Amara melangkah perlahan menyusuri koridor panjang rumah keluarga Wijanarko, setiap jejak tumitnya menekan marmer dingin yang mengilap.
Udara malam menyelinap masuk dari jendela-jendela tinggi, membawa kesegaran yang seharusnya menenangkan, tapi tak cukup meredakan ketegangan yang menggumpal di dadanya.
Makan malam tadi terasa seperti duduk di atas ranjau darat. Setiap gerakan, setiap kata, seolah ditimbang dan diawasi dengan saksama. Aditya Wijanarko jelas meragukannya, sementara Lidya tampak menikmati situasi itu dengan tatapan penuh arti.
Dan Laksha… pria itu hanya duduk diam, tidak berusaha membelanya, tidak mengulurkan tangan untuk meredakan tekanan yang Amara rasakan.
Amara mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya, berusaha menekan ketidaknyamanan yang merayap di benaknya. Ia tahu sejak awal bahwa menjadi bagian dari keluarga ini tidak akan mudah.
Namun, ia tidak mengira bebannya akan seberat ini—terasa di setiap lirikan penuh peni
Amara menatap pantulan dirinya di cermin kamar, jemarinya meremas ujung gaun satin yang membalut tubuhnya dengan anggun. Malam ini, keluarga Wijanarko mengadakan acara makan malam eksklusif bersama beberapa rekan bisnis penting, dan ia—sebagai istri Laksha—harus hadir.Setidaknya, itu yang tertulis dalam kontrak mereka.Tapi sejak percakapannya dengan Indira semalam, ada sesuatu yang berubah. Cara ia memandang semua ini tak lagi sama. Selama ini, ia menganggap dirinya satu-satunya pihak yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta ini. Namun kini, perlahan, sebuah kenyataan lain merayapi pikirannya.Bahwa Laksha juga terperangkap.Di balik sikapnya yang dingin, arogan, dan tak tergoyahkan, ada beban yang selama ini ia tanggung seorang diri. Beban yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya."Sudah siap?"Suara itu membuat Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu, m
Amara menatap gelas anggur di tangannya, memperhatikan bagaimana cahaya lampu kristal di atas meja memantulkan warna merah pekat ke permukaan kaca.Di sekelilingnya, suara percakapan bercampur dengan dentingan perak dan porselen, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang bertolak belakang dengan dinginnya pikirannya.Lidya.Wanita itu memainkan permainannya dengan sempurna. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada provokasi terang-terangan—hanya sindiran halus yang terselip dalam percakapan, seakan ia hanya berbicara santai tanpa maksud apa pun.Tapi Amara tahu lebih baik. Lidya ingin menunjukkan bahwa dirinya masih ada, bahwa kehadirannya bukan sekadar bayang-bayang masa lalu. Seolah-olah Amara hanyalah gangguan kecil yang bisa diabaikan.Dan yang lebih mengganggu—Laksha membiarkannya terjadi.Duduk di sampingnya, pria itu tampak santai, seakan tidak menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Ia berbicara dengan
Rumah keluarga Wijanarko terasa lebih seperti monumen daripada tempat tinggal. Dinding-dindingnya tinggi, lorong-lorongnya luas dan dingin, setiap langkah bergema di keheningan, menciptakan ilusi seolah-olah bangunan ini bernafas dalam keasingan.Di malam hari, kesunyian itu semakin mencekam, menekan Amara dari segala sisi, membuatnya merasa seperti seorang penyusup di dunia yang bukan miliknya. Setelah perdebatan singkat dengan Laksha di balkon, dadanya masih terasa sesak. Ia tidak ingin kembali ke kamarnya terlalu cepat, tidak ingin mengurung dirinya dalam ruang yang semakin menyempitkan pikirannya.Maka, ia membiarkan langkah-langkahnya mengembara, menelusuri lorong-lorong panjang yang diterangi cahaya temaram dari lampu-lampu gantung. Udara malam yang menyusup dari celah jendela besar menambah kesan hampa yang menggantung di udara. Sampai akhirnya, ia berhenti di depan sebuah pintu. Kayu mahoni gelap membingkai pintu itu, t
"Laksha…" Suara Amara lebih lembut kali ini, hampir seperti bisikan yang enggan mengusik.Laksha mengusap wajahnya, jari-jarinya bergerak perlahan, seolah mencoba menghapus sesuatu yang tak kasatmata—bayangan kenangan yang baru saja menyelinap kembali. Matanya menerawang ke kejauhan, tapi Amara tahu, bukan ruangan ini yang ia lihat."Radit lebih muda dariku delapan tahun," suaranya datar, tapi ada sesuatu di sana—keletihan, mungkin juga penyesalan. "Dia… berbeda dariku. Lebih ceria, lebih banyak bicara. Dia anak yang mudah disayangi siapa saja."Amara tetap diam, membiarkan kata-kata itu mengalir dengan ritme yang Laksha tentukan sendiri."Suatu hari, kami seharusnya pergi liburan keluarga ke luar negeri. Tapi aku… aku sedang kesal dengan Ayah, jadi aku menolak ikut." Ia tertawa kecil, hambar, tanpa kebahagiaan. "Aku bahkan bilang Radit juga tidak usah ikut, karena itu hanya perjalanan membosankan."Sekilas, sorot m
Hujan baru saja reda, menyisakan jejak aroma tanah basah yang samar-samar merayap di udara. Butiran air masih menggelayut di ujung dedaunan, berkilauan dalam cahaya senja yang tertahan di balik gumpalan awan kelabu.Udara terasa sejuk, tetapi kesunyian yang menggantung di dalam rumah justru membawa hawa yang berbeda—hampa.Amara menghela napas pelan, jemarinya sibuk merapikan meja makan yang bahkan sejak tadi tetap rapi. Rumah ini terlalu luas untuk hanya dirinya seorang. Sejak pagi, Laksha tenggelam dalam pekerjaannya—seperti biasa.Dan kini, yang terdengar hanyalah dengung samar dari jarum jam yang terus berdetak, mengingatkannya betapa lambat waktu berlalu.Ting-tong.Suara bel pintu memecah keheningan. Amara mengernyit, keningnya berlipat dalam kebingungan. Tidak ada yang pernah datang ke rumah ini tanpa pemberitahuan. Dengan sedikit ragu, ia mengelap tangannya pada celemek, lalu berjalan menuju pintu.Jantungnya berdetak sed
Hujan masih turun di luar, merayapi trotoar dan aspal dengan jejak gemerlap dari lampu-lampu kota. Jalanan yang basah memantulkan warna-warna kendaraan yang berlalu, menciptakan bias cahaya di jendela kaca besar kafe.Seolah dunia di luar bukan lagi sekadar kenyataan, melainkan lukisan abstrak yang hidup—terus bergerak, berubah, tanpa bisa ditebak arahnya. Di dalam, suasana terasa hangat, nyaris melindungi dari dinginnya malam yang merayap lewat celah pintu. Aroma kopi yang kaya bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven, mengisi udara dengan keakraban yang sulit dijelaskan.Percakapan para pengunjung terdengar samar, menjadi latar musik yang mengiringi pertemuan dua orang yang telah lama terpisah oleh waktu. Amara membiarkan jemarinya melingkari cangkir porselen, merasakan kehangatannya meresap perlahan ke kulit. Ia mengangkat sedikit bahu, menyandarkan punggung ke kursi, tetapi tatapannya tetap terarah pada pria
Hujan telah lama reda, tapi jejaknya masih tersisa di udara malam yang dingin. Butiran lembap menempel di kaca jendela mobil, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Jalanan basah berkilauan di bawah sinar kuning samar, menciptakan bayangan-bayangan yang seolah bergerak mengikuti laju kendaraan. Sepanjang perjalanan, Laksha tidak mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya, diamnya membawa dominasi, sebuah keheningan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Bukan sekadar sikap acuh, melainkan sesuatu yang lebih berat—sesuatu yang bersembunyi di balik garis rahangnya yang mengeras dan genggaman tangannya yang terlalu erat pada setir. Amara meliriknya sekilas. Wajah pria itu diterangi lampu jalan yang bergantian menyapu kabin, menciptakan kontras tajam di garis ekspresinya. Tatapannya lurus ke depan, tapi ada ketegangan yang terselip di sana. Ia sedang berpikir, atau lebih tepatnya, bergulat dengan pikiran
Kilauan lampu kristal memantul lembut di dinding marmer ballroom, menciptakan semburat keemasan yang berpendar seperti bintang-bintang kecil. Udara dipenuhi dengan denting gelas sampanye, gumaman percakapan yang diselingi tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir dari sudut ruangan.Wangi parfum mewah bercampur dengan aroma sampanye dan lilin aroma, menciptakan atmosfer yang begitu khas—hangat, eksklusif, dan penuh rahasia.Di tengah ruangan yang dipenuhi tamu-tamu berselera tinggi, Amara berdiri dalam balutan gaun satin berwarna gading. Kainnya membelai kulitnya dengan lembut, mengikuti lekuk tubuhnya dengan presisi nyaris sempurna.Gaun itu bukan pilihannya. Laksha yang menyuruh asistennya memilihkan. Namun, saat ia melihat pantulan dirinya di cermin sebelum keluar dari suite hotel tadi, ia tidak bisa mengabaikan satu hal—gaun itu terasa seperti dibuat untuknya.Seolah-olah Laksha tahu persis apa yang akan terlihat indah di tubuhnya
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis
Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa
Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta
Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli
Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak
Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai
Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera
Langit sore meredup perlahan, menghamparkan semburat keemasan yang membias di kaca jendela apartemen kecil mereka. Cahaya terakhir matahari berpendar lembut di permukaan lantai kayu, sementara angin tipis menyusup dari celah balkon, mengibarkan tirai putih yang setengah terbuka.Aroma teh melati yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar hujan yang tertinggal di udara, menciptakan kehangatan tersendiri di dalam ruangan yang sunyi.Amara baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di meja makan. Sebuah kotak kecil berbungkus kain beludru biru tergeletak di antara kelopak mawar putih yang berserakan, seolah baru saja ditata dengan penuh ketelitian.Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah mendekat, ujung jemarinya menyentuh permukaan meja yang terasa dingin di bawah cahaya temaram."Lak?" panggilnya, suaranya sedikit serak.Dari arah dapur, Laksha muncul dengan langkah santai. Satu tangan terselip di s
Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam