Hujan rintik mengguyur kota malam itu. Karina duduk di sofa apartemennya dengan segelas teh hangat di tangan. Ia mencoba membaca sebuah buku, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk berkonsentrasi. Sejak pesan-pesan misterius itu mulai masuk ke ponselnya, rasa aman yang selama ini ia perjuangkan mulai terkikis.
Namun, ada sesuatu yang lain yang mengganggunya malam ini. Sebuah mimpi yang ia alami semalam membuat hatinya gelisah. Dalam mimpi itu, ia melihat Vera berdiri di depan sebuah rumah tua—rumah yang terasa akrab namun juga asing. Vera tersenyum, tetapi senyuman itu tidak hangat. Ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan dalam tatapan matanya. Karina menghela napas panjang, lalu meletakkan buku yang sedari tadi hanya ia pandangi. “Kenapa mimpi itu terasa nyata sekali?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail mimpi itu. Rumah tua, pintu kayu yang usang, dan suara tertawa anak kecil. Suara itu terdengar jelas di kepalanya sekarang, membuat bulu kuduknya meremang. --- Pagi berikutnya, Karina memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya di kantor. Ia tahu, mengalihkan perhatian adalah cara terbaik untuk menjaga pikirannya tetap waras. Namun, saat ia membuka pintu kantornya, sebuah amplop tanpa nama tergeletak di mejanya. Karina mengambil amplop itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Di dalamnya, terdapat foto dirinya bersama Vera di masa kecil. Keduanya berdiri di depan rumah tua yang ada dalam mimpinya. Jantung Karina berdegup kencang. “Apa ini ... maksudnya apa?” gumamnya, tangannya bergetar. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara Adrian memanggil dari pintu. “Nona Karina, Anda bisa ke ruangan saya sebentar?” Karina cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke dalam laci mejanya. “Tentu, Pak. Ada apa?” “Jonathan akan datang untuk membahas proyek merger. Saya ingin Anda membantu mencatat poin-poin penting selama diskusi.” Karina mengangguk, meski pikirannya masih terpaku pada foto tadi. “Baik, Pak. Saya akan segera ke ruangan Anda.” --- Di ruang rapat, Jonathan sudah menunggu. Pria itu tampak elegan dengan jas mahalnya, tapi sorot matanya dingin dan penuh perhitungan. Karina langsung merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Jonathan menyambut Adrian dengan senyum tipis. “Adrian, selalu sibuk seperti biasa, ya?” Adrian duduk di ujung meja, memandang sepupunya dengan tatapan datar. “Kamu juga, Jonathan. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” Pertemuan berlangsung cukup lama, dengan Jonathan terus mencoba menggiring pembicaraan ke arah yang menguntungkan dirinya. Karina mencatat setiap poin dengan saksama, tapi ia tak bisa mengabaikan perasaan bahwa Jonathan terus mencuri pandang ke arahnya. Ketika rapat berakhir, Jonathan mendekati Karina. “Nona Karina, ya?” Karina tersenyum sopan. “Iya, Pak Jonathan. Ada yang bisa saya bantu?” Jonathan mengangguk pelan, matanya memperhatikan wajah Karina dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman. “Anda kelihatan sangat ... berdedikasi. Saya yakin Adrian beruntung memiliki pegawai seperti Anda.” Karina hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus berkata apa. Adrian yang melihat interaksi mereka langsung berkata dengan nada tegas, “Jonathan, kalau tidak ada hal lain, kita sudahi dulu pembicaraan hari ini.” Jonathan mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Tentu. Sampai jumpa lagi, Nona Karina.” Setelah Jonathan pergi, Adrian menatap Karina dengan pandangan serius. “Apa dia mengatakan sesuatu yang tidak pantas?” Karina menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Dia hanya ... basa-basi.” Adrian tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk tidak memaksakan diri. “Kalau ada sesuatu yang mengganggu Anda, beri tahu saya.” Karina mengangguk, meski dalam hati ia masih merasa bingung dengan sikap Jonathan. --- Malamnya, Karina tidak bisa berhenti memikirkan foto yang ia temukan pagi tadi. Ia mengambilnya dari laci meja, memperhatikan setiap detailnya. Ia ingat hari itu, meski samar. Itu adalah salah satu momen langka ketika ia dan Vera bermain bersama di rumah seorang kerabat. Namun, ada sesuatu yang ganjil. Mengapa Vera tidak pernah menyebutkan tentang foto ini? Dan kenapa ia tiba-tiba merasa ada rahasia besar yang disembunyikan darinya? Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah tua itu. Menggunakan petunjuk samar dari mimpinya, ia mencari informasi di internet, mencoba menghubungkan ingatannya dengan fakta-fakta yang ada. Ketika ia akhirnya menemukan alamat rumah itu, sebuah nama muncul di layar komputer yang membuatnya terkejut. Rumah itu pernah dimiliki oleh keluarga ibunya. --- Sementara itu, di rumah Adrian, Alicia sedang berbicara dengan Jonathan melalui telepon. “Dia hamil,” ujar Jonathan dengan nada penuh kemenangan. Alicia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Apa maksudmu?” “Karina. Pegawai baru Adrian. Dia sedang mengandung anaknya.” Alicia meremas gagang telepon, wajahnya berubah pucat. “Kamu serius? Jadi, mereka selingkuh di belakangku? Aku tidak akan membiarkan ini!” “Serius sekali. Kamu harus tetap tenang dan berpura-pura tidak tahu, ini bisa menjadi senjata yang sangat berguna untuk menjatuhkan Adrian.” Alicia menghela napas berat. “Apa rencanamu?” Jonathan tersenyum di ujung telepon, meski Alicia tidak bisa melihatnya. “Tenang saja. Aku akan membuat semuanya terlihat alami. Adrian tidak akan tahu apa yang menimpanya.” --- Keesokan harinya, Karina memutuskan untuk mengunjungi rumah tua itu. Ia mengambil cuti setengah hari, memberitahu Adrian bahwa ia ada urusan mendesak. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi pohon-pohon besar yang tampak angker. Ketika Karina sampai di depan gerbangnya, ia merasa seperti kembali ke masa kecil. Ia melangkah masuk, pintu kayu tua berderit saat ia membukanya. Di dalam, ruangan itu dipenuhi dengan debu dan aroma kayu yang lapuk. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak kayu kecil tergeletak di sudut ruangan. Karina mengambil kotak itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Di dalamnya, terdapat beberapa surat dan foto lama. Salah satu surat itu ditulis oleh ibunya, berbicara tentang seorang anak yang dititipkan kepada keluarga lain. Karina membaca surat itu dengan tangan gemetar. Air matanya mulai mengalir saat ia menyadari kebenaran yang selama ini tersembunyi. “Vera ... dia ... dia saudara kandungku?” --- Namun, sebelum Karina sempat mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Karina segera menyembunyikan surat-surat itu ke dalam tasnya, jantungnya berdegup kencang. Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria masuk. Jonathan. “Ah, Karina. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya dengan senyum licik. Karina mundur beberapa langkah, merasa terjebak. “Apa yang Anda lakukan di sini?” Jonathan melangkah lebih dekat, matanya memandang Karina dengan intensitas yang membuatnya merasa terancam. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu di mana posisimu.” Karina mengangkat dagunya, mencoba terlihat tegar meski hatinya penuh ketakutan. “Apa maksud Anda?” Jonathan tertawa kecil. “Kamu pikir Adrian akan peduli padamu? Dia hanya memanfaatkan mu. Dan ketika kamu tidak berguna lagi, dia akan membuang mu.” Kata-kata itu menusuk hati Karina, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Kalau Anda tidak punya alasan lain untuk ada di sini, lebih baik Anda pergi.” Jonathan mendekat, suaranya menjadi lebih dingin. “Jangan bermain-main denganku, Karina. Aku tahu segalanya tentangmu. Tentang kehamilanmu. Dan aku akan memastikan itu menjadi akhir bagi Adrian.” Karina membeku, matanya membelalak. “Apa hubungan kehamilanku dengan Pak Adrian?” Jonathan tersenyum puas. "Tentu saja ada hubungannya! Karena anak itu adalah anak Adrian! Dan aku akan menggunakan itu untuk menjatuhkannya. Jadi, kalau aku jadi kamu, aku akan mulai berpikir keras siapa yang sebenarnya bisa kamu percayai.” Sebelum Karina sempat menjawab, Jonathan melangkah keluar, meninggalkannya dalam keheningan yang penuh ketakutan. To Be Continued...Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal
Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd
Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak
Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua
Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki
Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak