“Hentikan!” Pekik Arya, Rayana langsung terdiam, tangannya membeku di udara.
Arya beranjak dari kursinya, matanya menatap Rayana, sambil menunjuk dengan jari, lalu berkata dengan nada sinis, “Kamu! Ikut saya ke kamar.” Ashley terkekeh, senang melihat Rayana ketakutan, seakan rencananya telah berjalan tepat seperti yang ia mau. Tentunya ia berharap suaminya Arya akan menghukum Rayana pagi ini, membuat adik tirinya itu makin menderita dan tertekan. Blam! Pintu kamar ditutup rapat, suasana kamar berubah mencekam. Arya menarik tangan Rayana kasar, dan menjatuhkannya ke sisi ranjang. Entah apa yang sedang merasuki pikiran Arya sekarang, deru nafasnya kian memburu, sorot matanya tajam, seperti binatang buas yang mau menerkan mangsanya, Rayana merinding ketakutan. “Maafkan saya… saya—” ucapnya terbata-bata, namun kata-katanya terputus ketika jemari Arya menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya. “Kau kira aku tidak mengerti permainanmu? Perempuan licik, seperti ular—bersikap seolah polos, padahal berusaha menarik perhatianku.” Arya menatapnya tajam, suaranya dalam penuh tekanan. "Uughh!" rintih Rayana, saat cengkeraman suaminya menguat. “Pintar sekali kamu, sengaja menumpahkan jus di celanaku… agar kau bisa memancingku berduaan, bukan? Jangan sangka aku tidak menyadari trik murahanmu.” Rayana menggeleng, hendak berkata tidak, namun suaranya tertelan oleh jarak yang kian menyempit di antara mereka. Arya sudah terbawa arus nafsu. “Ayo kita lakukan seperti semalam, kalau itu memang maumu!” seru Arya sambil meraih kancing kemejanya dan membukanya satu per satu dengan gerakan tergesa. "Tidak! Tolong jangan lakukan, aku masih kesakitan," Rayana memohon. Tapi Arya menatap Rayana tanpa berkedip, wajahnya mendekat hingga deruan napasnya terasa di kulitnya. Rayana memegangi bawah perutnya yang masih nyeri sejak semalam. Namun, Arya hanya mengusap pipi merona Rayana, gerakannya lembut. “Kali ini… aku akan lebih lembut,” bisiknya. Kata-katanya seperti janji yang sulit ditebak, apakah benar akan membawa kelembutan, atau justru menjerumuskannya lagi ke dalam badai tak berkesudahan seperti semalam. Rayana menggeser tubuhnya, berusaha menjauh, tapi Arya cepat meraih lengannya dan menariknya ke dalam pelukan. “Aku tidak mengerti kenapa kau terus menghindar. Kalau memang menginginkanku, kenapa selalu bersikap jual mahal? Aku benci melihat wajahmu itu, pura-pura sedih, menderita, dan sok polos,” ucapnya dengan nada penuh kekesalan. Rayana meringis. “Aku memang tidak mau denganmu. Semalam pun—” Ucapan itu terhenti saat Arya mendorongnya hingga terbaring di atas ranjang. Napasnya memburu, tatapannya tajam, dan jemarinya mencengkeram kedua pergelangan tangan Rayana, menahannya di sisi kepala. “Jangan berani berbohong padaku! Kau sengaja membuatku terus merasa bersalah… seolah-olah aku ini seorang pemerk0sa!” Rayana berusaha melepaskan diri, namun genggaman Arya justru semakiN erat. Celemek yang ia kenakan ditarik dengan kasar, membuat kaosnya ikut terangkat, memperlihatkan bra-nya. Rayana terperanjat saat bra-nya terbuka jelas. “Jangan sentuh, brengsek!” teriaknya, menendang Arya sekuat tenaga, penuh amarah yang meledak. Namun Arya menyerang balik, tubuhnya kembali menekan Rayana hingga terhimpit di ranjang. “Berhenti melawanku!" Arya menahan Rayana lebih kuat. Cekrek! Pintu kamar terbuka. Ashley berdiri di ambang pintu, matanya membelalak melihat pemandangan tak lazim. Tangannya masih memegang gagang pintu, bibirnya menganga, tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan dalam kamarnya. Terkejut, Arya melepaskan Rayana dan buru-buru bangkit, menaikan celananya. “ARYA! Apa yang baru saja kamu lakukan?!” teriak Ashley, ekspresi marah jelas terlihat di wajahnya, cemburu melihat kedekatan Arya dan Rayana. Arya menoleh pada istrinya, tatapannya sedingin baja. "Kau… tidak seharusnya menghentikanku. Aku sedang menghukum dia, karena dia tidak mau patuh,” ucapnya datar, seakan yang ia lakukan tadi Adalah hal biasa. Ucapan Arya, menghantam jantung Ashley, pandangan wanita itu bergeser pada Rayana yang masih duduk di ranjang, dengan rambut kusut dan pakaian sedikit terbuka. Wajah Rayana merah, napasnya tak beraturan. Ashley kembali menatap Arya yang wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah, wajah suaminya terlihat tenang, dan itu membuat darahnya mendidih. “Kau boleh menghukumnya, tapi bukan seperti semalam! Jangan menyentuhnya tanpa izin dariku, jangan pernah kau lakukan!” bentaknya, rasa cemburu jelas membara di wajahnya. Namun Arya tak sedikit pun mundur. Sebaliknya, ia menatap balik Ashley dengan dingin. “Bukankah kamu yang menginginkan hal ini, Ashley. Seperti katamu, Rayana harus menjalankan tugasnya sebagai istri kedua, mengandung benihku!” Ashley tersenyum sinis, “Kamu menikah atas ijinku, Arya! Jadi aku yang menentukan kapan, bagaimana, dan sejauh mana kau melakukannya dengan Rayana. Jangan pikir karena dia istri keduamu, kau bisa seenaknya.” Arya geram, rahangnya mengeras, ingin membantah dan menegaskan bahwa ia adalah seorang suami, bukan boneka di tangan istrinya. Entah sejak kapan dirinya terbelenggu oleh pesona perempuan ini. Sejak masa pacarana dulu, Arya sudah tau sifat Ashley, selalu egois, keras kepala, dan suka mengatur. Segala sesuatu harus sesuai kemauannya. Tapi mengapa bisa? Kenapa baru sadar sekarang? Setelah Ashley memaksa Rayana mengandung benihnya demi alasan yang tak pernah benar-benar ia mengerti, selain oleh Ashley sendiri.Rayana tersenyum miris, menunduk lagi. Jemarinya memainkan permukaan air, seakan mencoba mengusir rasa perih yang muncul.“Mereka... tidak seburuk Ashley, tapi juga tidak pernah benar-benar menganggapku bagian dari keluarga. Aku ada di rumah itu, tapi seperti orang asing. Mereka jarang menegurku, jarang mengajakku bicara.”Sambil bercerita, bayangan masa lalu membawa Rayana jauh mundur ke masa dua belas tahun lalu, hari ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Jansen.Pintu besar rumah itu terbuka dengan lebar, di ambang pintu berdiri Ruby Jansen, wanita elegan dengan senyum ramah yang memancar dari wajahnya yang cantik.Di sampingnya berdiri seorang pria yang tampaknya seumuran dengan ayahnya, Richard Jansen. Dia memiliki tinggi badan yang tak terlalu tinggi, dan perutnya agak buncit, namun garis wajahnya tegas dan cukup tampan.“Mulai sekarang, kamu tinggal bersama kami,” kata Ruby, nada suaranya hangat menenangkan.Rayana yang kala itu masih usia remaja, menunduk
“Rayana, tunggu dulu.” Arya memanggil sambil mengejarnya.Rayana melangkah lebih cepat, menjauh dari Arya. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena emosi. Sungguh, Arya itu selalu membuatnya naik darah.“Mau apa lagi? Aku sudah muak denganmu!" pekik Rayana sambil berjalan cepat, menyusuri koridor hotel, matanya berkilat penuh amarah.“Ayolah, kamu tahu kan aku ini memang suka bercanda....”Rayana mendengus. “Aku muak bicaramu yang selalu menjurus ke arah itu.”“Hei... Kalau aku tak bisa bercanda denganmu, dengan siapa lagi aku harus jadi diri sendiri?” ucap Arya lirih.Kata-kata itu membuat Rayana kehilangan daya untuk membalas. Ia berhenti berjalan maju, jantungnya berdegup kacau.Tanpa memberi kesempatan Rayana menghindar, Arya melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Rayana, memeluknya erat dari belakang.“Lepaskan aku!” suara Rayana bergetar, tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan.Namun Arya mempererat pelukannya, Arya menunduk, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Ray
"Ini bulan madu kita. Simpan saja cerita sedihmu itu, dan jangan pasang wajah suram di hadapanku lagi!" bentak Arya, lalu bergegas masuk ke dalam villa.Rayana hanya bisa diam, menelan ludah pahit. Rasa kecewa menyelinap di hatinya—ternyata suaminya sama sekali tak peduli pada luka kelam yang masih membekas dalam hidupnya.“Hmmp… di kepalanya hanya soal buat keturunan. Benar-benar lelaki yang tak punya hati,” gumam Rayana lirih, sambil menyeret koper masuk ke villa.Beberapa saat, setelah Rayana baru saja selesai menata pakaian di lemari. Ia keluar kamar, lalu mendapati Arya sedang duduk di ruang santai, sibuk menatap layar laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, seakan dunia di sekeliling tak lagi penting.“Tu–tuan…” suara Rayana pelan, nyaris ragu. "Hmmm," Arya berdehem. Tanpa melihat ke arah Rayana.“Ka–kalau boleh tahu… berapa lama kita akan menetap di Bali?” tanyanya terbata-bata.“Yah... Mungkin seminggu, atau dua minggu,” sahut Arya tanpa menoleh, matanya tetap ter
"Hmm..."Rayana coba membuka kedua mata perlahan, terasa berat karena habis menangis. Sinar mentari pagi menyelinap dari celah jendela membuatnya mengerjap pelan. Begitu sadar, ia sontak bangun kaget—menoleh ke kiri dan kanan. Kosong.“Eh, kemana dia?” gumamnya pelan. Ia bahkan sempat menepuk-nepuk kasur, memastikan tidak ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Dengan hati yang masih berdegup kencang, Rayana memeriksa sekeliling kamar, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah puas dengan penemuan bahwa dirinya benar-benar sendirian, ia menurunkan tatapan ke pakaiannya."Syukurlah, aku masih pakai baju." Ia bernapas lega. Mengingat kejadian yang memalukan di hotel dulu tak ingin terulang lagi.Rayana membuka pintu kamar perlahan, mengintip ke luar. Koridor tampak lengang, tak seorang pun terlihat. Dengan hati-hati ia melangkah keluar, telapak kakinya yang telanjang tak menimbulkan suara di lantai dingin itu.Hening.Hanya kicau burung dan gemericik air mancur da
“Maaf aku tidak bisa, Anda… masih sakit. Jadi lebih baik aku di kamar sebelah saja, toh aku tetap bisa mendengarmu kalau butuh sesuatu.”Arya menghela napas panjang, sambil memegangi keningnya. “Kamu lupa, kata dokter tadi… kalau aku sampai demam lagi, sakitku bisa tambah parah.”Rayana mendengus, berusaha menutupi rasa cemas yang muncul. “Jangan sok dramatis. Barusan kamu masih bisa bercanda dan habiskan sepiring buah. Lebih baik anda istirahat saja, biar besok cepat pulih dan kembali bekerja.”Arya menutup mata rapat-rapat, suaranya dibuat serak dan lemah, seolah kehilangan tenaga. “Aku tidak bercanda, Rayana… tubuhku benar-benar berat. Tolong, jangan biarkan aku sendirian malam ini.”Rayana terdiam. Batinnya berperang hebat—akalnya ingin menolak, tapi tatapan Arya yang lemah meluluhkan niatnya untuk melarikan diri.“Baiklah… tapi jangan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan berat hati.Arya tersenyum puas, mengangkat tangan seolah bersumpah. “Aku janji. Hanya tidur, tidak lebih.”Ma
"Tuan Arya mengalami demam tinggi akibat radang. Saya sudah memberikan obat penurun panas, tetapi Anda harus terus memantau kondisinya. Pastikan ia cukup istirahat dan diberi cairan yang cukup. Kalau demamnya tinggi lagi, segera hubungi saya lagi," ucap sang Dokter."Terima kasih banyak, Dokter. Saya akan merawatnya dengan baik." seru Rayana, kedua tangannya terus mengepal kaos yang ia pakai.Lagi-lagi tak bisa kabur, tak ada pilihan bagi Rayana, seharian penuh akhirnya ia merawat Arya sesuai instruksi dari sang Dokter. Setiap beberapa jam, ia memberikan obat yang diberikan dokter dan mengompres tubuh Arya dengan air hangat.Kesal teramat kesal, tentu saja hal itu yang sedang Rayana rasakan sekarang. Dirinya harus terpaksa merawat suaminya lebih dari 24 jam, lantaran tak ingin nama kedua mendiang orangtuanya buruk, kalau Arya sampai meninggal karena ia abaikan."Bangunlah Tuan, Anda harus makan bubur, walaupun hanya sedikit, tapi bisa menambah tenaga."Perlahan Arya membuka matanya, i