"Ana plis, aku tidak akan aku bisa menahan diri kalau Samudra ikut campur. Kita harusnya punya privasi untuk masalah kita. Jangan biarkan ada orang ketiga diantara kita," ucap Ammar. "Aku tahu." Renjana memilirik Ammar sinis. Dirinya juga tidak ingin mengumbar masalahnya. Meski enggan wanita itu pun masuk ke dalam mobil. Apa yang dikatakan mantan suaminya itu benar. Mengingat sifat Samudra, adik kandung Ammar itu pasti akan ikut campur. Tepat setelah Ammar menyalakan mesin, Samudra sampai. Pria itu berusaha membuka pintu mobil namun tak bisa. "Ammar hentikan mobilnya!" teriakmya namun tak dihiraukan oleh Ammar. Mobil pun melaju meninggalkan pelataran kantor. Sepuluh menit berlalu dan dua orang itu masih setia dalam diam. "Ini mau kemana?" tanya Renjana menoleh keluar jendela. Jalanan itu bukan menuju rumahnya. "Ke rumah lama kita," jawab Ammar menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalanan. "Kenapa ke sana?" "Untuk bicara. Kita butuh tempat yang private," "
Sesampainya di rumah Renjana langsung menyerahkan Ayu pada pengasuhnya. "Sama suster dulu, ya Sayang. Mama harus balik ke sekolah," ucapnya yang hanya dijawab anggukan kecil dari sang anak. Sebelum pergi Renjana berpesan pada security rumah untuk tidak menerima tamu. Meski pikiran dan hatinya sedang dipenuhi amarah namun Renjana tetap bersikap profesional dan kembali ke sekolah untuk menunaikan kewajibannya. Wanita yang tak perlu diragukan kesabarannya itu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bibirnya masih bisa tersenyum meski di dalam dadanya sudah dipenuhi amarah yang siap meledak. Tepat pukul dua siang, jam mengajarnya telah usai. Wanita itu pun meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam pulang guru yang seharusnya. "Ada hal mendesak yang harus saya lakukan," ucapnya menyesal. "Nggak papa, kalau memang ada keperluan silahkan pulang lebih awal. Toh jam ngajar Bu Renjana sudah selesai," kata Amira mempersilahkan. Selesai membereskan meja kerjanya, Renjana bergeg
"Wah.. cucu Eyang sudah siap berangkat sekolah," ucap Akmal yang baru saja keluar dari kamarnya. Dipandanginya Ayu dan Renjana yang baru menuruni tangga. Dua wanita kesayangannya itu sudah rapi dengan setelan masing-masing. "Ayu duduk dekat Papa Gio, Ya?" Dengan cekatan Gio mendudukan keponakannya itu di kursi sebelahnya. Gadis dengan seragam sekolah berwarna pink itu membuatnya gemas dan memberinya dua kecupan di pipi dan dahinya. "Cup.. cup... kesayangan Papa cantik sekali," katanya gemas. "Kamu jadi ngajar di sekolah punya teman Gio?" tanya Akmal di sela-sela sarapan mereka pagi ini. Renjana mengangguk. Senyum tipis menambah wajah cantiknya semakin Ayu. "Iya. Dari departemen aku tidak diizinkan pindah ke Jakarta. Terpaksa aku mengundurkan diri," katanya, ada raut kecewa di wajahya. Keinginannya untuk hidup menepi dari hiruk pikuk ibu kota pupus sudah. "Sebenarnya kamu tidak perlu susah-susah cari kerja. Gantikan Papa urus perusahaan," sahut Akaml setelah menelan m
Akmal menghentikan langkahnya begitu sampai di depan kamar rawat Laela. Membuat yang lain ikut menghentikan langkahnya. Pria itu pun berbalik dan memandang Ammar. "Ammar, kamu tunggu di luar saja," ucap Akmalnya. Ammar memandang Akmal bingung, namun detik berikutnya menjawab satu kata. "Iya," Meski dalam hati merasa kecewa namun pria itu berusaha terlihat biasa saja. Dengan lembut menurunkan Dahayu dari gendongannya. "Ayu sama Mama ya," katanya sembari mengelus rambut panjang putrinya itu. "Ayu, sini sama Mama." Renjana menarik pelan tangan Dahayu. "Aku harap kamu tidak tersinggung. Kamu pasti sudah tahu, Bunda tidak menyukaimu. Kalau tiba-tiba melihatmu, takutnya akan mempengaruhi kondisinya." Tak ingin Ammar salah faham, Gio pun menjelaskan. "Tentu saja tidak. Aku bisa mengerti. Kalian masuk saja aku akan menunggu di sini," ucap Ammar sangat faham dengan situasinya. Keadaan Laela saat ini tidak lain karena ulahnya. Jika dirinya memaksa untuk ikut masuk, bukan tidak mung
"Mana Ayu?" tanya Gio pada Renjana yang duduk duduk di kursi teras samping. Pria itu mengerutkan dahinya. Sudah hampir pukul 9 malam bukannya menemani putrinya tidur tapi adiknya itu malah melamun seorang diri. Renjana menoleh, mengurai senyum tipis sebelum akhirnya menjawab. "Ayu sama Papa. Lagi nonton film kartun favoritnya di kamar Papa," jawabnya. "Oh...." Gio mengangguk, melangkah mendekat lalu mengambil duduk di sebelah Renjana. "Sedang apa kamu sendirian di sini?" "Me time dengan menikmati coklat hangat," jawab Renjana sambil mengangkat gelas berisi coklat hangat. Gio mengangkat tangannya mengelus puncak kepala adiknya yang tertutup hijab. "Oh iya, kamua ingat Galih? Temanku yang dulu sering kesini?"Renjana berusaha mengingat, "Cowok yang selalu pakai topi?" "Iya." Gio mengangguk. "Papanya Galih memiliki sebuah sekolah swasta. Setelah papanya meninggal sekarang sekolah itu Galih yang mengelola. Dia bilang, ingin mengajakmu bergabung. Tapi gajinya tidak besar kare
"Rahimku rusak, aku tidak bisa lagi punya anak." Renjana terkesiap. Matanya membulat dan lidahnya kaku, tak bisa berkata-kata. Fakta yang baru saja ia dengar sangat mengejutkan. "Aku tidak bisa menjadi wanita sempurna, Ana. Tidak akan ada laki-laki yang mau menikah wanita mandul sepertiku. Lalu bagaimana hidupku nanti?" Raline menangis tersedu-sedu. "Ini semua karena kamu dan Mas Ammar," katanya sambil mengusap air mata. Renjana masih bergeming. Otaknya masih berusaha memahami semua pengakuan Raline. "Kamu harus bertanggung jawab Ana. Harus!" Raline memajukan tidak tubuhnya sambil menggebrak meja. Renjana mendesah berat. Melihat tangis Raline, muncul rasa iba di hatinya. Sebagai wanita ia bisa memahami perasaan wanita itu. Namun, lebih dari rasa iba, yang saat ini memenuhi pikirkan Renjana adalah ucapan Raline tentang keinginan Ammar untuk mengambil Dahayu darinya. 'Tidak. Raline pasti berbohong. Dalam surat perjanjian itu jelas ditulis Mas Ammar akan kehilangan se