Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

Share

Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-04-25 18:36:56

Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.

Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.

Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven.  

Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.

Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan.  

Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

    Last Updated : 2025-04-26
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

    Last Updated : 2025-04-26
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 155: Pengakuan yang Terlambat, Kehampaan yang Tertinggal

    Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te

    Last Updated : 2025-04-27
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 156: Menikah Lagi Tanpa Kebohongan

    Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke

    Last Updated : 2025-04-27
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 157: Bukan Kontrak, Tapi Cinta Nyata

    Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.

    Last Updated : 2025-04-28
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 158: Ketika Pulang Bukan Sekadar Kembali

    Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam

    Last Updated : 2025-04-28
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 159: Sepotong Kisah dalam Kotak Beludru

    Langit sore meredup perlahan, menghamparkan semburat keemasan yang membias di kaca jendela apartemen kecil mereka. Cahaya terakhir matahari berpendar lembut di permukaan lantai kayu, sementara angin tipis menyusup dari celah balkon, mengibarkan tirai putih yang setengah terbuka.Aroma teh melati yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar hujan yang tertinggal di udara, menciptakan kehangatan tersendiri di dalam ruangan yang sunyi.Amara baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di meja makan. Sebuah kotak kecil berbungkus kain beludru biru tergeletak di antara kelopak mawar putih yang berserakan, seolah baru saja ditata dengan penuh ketelitian.Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah mendekat, ujung jemarinya menyentuh permukaan meja yang terasa dingin di bawah cahaya temaram."Lak?" panggilnya, suaranya sedikit serak.Dari arah dapur, Laksha muncul dengan langkah santai. Satu tangan terselip di s

    Last Updated : 2025-04-29
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

    Last Updated : 2025-04-29

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 162: Saat Napas Terhenti di Altar

    Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 161: Malam Terakhir, Janji Pertama

    Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status