Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 114: Takut yang Tak Pernah Terucap

Share

Bab 114: Takut yang Tak Pernah Terucap

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-04-06 13:32:34

Udara malam membungkus mereka dalam keheningan yang berat, seolah waktu melambat di antara embusan angin yang menyusup lembut.

Amara berdiri di balkon, jemarinya mencengkeram pagar besi yang dingin, jari-jarinya sedikit gemetar, entah karena suhu malam atau pergulatan batinnya sendiri. Rambutnya yang tergerai ikut menari tertiup angin, beberapa helai menggelitik pipinya, tapi ia tak menghiraukannya. 

Jakarta masih terjaga di bawah sana, denyut kehidupannya tak pernah benar-benar padam. Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, jalanan dipenuhi kendaraan yang melaju tanpa henti, gedung-gedung tinggi berdiri angkuh dalam siluet gelapnya.

Tapi di sini, di balkon kecil ini, dunia terasa begitu jauh.  

Di belakangnya, terdengar suara pintu geser yang bergerak pelan, diikuti dentingan halus saat menutup kembali. Amara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Laksha.  

Pria itu mendekat, langkahnya mantap tapi t

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 115: Langkah yang Tak Pergi

    Hujan turun perlahan di luar, menelusuri kaca jendela dalam garis-garis tipis yang berkilauan di bawah sorot lampu jalan. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, seakan hendak menelan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.Tapi di dalam kamar itu, segalanya terasa berbeda—lebih sunyi, lebih dingin, seolah waktu melambat dalam keheningan yang berat. Amara duduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Ujung jari-jarinya terasa mati rasa, mencengkeram erat selembar foto usang yang tepinya mulai terkelupas. Wajah-wajah di dalamnya tampak samar di bawah cahaya lampu meja, seperti kenangan yang perlahan memudar.Bahunya bergetar pelan, napasnya tersengal dalam jeda-jeda yang tidak beraturan, seakan setiap tarikan terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, menangis dalam diam.Yang ia tahu, ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya—lubang yang tak kunjung bi

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 116: Persimpangan Takdir

    Pagi itu, aroma tanah basah masih tersisa di udara, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar, menciptakan bayangan lembut di atas lantai kayu yang dingin.Kehangatan samar dari cahaya keemasan itu bertolak belakang dengan suasana hati Amara yang masih terperangkap dalam kebimbangan.Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi sempat mengepul kini menghilang, sama seperti kejernihan pikirannya yang semakin kabur.Pandangannya kosong, menerawang jauh, kembali ke malam sebelumnya—ke genggaman tangan Laksha yang terasa lebih lama dari seharusnya, ke tatapan teduh yang tak pernah ia sangka bisa muncul dari pria itu, dan ke kata-kata samar yang terus bergema di benaknya."Mungkin... itu bukan hal yang buruk."Kalimat itu menggema, meno

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 117: Bayang-Bayang Radit

    Hujan semalam telah meninggalkan jejak embun di dedaunan taman belakang rumah keluarga Wijanarko. Sisa-sisa hujan itu masih mengilap di permukaan daun kamboja yang tumbuh di sudut halaman, menebarkan aroma samar yang bercampur dengan wangi tanah basah.Udara pagi terasa sejuk, menyelinap melalui celah jendela dan membelai kulit dengan kesejukan yang lembut. Langit masih sedikit kelabu, seperti enggan beranjak dari sisa mendung semalam, memberikan suasana syahdu yang seolah menyimpan rahasia di balik megahnya rumah itu.Di lantai dua, Amara berjalan perlahan menyusuri koridor panjang yang sepi. Langkahnya nyaris tak bersuara, sandal rumah yang dikenakannya hanya menimbulkan gesekan halus dengan marmer dingin di bawah kakinya.Namun, hatinya justru terasa bising, penuh oleh suara-suara dari pikirannya sendiri.Sejak kedatangan Reza pagi ini, pikirannya terus berkecamuk. Tawaran itu masih ada dalam genggamannya—bukan secara harfiah, tetapi ia bisa mera

    Last Updated : 2025-04-08
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 118: Retakan di Balik Rahasia

    Amara melangkah mundur, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Jantungnya berdegup kencang, tetapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sikunya tanpa sengaja menyenggol vas bunga kecil di atas meja dekat koridor.Brak!Suara pecahan porselen menghantam lantai, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di udara. Sejenak, dunia seolah membeku. Amara menahan napas, telinganya menangkap suara langkah mendekat dari balik pintu ruang kerja.Jantungnya berdebar semakin liar.Pintu terbuka.Di ambang pintu, Indira dan Aditya berdiri dalam bayang-bayang cahaya lampu temaram. Mata Indira sedikit membulat saat melihatnya, tetapi hanya sesaat sebelum ia kembali menguasai ekspresinya.Sementara itu, tatapan Aditya berubah tajam, rahangnya mengeras. Ada sesuatu di matanya—kesadaran mendadak bahwa rahasia yang selama ini ia jaga rapat mungkin telah terungkap oleh orang yang salah.Amara menelan ludah, berusah

    Last Updated : 2025-04-08
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 119: Panggung Milik Lidya

    Siang itu, langit Jakarta tampak mendung, seolah ikut menahan napas bersama seluruh penghuni rumah keluarga Wijanarko. Angin berembus perlahan, menggoyangkan tirai tipis di jendela besar ruang tamu, sementara suasana di dalam rumah terasa berat, seakan gravitasi bertambah berkali lipat.Namun di luar, dunia terus berputar tanpa peduli.Dalam hitungan jam, berita itu telah menyebar ke segala penjuru—mengalir deras di layar ponsel, terpampang di headline berbagai situs berita, dan berulang kali ditayangkan di televisi."Pernikahan Laksha Wijanarko Hanyalah Kontrak?!""Skandal Besar! CEO Wijanarko Group Menikahi Wanita Misterius Demi Warisan?""Bukti Terungkap: Cinta atau Kesepakatan Bisnis?"Amara menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Jemarinya sedikit gemetar saat ia menggulir halaman demi halaman artikel yang muncul tanpa henti.Foto-fotonya dengan Laksha terse

    Last Updated : 2025-04-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 120: Aku Memilihnya

    Kilatan lampu kamera terus menyambar seperti kilat di malam badai, menciptakan pantulan menyilaukan di lantai marmer lobi utama Wijanarko Group.Udara dipenuhi dengung suara wartawan yang saling bersahutan, memanggil nama Laksha, menuntut jawaban atas skandal yang telah mengguncang dunia bisnis dan sosialita Jakarta.Di tengah kepungan mikrofon dan tatapan penuh tuntutan, Laksha berdiri tegap—seolah badai yang berputar di sekelilingnya tak lebih dari angin sepoi. Setelan hitamnya tetap rapi tanpa cela, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya malam itu.Biasanya tajam dan dingin, kini ada sesuatu yang lebih dalam—bukan sekadar kemarahan, bukan sekadar perlawanan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit menjauh. Dadanya terasa sesak melihat pria itu berdiri di bawah sorotan lampu, seperti sosok dalam lukisan yang dipajang di tengah galeri, diamati dan dihakimi dari segala arah.Rahang Laksha mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya,

    Last Updated : 2025-04-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 121: Tak Ada Lagi Tempat untuk Bersembunyi

    Angin malam berembus lembut, menyelinap melalui celah balkon kamar Amara, membawa serta aroma hujan yang tertinggal di jalanan kota. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat gemerlap lampu-lampu Jakarta yang terus berpendar, berkilauan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.Hiruk-pikuk metropolis itu seakan tidak peduli dengan kekacauan yang sedang melanda hatinya—sebuah ironi yang begitu nyata.Jari-jari Amara menggenggam pagar besi balkon, erat, seakan itu satu-satunya pegangan yang bisa menahannya agar tetap berdiri. Namun, genggaman itu sedikit bergetar. Bukan karena dingin, melainkan karena badai yang berkecamuk dalam dadanya sejak siang tadi."Aku mencintainya. Dan tidak ada kertas apa pun yang bisa membuktikan atau menghapus perasaan itu."Suara Laksha masih terngiang di telinganya, mengulang-ulang seperti gema yang enggan menghilang. Kata-kata itu nyata. Tidak ada paksaan. Tidak ada kepura-puraan.Dan justru itulah yang membuatnya

    Last Updated : 2025-04-10
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 122: Keputusan yang Mengubah Segalanya

    Suasana di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa berat, seolah setiap helaan napas membawa beban yang tak kasatmata. Senja di luar mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan, cahayanya menembus jendela besar di belakang meja mahoni yang kokoh.Namun, kehangatan cahaya itu tak mampu mencairkan ketegangan yang mengisi udara. Laksha berdiri tegak di tengah ruangan, rahangnya mengeras, bahunya tegang seperti busur yang siap dilepaskan. Sorot matanya tajam, terarah lurus pada sosok pria yang duduk di balik meja kerja yang megah itu—ayahnya. Aditya Wijanarko menautkan jemarinya di atas meja, ekspresinya tetap datar, tetapi setiap garis di wajahnya menyiratkan ketegasan. Pria itu tampak seperti seorang hakim yang akan menjatuhkan vonis. Di sisinya, Indira berdiri diam.Tubuhnya tampak rileks, tetapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kegelisahan yang tak terucap, entah karena keraguan, entah karena ketakutan

    Last Updated : 2025-04-10

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 162: Saat Napas Terhenti di Altar

    Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 161: Malam Terakhir, Janji Pertama

    Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status