh dia memilih, kehilangan perusahaan yang sudah dibangunnya dari nol atau menceraikan aku?" "Ana apa maksudmu?" Rosa reflek memegang lengan menantunya itu. Istri Maliq Zafier itu tidak menyangka menantunya akan mempertaruhkan pernikahannya yang belum genap dua minggu. "Mama tenang saja, InsyaAllah aku tahu apa yang aku lakukan," ujar Renjana masih dengan wajah dan ekspresi tenang. "Kalau Mas Ammar memilih menceraikan aku, maka saham milikku dan putriku akan menjadi milikmu. Bagaimana?" Samudra mengambil duduk di dalah satu kursi. punggu
"Sekarang kita harus bagaimana?" ucap Raline memandang Samudra yang duduk tenang di sebelahnya. "Rencana kita sudah gagal, lalu sekarang apa? Aku tidak mau masuk penjara," katanya lagi menepis ketakutan yang mulai merasuki pikirannya. "Sam... jangan diam saja!!!" sentaknya mulai kesal. Pada pria yang duduk tenang di sebelahnya. "Rencana kita sudah gagal, sekarang kita harus bagaimana?" Kemarin, seharusnya Samudra bisa membawa Renjana dan Dahayu untuk fitting baju. Lalu, setelahnya Renjana akan dibawa keluar kota dan disana dipkasa menikah siri dengan Samudra dengan Dahayu sandra. Sebuah tempat di luar pulau sudah Samudra siapkan untuk tempat persembunyian sebelum akhirnya kembali tepat di hari pernikahan yang sudah ditentukan. Dan itu akan jadi pukulan yang berat untuk Ammar. Namun sayangnya Ammar jauh lebih pintar. Putra pertama Maliq Zafier itu sudah bisa membaca rencana yang dibuat Samudra. Ammar sudah lebih membawa Renjana untuk rujuk di salah satu guru spritualnya d
Pukul sepuluh malam Maliq dan istrinya sampai kediamannya. Raut lelah nampak jelas di wajah keduanya. Meski begitu kilatan kebahagiaan masih terpancar daru kedua mata. "Mama sama Papa dari mana?" Suara berat terdengar begitu langkah kedua orang itu memasuki rumah. "Astaga......" Rosa memegangi dadanya karena kaget. "Astagfirulloh... Samudra, kamu bikin Mama kaget," kesalnya menegur Samudra yang sedang duduk menyilangkan kaki di sofa ruang tamu. Dengan ekspresi datar Samudra menatap kedua orang tuanya itu intens. "Kamu malam-malam bukannya tidur, malah duduk di pojokan," omel Rosa terlihat kesal. "Aku nunggu Mama?" "Ck... kayak anak kecil aja." Rosa melangkah masuk di susul suaminya. "Mama belum jawab pertanyaanku," kata Samudra bangkit dari duduknya. "Sudah besok aja Mama capek, ngantuk." Rosa yang sudah menapaki anak tangga menuju lantai dua tak menghiraukan pertanyaan putra keduanya. "Aku hanya ingin tanya, Mama sama Papa dari mana?" Samudra menyusul kedua oran
Sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah Renjana. Seorang pria dengan kemeja biru keluar dari dalam mobil. Langkah lebar itu mendekati pos jaga security yang berada di sisi kanan pagar besi kediaman keluarga Fahrezi. "Permisi, bisa bukakan pintu pagarnya?" ucapnya pada security yang berjaga. Pria berseragam security itu tak langsung menuruti permintaan Samudra, tapi malah memanggil temannya yang berada di dalam. "Maaf anda siapa dan ada perlu apa?" "Saya Samudra, putra kedua Maliq Zafier. Saya ingin bertemu Ana," jawab Samudra. Dua security itu saling pandang, tatapan kedua pria itu berubah curiga. "Maaf, Nona Renjana sedang tidak berada di rumah." Samudra mengerutkan dahinya. "Kalian tahu dia kemana?" tanyanya dengan tatapan curiga. Dari laporan anak buahnya, sudah satu minggu lebih Renjana tidak lagi mengajar di sekolah. Lalu, kemana wanita itu pergi pagi-pagi begini, pikirnya. Bukannya menjawab, dua pria yang bertugas menjaga kediaman Fahrezi itu kembali