"Ada apa Mama kesini?"
Setelah menunggu dua puluh menit akhirnya sang pemilik ruang kerja datang. Aku dan Mama Rosa langsung mengangkat kepala menatap pria jangkung yang baru saja masuk. "Kamu sudah selesai bertugas?" tanya Mama Rosa pada putra keduanya. "Hem..." jawab Samudra. "Mama sakit?" tanyanya terlihat khawatir. "Nggak. Mama kesini ada perlu sebentar," Samudra menghela nafas lega lalu melirikku sekilas sebelum akhirnya melepaskan jas putihnya. Dia pun duduk dibalik meja kerjanya. Samudra Albiru Zafier, adik kandung Mas Ammar. Dia sedang menjalani koas di rumah sakit ini, ynag memang milik keluarga Zafier. Tidak seperti Mas Ammar, menurut Oma Rumana, Samudra lebih tertarik dengan dunia kesehatan ketimbang meneruskan perusahaan milik keluarganya. Ya, aku juga mengenalnya. Kami kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat dekat karena tergabung dalam sebuah penelitian. Tapi entah kenapa sejak aku menjadi kakak iparnya sikapnya berubah dingin dan seolah tidak mengenalku. Mungkin dia juga menganggapku gila harta sama seperti mama dan kakaknya. "Mama kesini mau minta tolong sama kamu," ujar Mama Rosa yang langsung membuyarkan lamunanku. Pria itu mengerutkan dahinya. " Minta tolong apa?" katanya sambil menyandarkan punggungnya. "Tolong kamu antar Ana untuk mejalani pemeriksaan. Mama mau kamu pastikan tidak ada prosedur yang terlewat." Samudra menatapku sebentar sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada sang Mama. "Pemeriksaan apa?" "Mama ingin Renjana menjalani tes keperawa*an," "Apa?" pekik Samudra terkejut. Matanya melebar menatap ke arahku dan mama Rosa bergantian. Malu, aku sangat malu sampai-sampai tak sanggup mengangkat kepalaku. Begitu rendahnya aku sampai harus menjalani tes yang benar-benar menghancurkan harga diriku sebagai wanita. "Apa aku nggak salah dengar?" tanya Samudra. "Nggak. Mama ingin Ana menjalani tes keperawa*an dan tes H*V untuk memastikan dia wanita baik-baik yang tidak memiliki riwayat penyakit menular." Terdengar helaan nafas berat dari mulut Samudra. "Jangan aneh-aneh deh, Ma. Apa Mama sadar dengan apa yang Mama katakan?" "Memang apa ada yang salah dengan keinginan Mama? Mama hanya ingin yang terbaik untuk putra Mama. Mama gak mau kalau sampai keluarga kita memiliki keturunan yang---" "Cukup, Ma." Samudra menatap mamanya intens. "Aku tidak tahu dari mana Mama sampai memiliki pemikiran seperti itu. Tapi yang pasti aku tidak akan membiarkan Mama merendahkan anak orang lain demi putra Mama." Mendadak dadaku terasa hangat, ada sedikit kelegaan muncul di hatiku. Meski angkuh tapi Samudra masih memiliki empati. Sepengetahuanku Samudra juga pria yang sopan dan baik. "Mama hanya ingin berjaga-jaga, Sam. Mama tidak mau kalau sampai Ana menularkan penyakit ke Ammar." Mama Rosa belum menyerah. "Bagaimana kalau dulunya Ana memiliki pergaulan yang tidak baik," katanya melirikku sinis. Aku mendesah berat, menahan rasa nyeri tiba-tiba muncul karena ucapan Mama Rosa. "Saya nggak papa menjalani pemeriksaan biar Mama tenang," kataku pada akhirnya. "Itu Ana sendiri gak keberatan," sahut Mama Rosa. "Tes H*V saja. Aku akan mengantarnya." Samudra langsung berdiri. "Kenapa masih diam saja?" katanya sambil menatapku. Aku menoleh pada Mama Rosa, nampak wanita itu mendengus kasar. Wajahnya terlihat tidak senang tapi tidak bisa membantah. "Apa lagi, ikuti Samudra!" perintahnya ketus. Aku pun segera berdiri dan mengikuti Samudra yang sudah berjalan lebih dulu. Aku mengambil langkah beberapa langkah di belakangnya. Sekitar lima menit kami sampai di depan ruang laboratorium. Samudra berhenti dan membalikkan badannya. "Apa ini yang kau inginkan?" tanyanya yang kujawab dengan kerutan di dahi. "Apa harta lebih berharga dari harga dirimu?" "Tidak. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk melawan. Ada orang yang tak berdosa akan celaka jika aku tak melakukannya," jawabku dalam hati. Tak ada gunanya juga menjelaskan. Dia juga tidak akan percaya. Samudra mendengus kasar, wajahnya terlihat memerah. Mungkin kesal karena aku hanya diam saja. "Bisakah tesnya segera dilakukan? Aku masih ada pekerjaan lain," Adik iparku itu mendesah berat sebelum akhirnya melangkah masuk. Gegas aku mengikutinya. Setelah berbicara dengan seorang perawat dia memintaku untuk masuk ke sebuah ruangan. "Perawat akan mengambil darahmu untuk di tes. Aku tunggu di luar," katanya sebelum pergi. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja dan hasilnya sudah keluar. Menurut hasil lab aku tidak mengidap H*V atau penyakit kelamin lainnya. "Berikan ini pada Mama. Katakan aku sibuk dan ajak Mama pulang," perintah Samudra sambil menyerahkan kertas hasil lab milikku. Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan aku di depan pintu ruang kerjanya. Saat membuka pintu, terdengar suara dari dalam. "Mama tidak menyangka selama ini kamu tega membohongi Mama. Kamu masih menjalin hubungan dengan wanita itu. Kali ini Mama tidak akan tinggal diam. Jika kamu tidak segera mengakhiri hubunganmu dengan wanita itu. Jangan salahkan Mama jika wanita itu kehilangan karir yang baru dirintisnya," Ternyata Mama Rosa sedang menelpon seseorang. Dari percakapannya, aku yakin itu Mas Ammar. "Ingat Ammar, Papamu tidak sebaik Mama. Kalau sampai Papamu mengetahuinya, dia pasti akan mengambil tindakan tegas." Tubuhku seketika membeku di tempat.Apa yang akan dilakukan mertuaku ini pada Raline? Apakah karirnya sebagai desainer akan berakhir? Mengingat betapa berkuasanya keluarga Zafier, aku bahkan ngeri membayangkannya.
Lebih dari itu ... yang paling kutakutkan adalah kemarahan Mas Ammar. Pria itu pasti mengira aku yang memberitahu Mama Rosa tentang hubungannya dengan Raline. Ya Tuhan.... bagaimana ini?"Tanpa alasan yang jelas semua investor tiba-tiba membatalkan kerja sama," bisik Arya. Mendengar kabar mengejutkan itu pandangan Ammar langsung tertuju pada sosok yang srsang memandangnya sambil membusungkan dadanya. Samudra tersenyum sinis, dengan satu alis terangkat. "Bagaimana? Apa kabarnya baru kau dengar?" ujarnya dengan nada mengejek. Di tempatnya Maliq menghela nafas, tidak menyangka kedua putranya akan saling menjatuhkan karena cinta. "Ana, kamu yakin dengan keputusanmu?" tanyanya pada Renjana. Dan wanita itupun mengangguk. Dibanding dirinya yang harus memilih, Renjana lebih ikhlas jika Ammar menentukan pilihannya. "Apapun pilihan Mas Ammar akan saya terima. Apapun yang terjadi dia akan tetap ayahnya Ayu." Maliq kembali menghela nafas. Dia tahu seperti apa sifat putra pertamanya. Pria itu tidak akan mengorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadinya. "Dari data yang kuterima, ada sekitar seribu lima ratus karyawan dan buruh yang menggantungkan hidup
Pagi ini Renjana sengaja memasak nasi goreng seafood, salah satu makanan favorit Ammar. Dengan telaten wanita yang memakai jilbab soft pink itu mengisi piring suami dan putrinya dengan nasi goreng buatannya. Di ujung meja Akmal menatap dengan perasaan haru. Mata tuanya bahkan sampai berkaca-kaca melihat keharmonisan yang tercipta di meja makan pagi ini. Sudah sangat lama dia menantikan moment bahagia putrinya itu. "Papa mau nambah lagi?" tanya Renjana pada Akmal yang sejak tadi menatapnya sambil tersenyum. "Nggak, sudah cukup." Renjana pun mengalihkan pandangannya pada Ammar. "Oh iya, Mas. Nanti pulang dari antar Ayu sekolah, aku mau pergi lihat lokasi tanah yang mau aku beli." "Kamu jadi buka sekolah?" tanya Ammar. Sebelumnya Renjana memang sudah mengutarakan keinginannya itu pada sang suami. Namun Ammar tidak menyangka jika istrinya akan segera merealisasikan keinginannya itu secepat ini. "Jadi dong... mendirikan sekolah adalah caraku untuk memberikan jalan pada anak-an
"Bagaimana?" Satu alis Samudra terangkat saat sebuah senyuman tipis Renjana sematkan di bibir tipisnya. "Kenapa? Apa penawaran yang kuberikan kurang menarik?" "Kenapa kamu tidak ajukan penawaran itu pada Mas Ammar?" "Maksudmu?" Samudra menatap wanita berhijab yang duduk di sebelah mamanya itu penuh tanya. Tak hanya pria itu, kedua orang tuanya juga nampak penasaran dengan maksud Renjana. "Buat kesepakatan dengan Mas Ammar. Suruh dia memilih, kehilangan perusahaan yang sudah dibangunnya dari nol atau menceraikan aku?" "Ana apa maksudmu?" Rosa reflek memegang lengan menantunya itu. Istri Maliq Zafier itu tidak menyangka menantunya akan mempertaruhkan pernikahannya yang belum genap dua minggu. "Mama tenang saja, InsyaAllah aku tahu apa yang aku lakukan," ujar Renjana masih dengan wajah dan ekspresi tenang. "Kalau Mas Ammar memilih menceraikan aku, maka saham milikku dan putriku akan menjadi milikmu. Bagaimana?" Samudra mengambil duduk di dalah satu kursi. punggu
"Sekarang kita harus bagaimana?" ucap Raline memandang Samudra yang duduk tenang di sebelahnya. "Rencana kita sudah gagal, lalu sekarang apa? Aku tidak mau masuk penjara," katanya lagi menepis ketakutan yang mulai merasuki pikirannya. "Sam... jangan diam saja!!!" sentaknya mulai kesal. Pada pria yang duduk tenang di sebelahnya. "Rencana kita sudah gagal, sekarang kita harus bagaimana?" Kemarin, seharusnya Samudra bisa membawa Renjana dan Dahayu untuk fitting baju. Lalu, setelahnya Renjana akan dibawa keluar kota dan disana dipkasa menikah siri dengan Samudra dengan Dahayu sandra. Sebuah tempat di luar pulau sudah Samudra siapkan untuk tempat persembunyian sebelum akhirnya kembali tepat di hari pernikahan yang sudah ditentukan. Dan itu akan jadi pukulan yang berat untuk Ammar. Namun sayangnya Ammar jauh lebih pintar. Putra pertama Maliq Zafier itu sudah bisa membaca rencana yang dibuat Samudra. Ammar sudah lebih membawa Renjana untuk rujuk di salah satu guru spritualnya d
Pukul sepuluh malam Maliq dan istrinya sampai kediamannya. Raut lelah nampak jelas di wajah keduanya. Meski begitu kilatan kebahagiaan masih terpancar daru kedua mata. "Mama sama Papa dari mana?" Suara berat terdengar begitu langkah kedua orang itu memasuki rumah. "Astaga......" Rosa memegangi dadanya karena kaget. "Astagfirulloh... Samudra, kamu bikin Mama kaget," kesalnya menegur Samudra yang sedang duduk menyilangkan kaki di sofa ruang tamu. Dengan ekspresi datar Samudra menatap kedua orang tuanya itu intens. "Kamu malam-malam bukannya tidur, malah duduk di pojokan," omel Rosa terlihat kesal. "Aku nunggu Mama?" "Ck... kayak anak kecil aja." Rosa melangkah masuk di susul suaminya. "Mama belum jawab pertanyaanku," kata Samudra bangkit dari duduknya. "Sudah besok aja Mama capek, ngantuk." Rosa yang sudah menapaki anak tangga menuju lantai dua tak menghiraukan pertanyaan putra keduanya. "Aku hanya ingin tanya, Mama sama Papa dari mana?" Samudra menyusul kedua oran
Sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah Renjana. Seorang pria dengan kemeja biru keluar dari dalam mobil. Langkah lebar itu mendekati pos jaga security yang berada di sisi kanan pagar besi kediaman keluarga Fahrezi. "Permisi, bisa bukakan pintu pagarnya?" ucapnya pada security yang berjaga. Pria berseragam security itu tak langsung menuruti permintaan Samudra, tapi malah memanggil temannya yang berada di dalam. "Maaf anda siapa dan ada perlu apa?" "Saya Samudra, putra kedua Maliq Zafier. Saya ingin bertemu Ana," jawab Samudra. Dua security itu saling pandang, tatapan kedua pria itu berubah curiga. "Maaf, Nona Renjana sedang tidak berada di rumah." Samudra mengerutkan dahinya. "Kalian tahu dia kemana?" tanyanya dengan tatapan curiga. Dari laporan anak buahnya, sudah satu minggu lebih Renjana tidak lagi mengajar di sekolah. Lalu, kemana wanita itu pergi pagi-pagi begini, pikirnya. Bukannya menjawab, dua pria yang bertugas menjaga kediaman Fahrezi itu kembali