“Selamat Pagi, Boss,”
Suara seorang pria menyambut Arya begitu ia baru masuk ke ruangan kerjanya di lantai 21 gedung perusahaan Widyantara Corp. Arya mengerutkan kening. "Justin," ucapnya, menyebut nama pria yang sedang santai duduk di kursi kebesarannya. "Bagaimana kabarmu, my friend? Kenapa pagi ini wajahmu terlihat kusut sekali?" Justin terkekeh, nada suaranya penuh ejekan. Arya tak menggubris, ia hanya berjalan menuju meja bar di sudut ruangan, membuka lemari minuman, lalu mengeluarkan sebuah botol kristal yang berisi cairan keemasan, ia tuangkan ke dua gelas kristal yang berkilau tertimpa cahaya lampu bar. "Kita ngobrol sambil minum," ajaknya. "What! Masih pagi begini ajak minum whisky? Jangan bilang, kalau semalam habis bertengkar hebat sama istri tercinta?" Justin mengangkat kedua bahunya, merasa heran. Sebagai sahabat lama, yang megenal Arya sejak bangku kuliah, Justin tahu betul—minuman keras selalu jadi pilihan Arya saat pikirannya sedang kusut. Arya duduk di sofa, wajahnya mengadah keatas, sedang banyak pikiran. “Bisa dibilang bertengkar. Tapi, lebih tepatnya… aku sedang menghadapi badai rumah tangga.” Justin mengernyit. “Jangan bilang kalian masih bertengkar soal kedua orangtuamu yang menuntut cucu dan Ashley bersikeras tidak mau hamil dulu?” Arya tidak langsung menjawab. Ia memilih meneguk dulu segelas whisky, sebelum menceritakan masalahnya. “Lebih rumit dari itu, Bro…” ucap Arya sambil memutar gelas di tangannya, matanya mengamati cairan keemasan di dalamnya, berputar perlahan, membentuk pusaran kecil—Rumit, seperti isi pikirannya. Justin mencondongkan tubuh, rasa penasarannya semakin besar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Cerita saja bro…” tuntut Justin. Arya menarik napas dalam, matanya terpaku pada pria yang telah menjadi pendengar setia keluh kesahnya selama lima tahun terakhir. Namun ia tampak ragu membuka mulutnya, seolah menimbang-nimbang, apakah akan berdampak buruk jika menceritakan hal sebenaranya? Cerita tentang pernikahan keduanya dengan Rayana, adik tiri istrinya sendiri. Pernikahan itu terjadi karena rencana konyol sang istri, yang ingin menjaga bentuk tubuhnya, demi mengejar karier, sampai rela menyuruh suaminya meniduri adik tiri. Kalau diingat-ingat, Arya sendiri baru mengetahui soal Rayana setelah setahun menikah, padahal ia sudah mengenal Ashley lebih dari 5 tahun. Kalau ia menceritakan yang sebenarnya, Justin pasti akan tercengang. Ia pasti akan bertanya lebih jauh dan detail—ah, tidak, sebaiknya tidak perlu menceritakan semuanya pada Justin. Sorot mata Arya memancarkan kelelahan. “Aku… Sebenarnya telah melakukan sesuatu yang buruk, mungkin kamu akan sulit percaya, tapi hal ini bisa terjadi di zaman sekarang.” Justin memutar bola matanya malas, hatinya sudah tak sabar. “Ayolah, jangan bertele-tele, Bro… Ceritakan saja masalahmu, sekarang!” serunya, penuh penekanan. Arya terpaksa mengarang cerita. “Ashley menyuruhku… tidur dengan wanita sewaan. Dan aku sudah melakukannya, dua kali,” ucapnya tanpa ragu. Selama ini, ia memang menganggap Rayana sebagai wanita murahan yang mau-mau saja menyewakan rahimnya. Justin sontak menatapnya dengan alis terangkat tinggi. “Astaga, Arya… kamu serius? Ashley menyuruhmu begitu!” Arya mengangguk, dan kembali meneguk whisky-nya. “Jangan mentertawakanku!” arya menatap tajam sahabatnya, lengkungan dibibir Justin. Jelas, sahabatnya itu sedang menikmati kegugupan Arya. “Maaf….” Justin langsung terdiam, dengan manahan rasa ingin tertawanya. Walaupun dalam hati, ia hampr tak percaya, kapan lagi bisa mendengar kisah rumah tangga seabsurd ini? Ashley—wanita yang ia tahu sebagai sosok istri egois dan perfeksionis—meminta suaminya sendiri tidur dengan wanita sewaan. Suasana hening sejenak. Tapi Justin tetap tak bisa menahan rasa penasarannya, ia pun langsung bertanya, to the point. “Jadi… gimana rasanya?” Arya mengigit bibirnya, wajahnya sedikit memerah. “Well, punya Wanita sewaan itu… terasa lebih sempit. Entahlah, kurasa milik Ashley tidak sesulit itu kutembus.” “Oh, wow… Ashley menyewa seorang perawan!?” seru Justin, matanya membelalak tak percaya. Arya mendengus. “Kau pikir saja, perawan bodoh mana yang mau menyewakan rahimnya? Jelas Wanita itu murahan, pasti suka sekali merayu pria.” Justin tersenyum tipis, lalu bertanya lagi, “Apakah dia cantik?” Arya tak langsung menjawab. Dalam hati, enggan mengakui wajah cantik alami Rayana, namun sekelebat bayangan itu muncul begitu saja— Wajah Rayana saat berada di bawahnya, rambut hitamnya terurai berantakan di atas bantal, pipinya memerah bagai tersiram senja, bibir mungil berbentuk hati yang bergetar pelan—bibir yang hingga kini belum pernah ia kecup. Sorot matanya… polos, penuh permohonan, seakan memintanya untuk berhenti sekaligus terus melanjutkan. Ah… entah kenapa, mengingat itu saja membuat Arya ingin melakukannya lagi dengan istri keduanya itu. “Kenapa, Bro… kok senyum-senyum sendiri?” kekeh Justin, menangkap ekspresi Arya yang jelas-jelas menyimpan pikiran mesum. Arya menggeleng, meneguk lagi whisky-nya, berharap cairan itu mampu menghapus bayangan kotor yang memenuhi benaknya. “Mana ada senyum, salah lihat bro…” jawabnya singkat, berusaha terdengar tenang. Justin terkekeh, jelas tak percaya. “Ah, sudahlah… aku sudah mengenalmu. Ekspresi seperti itu tidak mungkin hanya karena memikirkan kerjasama proyek dengan klien.” Arya mendengus, kemudian memalingkan wajah ke arah jendela. Justin tersenyum nakal. “Lucu juga si Ashley, bisa-bisanya menyuruhmu tidur dengan wanita lain, tapi sepertinya kau malah ketagihan.” Arya memutar bola matanya malas, tidak membenarkan pendapat sahabatnya, tapi juga tidak membantah soal itu.Rayana tersenyum miris, menunduk lagi. Jemarinya memainkan permukaan air, seakan mencoba mengusir rasa perih yang muncul.“Mereka... tidak seburuk Ashley, tapi juga tidak pernah benar-benar menganggapku bagian dari keluarga. Aku ada di rumah itu, tapi seperti orang asing. Mereka jarang menegurku, jarang mengajakku bicara.”Sambil bercerita, bayangan masa lalu membawa Rayana jauh mundur ke masa dua belas tahun lalu, hari ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Jansen.Pintu besar rumah itu terbuka dengan lebar, di ambang pintu berdiri Ruby Jansen, wanita elegan dengan senyum ramah yang memancar dari wajahnya yang cantik.Di sampingnya berdiri seorang pria yang tampaknya seumuran dengan ayahnya, Richard Jansen. Dia memiliki tinggi badan yang tak terlalu tinggi, dan perutnya agak buncit, namun garis wajahnya tegas dan cukup tampan.“Mulai sekarang, kamu tinggal bersama kami,” kata Ruby, nada suaranya hangat menenangkan.Rayana yang kala itu masih usia remaja, menunduk
“Rayana, tunggu dulu.” Arya memanggil sambil mengejarnya.Rayana melangkah lebih cepat, menjauh dari Arya. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena emosi. Sungguh, Arya itu selalu membuatnya naik darah.“Mau apa lagi? Aku sudah muak denganmu!" pekik Rayana sambil berjalan cepat, menyusuri koridor hotel, matanya berkilat penuh amarah.“Ayolah, kamu tahu kan aku ini memang suka bercanda....”Rayana mendengus. “Aku muak bicaramu yang selalu menjurus ke arah itu.”“Hei... Kalau aku tak bisa bercanda denganmu, dengan siapa lagi aku harus jadi diri sendiri?” ucap Arya lirih.Kata-kata itu membuat Rayana kehilangan daya untuk membalas. Ia berhenti berjalan maju, jantungnya berdegup kacau.Tanpa memberi kesempatan Rayana menghindar, Arya melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Rayana, memeluknya erat dari belakang.“Lepaskan aku!” suara Rayana bergetar, tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan.Namun Arya mempererat pelukannya, Arya menunduk, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Ray
"Ini bulan madu kita. Simpan saja cerita sedihmu itu, dan jangan pasang wajah suram di hadapanku lagi!" bentak Arya, lalu bergegas masuk ke dalam villa.Rayana hanya bisa diam, menelan ludah pahit. Rasa kecewa menyelinap di hatinya—ternyata suaminya sama sekali tak peduli pada luka kelam yang masih membekas dalam hidupnya.“Hmmp… di kepalanya hanya soal buat keturunan. Benar-benar lelaki yang tak punya hati,” gumam Rayana lirih, sambil menyeret koper masuk ke villa.Beberapa saat, setelah Rayana baru saja selesai menata pakaian di lemari. Ia keluar kamar, lalu mendapati Arya sedang duduk di ruang santai, sibuk menatap layar laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, seakan dunia di sekeliling tak lagi penting.“Tu–tuan…” suara Rayana pelan, nyaris ragu. "Hmmm," Arya berdehem. Tanpa melihat ke arah Rayana.“Ka–kalau boleh tahu… berapa lama kita akan menetap di Bali?” tanyanya terbata-bata.“Yah... Mungkin seminggu, atau dua minggu,” sahut Arya tanpa menoleh, matanya tetap ter
"Hmm..."Rayana coba membuka kedua mata perlahan, terasa berat karena habis menangis. Sinar mentari pagi menyelinap dari celah jendela membuatnya mengerjap pelan. Begitu sadar, ia sontak bangun kaget—menoleh ke kiri dan kanan. Kosong.“Eh, kemana dia?” gumamnya pelan. Ia bahkan sempat menepuk-nepuk kasur, memastikan tidak ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Dengan hati yang masih berdegup kencang, Rayana memeriksa sekeliling kamar, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah puas dengan penemuan bahwa dirinya benar-benar sendirian, ia menurunkan tatapan ke pakaiannya."Syukurlah, aku masih pakai baju." Ia bernapas lega. Mengingat kejadian yang memalukan di hotel dulu tak ingin terulang lagi.Rayana membuka pintu kamar perlahan, mengintip ke luar. Koridor tampak lengang, tak seorang pun terlihat. Dengan hati-hati ia melangkah keluar, telapak kakinya yang telanjang tak menimbulkan suara di lantai dingin itu.Hening.Hanya kicau burung dan gemericik air mancur da
“Maaf aku tidak bisa, Anda… masih sakit. Jadi lebih baik aku di kamar sebelah saja, toh aku tetap bisa mendengarmu kalau butuh sesuatu.”Arya menghela napas panjang, sambil memegangi keningnya. “Kamu lupa, kata dokter tadi… kalau aku sampai demam lagi, sakitku bisa tambah parah.”Rayana mendengus, berusaha menutupi rasa cemas yang muncul. “Jangan sok dramatis. Barusan kamu masih bisa bercanda dan habiskan sepiring buah. Lebih baik anda istirahat saja, biar besok cepat pulih dan kembali bekerja.”Arya menutup mata rapat-rapat, suaranya dibuat serak dan lemah, seolah kehilangan tenaga. “Aku tidak bercanda, Rayana… tubuhku benar-benar berat. Tolong, jangan biarkan aku sendirian malam ini.”Rayana terdiam. Batinnya berperang hebat—akalnya ingin menolak, tapi tatapan Arya yang lemah meluluhkan niatnya untuk melarikan diri.“Baiklah… tapi jangan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan berat hati.Arya tersenyum puas, mengangkat tangan seolah bersumpah. “Aku janji. Hanya tidur, tidak lebih.”Ma
"Tuan Arya mengalami demam tinggi akibat radang. Saya sudah memberikan obat penurun panas, tetapi Anda harus terus memantau kondisinya. Pastikan ia cukup istirahat dan diberi cairan yang cukup. Kalau demamnya tinggi lagi, segera hubungi saya lagi," ucap sang Dokter."Terima kasih banyak, Dokter. Saya akan merawatnya dengan baik." seru Rayana, kedua tangannya terus mengepal kaos yang ia pakai.Lagi-lagi tak bisa kabur, tak ada pilihan bagi Rayana, seharian penuh akhirnya ia merawat Arya sesuai instruksi dari sang Dokter. Setiap beberapa jam, ia memberikan obat yang diberikan dokter dan mengompres tubuh Arya dengan air hangat.Kesal teramat kesal, tentu saja hal itu yang sedang Rayana rasakan sekarang. Dirinya harus terpaksa merawat suaminya lebih dari 24 jam, lantaran tak ingin nama kedua mendiang orangtuanya buruk, kalau Arya sampai meninggal karena ia abaikan."Bangunlah Tuan, Anda harus makan bubur, walaupun hanya sedikit, tapi bisa menambah tenaga."Perlahan Arya membuka matanya, i