“Ash, kau di mana? Kenapa belum pulang?” tanya Arya ditelepon, sambil melirik jarum jam di tangan, Rolex-nya menunjukkan pukul tujuh malam.
“Maaf, Sayang. Sehabis pemotretan, tiba-tiba Fransisca aja aku makan malam. Besok dia mau berangkat ke Milan selama sebulan, jadi aku tidak bisa menolak ajakan yang penting ini,” ucap Ashley di Seberang sana. Arya mengerutkan dahi. Selalu saja begitu. Ashley lebih memprioritaskan teman-temannya, daripada melayani suaminya sendiri. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, langsung saja ia menutup telepon, tak peduli jika bahkan Ashley akan pulang dan mengomel nanti. Sambil masih berdiri di ruang tamu, Arya menghela nafas Panjang, menatap datar ke sekeliling ruangan apartemen kondominium yang kososng. Baru saja ia pulang bekerja, berharap bisa menghabiskan malam indah bersama istrinya, namun lagi-lagi rencana itu buyar. Bruk! Klontang! Klontang! Tiba-tiba, Arya mendengar suara gedebuk disertai suara kaleng jatuh dari arah dapur. Suara itu terdengar cukup keras, sepertinya sesuatu yang berat jatuh ke lantai. “Apa yang kau lakukan!” pekik Arya begitu melangkah masuk ke dapur. Matanya langsung menangkap sosok Rayana terduduk di lantai, sambil memegangi pergelangan kakinya, sementara di sekelilingnya berserakan kaleng-kaleng bahan makanan yang jatuh dari kardus. “Maaf, Tuan…” suara Rayana bergetar, matanya menunduk ketakutan. Arya hendak memarahinya lagi, namun pandangannya terhenti pada pergelangan kaki Rayana. Kulitnya tampak memerah, sedikit membengkak—jelas ia terkilir saat jatuh tadi. Arya menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat. “Biar aku bantu berdiri,” ujarnya, meraih lengan Rayana. Namun Rayana buru-buru menggeleng, berusaha menyingkir meski raut wajahnya menahan sakit. “Tidak usah, Tuan… saya bisa berdiri sendiri.” Arya berdecak kesal. “Keras kepala sekali.” Tanpa memberi kesempatan Rayana untuk membantah, ia langsung membungkuk dan mengangkat tubuh Rayana dalam gendongan bridal style. Rayana terperanjat, kedua tangannya refleks mencengkeram bahu Arya, pipinya pun memanas. Arya melangkah menuju ruang makan. Ia menurunkan tubuh Rayana perlahan keatas kursi, lalu tanpa sepatah kata pun ia berbalik pergi. Tak lama kemudian Arya kembali, sambil membawa sebotol salep pereda nyeri. “Biar kulihat pergelangan kakimu,” ucapnya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Rayana. Tanpa minta ijin, Arya mengangkat pergelangan kaki Rayana yang terkilir, dengan hati-hati ia meletakkan di atas pahanya. Kemudia mulai mengoleskan salep pada kulit yang memerah itu. “Tidak perlu, Tuan… saya bisa—” Rayana berusaha menarik kakinya, tubuhnya sedikit menegang. “Diam,” potong Arya tegas, tatapannya menusuk. Ia tak suka dibantah—kecuali oleh Ashley, satu-satunya Wanita yang berani melakukannya. Rayana terdiam, menggigit bibirnya, kedua tangannya meremas pinggiran kursi. Sentuhan Arya di pergelangan kaki membuatnya gelisah—bukan hanya karena rasa nyeri, tapi ada rasa ketidaknyamanan yang sulit ia jelaskan. Arya menatap wajah Rayana lekat-lekat. Pipi wanita itu bersemu merah, napasnya tersengal halus. Ia baru sadar, kalau saat ini hanya ada mereka berdua di apartemen. Ashley pasti pulang larut seperti biasanya, habis selesai makan malam, lanjut berpesta pora di Club. Kesempatan. Tidak perlu minta izin pada Ashley… asalkan Rayana mau diam dan menyimpan rahasia. Jemari Arya perlahan merambat, menelusuri betis Rayana dengan gerakan nyaris tanpa suara. Hangat kulitnya terasa di telapak tangan, membuat Arya enggan melepaskan. Bahu Rayana menegang, jemarinya meremas ujung rok seakan mencari pegangan. “Tuan…” panggilnya lirih. Arya tak segera menghentikan gerakannya. Ia malah mencondongkan tubuhnya, jarak mereka kini semakin rapat, aroma samar parfum maskulin Arya tercium jelas dihidung Rayana. “Bagaimana kalau ada bagian lain yang terluka?” ucap Arya pelan, matanya menelusuri wajah Rayana yang tak sanggup menatap balik. Rayana menelan ludah beberapa kali, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghentikan Arya. Rayana tahu, kalau menepis tangan nakal itu, bisa-bisa berujung pada amarah dan hukuman. Hati Rayana gelisah, apalagi saat jemari Arya mulai masuk ke dalam rok-nya. “M-masakanku!” serunya tiba-tiba, seperti baru teringat sesuatu yang penting. Arya berhenti, dan menatap bingung ke arah Rayana. “Maaf Tuan… aku sedang memasak sop.” Dari arah dapur, samar-samar tercium aroma sop ayam, Rayana langsung memanfaatkan momen itu, menarik kakinya dari pangkuan Arya, pelan-pelan Rayana berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Arya hanya menatapnya dari kursi, rasa kesal dan iba bercampur di raut wajahnya. Mau tak mau, akhirnya ia bangkit, berjalan menyusul ke dapur. Tanpa berkata apa-apa, Arya mengambil alih panci berisi sop ayam dari tangan Rayana. “Biar aku saja,” ucapnya singkat, lalu membawanya ke meja makan. Rayana terkejut dengan sikap Arya yang tiba-tiba sok perhatian. Sambil tercengang berdiri di dapur, matanya mengikuti punggung tegap pria itu saat berjalan menuju meja makan. Jantung Rayana tiba-tiba berdebar tak karuan. Rasanya ada yang aneh, sesuatu yang panas tiba-tiba menjalar dari bawah perut ke seluruh tubuhnya. “Astaga… pria itu benar-benar membuatku gila,” gumamnya pelan.“Aku bisa menyembuhkan kakimu dengan cepat, asalkan kamu, biarkan aku melakukannya.”Arya tak mau menghentikan gerakannya sebaliknya, ia merapatkan tubuhnya. Lututnya menekan ranjang, mengikis habis jarak di antara mereka. Rayana makin terdesak, dadanya naik-turun dalam kepanikan.“Me… melakukan apa? Maksudnya itu!” seru Rayana panik. Tak disangka Arya minta jatah, tanpa disuruh Ashley. Tak disangka, Arya sendiri meminta jatah, bahkan tanpa perintah dari Ashley.Arya mengangguk. “Sudah jadi tugasmu, mengandung benihku. Kamu harus cepat mengandung supaya urusan diantara kita cepat selesai."“Tidak!” Jawab Rayana, nada suaranya lantang.“Kau bilang apa!?” Arya mendengus, wajahnya terlihat kesal, seakan tak percaya dengan keberanian yang Rayana tunjukkan.“Aku bilang tidak!” Rayana menegakkan tubuhnya. “Seperti kata Ashley tadi pagi, kau harus minta izin padanya dulu kalau ingin menyentuhku.”Kata-kata itu meluncur tajam, menusuk harga diri Arya. Ruangan seketika diliputi ketegangan—anta
“Jangan sampai dia ganggu aku lagi…” gumam Rayana, sambil berjalan menahan perih di pergelangan kakinya.Langkahnya tertatih-tatih, tapi ia tetap memaksa masuk ke kamarnya, sebelum Arya selesai makan malam.Rayana merasa jijik karena tubuhnya terus saja di sentuh sana sini oleh Arya. Tanpa membuang waktu lagi, ia seret kakinya menuju kamar mandi. Ngiikk…Keran Shower diputar.Air hangat pun keluar, mengalir begitu deras, membasahi wajah hingga seluruh tubuh Rayana. “Ahh segarnya…." Gumam Rayana sambil bersenandung, ia memejamkan kedua mata, tapi tiba-tiba pikirannya kembali tenggelam dalam kegelisahan yang mengganggu.“Apa-apaan! Tadi itu… kenapa dia selalu saja melecehkankan aku, kenapa juga jantungku ikut berdebar?” ucapnya dengan nada kesal, sembari menggosok tubuhnya dengan busa sabun.Rayana meraba dadanya, tangannya gemetar, seolah masih merasakan sentuhan jemai Arya. Ia menggeleng cepat, menolak bayangan wajah taman Arya dengan tatapan intens."Iiihhss! Lama-kelamaan aku bisa
“Ash, kau di mana? Kenapa belum pulang?” tanya Arya ditelepon, sambil melirik jarum jam di tangan, Rolex-nya menunjukkan pukul tujuh malam.“Maaf, Sayang. Sehabis pemotretan, tiba-tiba Fransisca aja aku makan malam. Besok dia mau berangkat ke Milan selama sebulan, jadi aku tidak bisa menolak ajakan yang penting ini,” ucap Ashley di Seberang sana.Arya mengerutkan dahi. Selalu saja begitu. Ashley lebih memprioritaskan teman-temannya, daripada melayani suaminya sendiri. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, langsung saja ia menutup telepon, tak peduli jika bahkan Ashley akan pulang dan mengomel nanti.Sambil masih berdiri di ruang tamu, Arya menghela nafas Panjang, menatap datar ke sekeliling ruangan apartemen kondominium yang kososng. Baru saja ia pulang bekerja, berharap bisa menghabiskan malam indah bersama istrinya, namun lagi-lagi rencana itu buyar.Bruk!Klontang! Klontang!Tiba-tiba, Arya mendengar suara gedebuk disertai suara kaleng jatuh dari arah dapur. Suara itu terdengar c
“Selamat Pagi, Boss,”Suara seorang pria menyambut Arya begitu ia baru masuk ke ruangan kerjanya di lantai 21 gedung perusahaan Widyantara Corp.Arya mengerutkan kening."Justin," ucapnya, menyebut nama pria yang sedang santai duduk di kursi kebesarannya."Bagaimana kabarmu, my friend? Kenapa pagi ini wajahmu terlihat kusut sekali?" Justin terkekeh, nada suaranya penuh ejekan.Arya tak menggubris, ia hanya berjalan menuju meja bar di sudut ruangan, membuka lemari minuman, lalu mengeluarkan sebuah botol kristal yang berisi cairan keemasan, ia tuangkan ke dua gelas kristal yang berkilau tertimpa cahaya lampu bar."Kita ngobrol sambil minum," ajaknya."What! Masih pagi begini ajak minum whisky? Jangan bilang, kalau semalam habis bertengkar hebat sama istri tercinta?" Justin mengangkat kedua bahunya, merasa heran. Sebagai sahabat lama, yang megenal Arya sejak bangku kuliah, Justin tahu betul—minuman keras selalu jadi pilihan Arya saat pikirannya sedang kusut.Arya duduk di sofa, wajahnya
“Hentikan!” Pekik Arya, Rayana langsung terdiam, tangannya membeku di udara.Arya beranjak dari kursinya, matanya menatap Rayana, sambil menunjuk dengan jari, lalu berkata dengan nada sinis, “Kamu! Ikut saya ke kamar.”Ashley terkekeh, senang melihat Rayana ketakutan, seakan rencananya telah berjalan tepat seperti yang ia mau. Tentunya ia berharap suaminya Arya akan menghukum Rayana pagi ini, membuat adik tirinya itu makin menderita dan tertekan.Blam!Pintu kamar ditutup rapat, suasana kamar berubah mencekam. Arya menarik tangan Rayana kasar, dan menjatuhkannya ke sisi ranjang.Entah apa yang sedang merasuki pikiran Arya sekarang, deru nafasnya kian memburu, sorot matanya tajam, seperti binatang buas yang mau menerkan mangsanya, Rayana merinding ketakutan.“Maafkan saya… saya—” ucapnya terbata-bata, namun kata-katanya terputus ketika jemari Arya menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya.“Kau kira aku tidak mengerti permainanmu? Perempuan licik, seperti ular—bersikap seolah polos, padah
“Uuhgg… sakit,”Pagi ini, Rayana masih meringkuk dalam selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Matanya sembab setelah menangis semalaman menahan nyeri di sekujur tubuhnya.Di malam kedua ini, rasa sakit dan perih memang tidak terasa, namun durasinya jauh lebih panjang dibandingkan malam pertama. Malam kedua terasa seperti siksaan tak berkesudahan, setiap hentakan yang menghantam tubuh Rayana seperti gelombang ombak yang menghantam dadanya, membuat napasnya kian berat dan sulit bernapas.Rayana tak lagi yakin apa yang sebenarnya terjadi semalam. Tubuhnya seperti bukan miliknya lagi, ada momen-momen di mana ia sadar dirinya ikut terseret oleh kenikmatan di tengah penyiksaan itu. Perasaan aneh itulah yang mengoyak hatinya, mencabik-cabik harga diri yang sedikit demi sedikit sedang terkuras habis.“Hmm….”Tiba-tiba terdengar gumaman Arya di sebelahnya. Rayana tersentak, sadar dirinya terlalu larut dalam pikiran sendiri. Cepat-cepat lah ia bangkit, sebelum Arya membuka matanya, lalu berlar