Share

Bab 3: Tawaran Gila

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-04 10:10:45

Laksha tersenyum, sebuah senyum yang lebih mengundang tanya daripada memberi jawaban. “Nggak tahu,” ujarnya seraya mengangkat gelasnya, memainkan whiskey di dalamnya sebelum meneguknya sampai habis. “Aku cuma penasaran.”

“Penasaran apa?” Amara mempertahankan nada datarnya, meskipun di dalam hatinya, keingintahuan mulai bertunas.

Laksha meletakkan gelasnya di meja, sedikit mencondongkan tubuh mendekati Amara. “Gimana rasanya jadi seseorang yang nggak bisa aku baca.”

Amara terkekeh sinis. “Gue bukan teka-teki, Laksha.”

“Tapi kamu bikin aku pengen nyari jawabannya,” lanjut Laksha, suaranya rendah, penuh dengan ketulusan yang tidak terduga.

Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah permainan tarik-ulur yang tidak hanya sederhana tapi juga kompleks.

Amara tidak mengatakan apa-apa, menahan kata-kata yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu—pria ini adalah masalah. Masalah besar. Dan dia belum tahu apakah dia punya cukup tenaga untuk menghindarinya, atau lebih parah lagi, apakah dia benar-benar ingin menghindarinya.

---

Ketika pintu klub akhirnya terkunci, Amara melangkah keluar lebih lamban dari biasanya. Malam itu, ia harus memastikan semua botol minuman telah tersusun rapi, meja bar dibersihkan, dan catatan inventaris terisi sempurna.

Angin malam yang sejuk menyambutnya begitu dia melangkah keluar dari pintu belakang. Dia merapatkan jaketnya, membenamkan kedua tangan dalam saku jaket.

Meskipun jalanan sudah tidak terlalu ramai, masih ada kehidupan di sekitarnya, terlihat dari beberapa mobil mewah yang terparkir rapi di seberang jalan.

Di antara kilau lampu dan bayang-bayang, sosok pria tampak bersandar pada kap salah satu mobil mewah, dengan santai menyalakan sebatang rokok. Itu adalah Laksha. Sejenak Amara terhenti, sebuah gelombang tidak nyaman mengalir dalam dadanya.

Instinknya menyuruhnya untuk berlari, menghindar, namun matanya sudah terpaku pada sosok Laksha yang sekarang sedang menatapnya. Seulas senyum tipis menghiasi wajah pria itu, seolah memberikan isyarat tanpa kata.

Amara nyaris berbalik dan meninggalkan tempat itu. Namun, entah mengapa, kakinya seolah memilih untuk diam di tempat.

Hidup di Jakarta memang sudah cukup memeras tenaga, dan dia tidak perlu tambahan masalah berupa pria kaya dengan ego yang mungkin setinggi gedung pencakar langit di sekitarnya.

Namun, ketika Laksha mulai mendekat, dengan tatapan yang tegas seolah tak akan pergi tanpa sebuah jawaban, Amara menyadari bahwa masalah mungkin sudah terlanjur mendatanginya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak yakin apakah ia mampu menolaknya.

Jakarta dini hari, meskipun tampak tenang, tetap saja tak pernah benar-benar sunyi. Lampu-lampu jalan masih setia berpendar, kendaraan masih berlalu lalang, dan aroma alkohol masih terbawa angin malam dari klub yang baru saja ia tutup.

Amara berdiri tegap di depan pintu belakang, memeluk dirinya sendiri di bawah hembusan angin yang menusuk. Dengan napas yang terhela panjang, ia bersiap-siap untuk melangkah menuju halte bus ketika suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang.

"Kamu mau pulang?" Suara itu khas, dalam dan sedikit serak, serta membawa sebuah kepercayaan diri yang mungkin terlalu besar.

Tanpa perlu menoleh, Amara sudah tahu itu Laksha Wijanarko. Pria itu kini bersandar dengan gaya yang begitu santai di kap mobil mewah berwarna hitam, rokok masih terselip di antara jarinya. Asap rokoknya membentuk ornamen putih yang menghilang perlahan di udara dingin.

Amara mengerucutkan bibir, enggan menanggapi. "Enggak, gue mau naik ke atap gedung terus terbang ke bulan."

Laksha terkekeh, membuang puntung rokoknya dan menginjaknya dengan ujung sepatu mahalnya. "Aku bisa kasih tumpangan."

Amara menatapnya sejenak, seolah menimbang-nimbang. "Gue masih punya kaki, kok."

"Dan aku masih punya kursi kosong di mobil," sahut Laksha, senyumnya makin melebar, seakan menggoda.

"Gue nggak naik mobil orang asing."

Laksha tertawa ringan. "Aku bukan orang asing. Kita udah ngobrol tadi di bar."

Amara melipat tangan di dada. "Itu bukan ngobrol. Itu lo yang sok akrab."

Pria itu tampak terpukau, matanya bersinar seolah dia menemukan sebuah keajaiban. "Kalau begitu, aku kasih kamu alasan buat naik mobilmu," kata Laksha, nada suaranya turun, penuh penekanan.

Amara menghela napas, mulai lelah dengan permainan ini. "Apa lagi sekarang?"

Laksha memasukkan tangan ke dalam saku celananya, tampak santai namun ada keseriusan dalam matanya. "Gimana kalau aku tawarin sesuatu yang lebih menarik dari sekadar tumpangan?"

Mata Amara menyempit. "Gue nggak butuh kerjaan baru. Kalau lo mau tawarin jadi simpanan, cari orang lain."

Tawa Laksha pecah, retak di udara dingin. "Kamu pikir aku ngajak kamu tidur bareng?" katanya sambil tertawa. "Nggak. Aku mau ngajak kamu menikah."

Amara membeku di tempat, seolah udara dingin tiba-tiba saja menjadi beku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status