Sesampainya di mall Ammar langsung membimbing R Renjana dan putrinya menuju lantai paling atas, ke area Timezone. Segera pria itu menuju konter penukaran koin. Dikeluarkannya beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan, lalu menyerahkannya pada karyawan yang bertugas. Sebuah atm khusus didapatkannya dengan isi saldo ratusan ribu. "Silahkan mau main yang mana?" katanya sambil mengeluarkan benda pipih berbentuk kartu. Masih dengan menggandeng tangan Dahayu dan sesekali menanggapi celotehan putri kecillnya itu, Renjana nampak berpikir sebentar. Lalu, setelahnya menunjuk area playground. "Di sana paling aman. Kita bisa mengawasi dari luar sambil bicara," Ammar tersenyum, lalu menganggukkan kepala. "Aku ikut katamu," ujarnya. Renjana menghela nafas jengah, untuk apa pria itu tersenyum dan lagi sikap penurut yang diperlihatkan membuatmu Renjana merasa muak. "Oh iya, ini tadi aku juga beli air mineral kalau-kalau kamu atau Ayu haus." Ammar menyerahkan dua botol air mineral.
"Ma, siapa Papa Ayu?" Dahayu memandang Renjana dengan tatapan polosnya. "Apa Om itu?" Gadis kecil itu menunjuk Ammar yang juga sedang memandangnya sendu. "Bukan," jawab Renjana tegas. "Tapi Ayu pernah lihat Om itu di sekolah. Dia bilang Ayu, putrinya." Sontak Renjana menggelengkan kepalanya. Namun lidahnya kelu untuk sekedar menyangkal. Kenyataannya Ammar adalah ayah kandung putrinya itu. "Suruh MC memulai acaranya." Papa Aisyah menyuruh istrinya untuk segera memulai acara ulang tahun putrinya. Maya pun segera mendekati dua orang wanita berjilbab yang adalah guru sekolah putrinya. "Bu, tolong acaranya segera dimulai," "Iya, Bu." Dua orang guru sekolah yang sengaja diminta untuk menjadi MC itu pun melaksanakan permintaan sang punya hajat. "Ayo ... Anak-anak ayo berkumpul semua. Siapa yang mau acaranya dimulai? Tapi sebelum itu ------" Seperti yang lain Dahayu pun ikut berkumpul dibawah komando pembawa acara. Renjana menghela nafas panjang, di sampingnya namak May
Sore ini Renjana mengantarkan putrinya ke acara ulang tahun temannya. Di sebuah resto cepat saji di pusat kota. "Benar di sini pesta ulang tahunnya?" tanya Gio setelah menghentikan mobil di area parkiran pertokoan. "Iya," jawab Renjana sambil membenahi dres yang dipakai Dahayu. Gadis cilik itu nampak cantik dengan dress putih bermotif bunga hadiah ulang tahun dari Rosa tahun lalu. Sudah sejak dua hari sebelumnya, Dahayu sendiri yang memilih outfitnya yang ingin dipakainya hari ini. "Papa Gio, besok ulang tahun Ayu juga mau dirayakan di sini sama Papa Sena. Nanti teman-teman Ayu juga diundang," ujar Dahayu dengan wajah cerianya. Gio memandang Renjana, meminta penjelasan dari maksud ucapan Dahayu. Namun wanita itu hanya mengangkat pundaknya. "Maksudnya apa begini?" tanya Gery menirukan gerakan adiknya. "Maksudnya aku nggak tahu," jawab Renjana. "Gimana sih, kamu mamanya kok gak tahu. Kamu itu harusnya mengawasi setiap orang yang dekat dengan putrimu," omel Gio
"Dia ingin kamu dan Raline bersatu." Ammar mendesah berat, mendadak hatinya berdenyut nyeri. Tak menyangka Renjana akan begitu membencinya. Dia tahu kesalahan begitu besar, tapi dia juga yakin hati Renjana sangatlah lapang dan pasti akan memberinya maaf. Namun setelah mendengar ucapan mamanya, sepertinya Ammar harus menyiapkan mentalnya untuk menerima penolakan sikap keras Renjana. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan menyerah. Aku pasti bisa membuktikan ketulusanku pada Ana," kata Ammar penuh tekad. "Mama tidak perlu khawatir, aku pasti bisa meluluhkan hati Ana. Mama tidak lupa, kan? Ana wanita yang baik dan lembut, dia tidak akan tega menyakitiku dengan kata-kata kasar. Eee...... satu atau dua bulan dia pasti sudah memaafkan aku," tambah Ammar nampak bersemangat. Pria itu berbicara seolah menyakinkan mamanya. Namun Rosa sendiri tahu, sejatinya putranya itu sedang menyakinkan dirinya sendiri. "Mama pasti akan mendoakan kamu. Tapi.... kamu juga harus bisa menerima kenyataan
"Kamu?" pekik Rosa kaget. Matanya melebar dengan tangan memegangi dadanya. "Bikin kaget saja," lanjutnya lalu menghela nafas panjang. "Iya Ma. Ini aku, putramu." Ammar terus menatap Rosa dengan tatapan penuh kekecewaan. "Kenapa menatapku seperti itu?" Rosa membuang muka. Wanita merasa tidak nyaman dengan tatapan Ammar yang seolah menuntut sebuah penjelasan. "Apa tidak ada yang ingin Mama jelaskan padaku?" tanya Ammar masih dengan menatap mamanya. "Ck.... Kenapa Mama harus memberimu penjelasan? Memangnya apa yang Mama lakukan, sampai harus memberimu penjelasan?" "Mama sudah membohongi aku," kata Ammar berusaha menekan suaranya agar tidak membentak. Setengah mati pria itu berusaha menahan emosi. menahan diri agar tidak terbawa emosi. Rosa bergeming, matanya melirik Ammar sinis tapi mulutnya tetap bungkam. Seolah enggan membahas memberi restu. "Ma, aku ini putramu kan? Kenapa Mama tega membohongiku?" tanya Ammar mempertanyakan sikap mamanya. Rosa menoleh, menatap w
"Apa?" Rosa Amalia terkejut. "Ammar datang menemui kamu?" tanyanya memandang Renjana dengan mata melebar. Dan mantan menantunya itu pun mengangguk. "Bagaimana bisa? Dari mana dia tahu kamu masih hidup?" Rosa nampak bingung. Selama ini wanita itu berusaha menahan diri untuk tidak memberitahu Ammar tentang Renjana dan putrinya. Meski kondisi putra sulungnya itu sudah nyaris gila tapi Rosa tetap setia pada janjinya untuk tidak memberitahu kebenaran jika Renjana masih hidup. "Sangat tidak mungkin kalau putramu itu tahu keberadaan Renjana dari kami. Kalau bukan kamu pasti suamimu yang memberitahunya," cibir Akmal dengar tatapan sinisnya. "Demi Tuhan bukan saya, Mas Akmal." Rosa membantah ucapan mantan besannya. "Ana, kamu percaya kan? Saya tidak mungkin mengkhianati kamu," lanjutnya meraih tangan Renjana berharap mantan menantu yang sudah dianggap anak sendiri itu percaya. "Mama yakin benar-benar tidak memberitahu Mas Ammar?" tanya Renjana. "Yakin, Ana." Rosa nampak frus