Beranda / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 43: Tamu yang Tidak Diundang

Share

Bab 43: Tamu yang Tidak Diundang

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-02 10:27:18

Hujan baru saja reda, menyisakan jejak aroma tanah basah yang samar-samar merayap di udara. Butiran air masih menggelayut di ujung dedaunan, berkilauan dalam cahaya senja yang tertahan di balik gumpalan awan kelabu.

Udara terasa sejuk, tetapi kesunyian yang menggantung di dalam rumah justru membawa hawa yang berbeda—hampa.

Amara menghela napas pelan, jemarinya sibuk merapikan meja makan yang bahkan sejak tadi tetap rapi. Rumah ini terlalu luas untuk hanya dirinya seorang. Sejak pagi, Laksha tenggelam dalam pekerjaannya—seperti biasa.

Dan kini, yang terdengar hanyalah dengung samar dari jarum jam yang terus berdetak, mengingatkannya betapa lambat waktu berlalu.

Ting-tong.

Suara bel pintu memecah keheningan. Amara mengernyit, keningnya berlipat dalam kebingungan. Tidak ada yang pernah datang ke rumah ini tanpa pemberitahuan. Dengan sedikit ragu, ia mengelap tangannya pada celemek, lalu berjalan menuju pintu.

Jantungnya berdetak sed

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 44: Bayangan Masa Lalu

    Hujan masih turun di luar, merayapi trotoar dan aspal dengan jejak gemerlap dari lampu-lampu kota. Jalanan yang basah memantulkan warna-warna kendaraan yang berlalu, menciptakan bias cahaya di jendela kaca besar kafe.Seolah dunia di luar bukan lagi sekadar kenyataan, melainkan lukisan abstrak yang hidup—terus bergerak, berubah, tanpa bisa ditebak arahnya. Di dalam, suasana terasa hangat, nyaris melindungi dari dinginnya malam yang merayap lewat celah pintu. Aroma kopi yang kaya bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven, mengisi udara dengan keakraban yang sulit dijelaskan.Percakapan para pengunjung terdengar samar, menjadi latar musik yang mengiringi pertemuan dua orang yang telah lama terpisah oleh waktu. Amara membiarkan jemarinya melingkari cangkir porselen, merasakan kehangatannya meresap perlahan ke kulit. Ia mengangkat sedikit bahu, menyandarkan punggung ke kursi, tetapi tatapannya tetap terarah pada pria

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 45: Dinding yang Retak

    Hujan telah lama reda, tapi jejaknya masih tersisa di udara malam yang dingin. Butiran lembap menempel di kaca jendela mobil, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Jalanan basah berkilauan di bawah sinar kuning samar, menciptakan bayangan-bayangan yang seolah bergerak mengikuti laju kendaraan. Sepanjang perjalanan, Laksha tidak mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya, diamnya membawa dominasi, sebuah keheningan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Bukan sekadar sikap acuh, melainkan sesuatu yang lebih berat—sesuatu yang bersembunyi di balik garis rahangnya yang mengeras dan genggaman tangannya yang terlalu erat pada setir. Amara meliriknya sekilas. Wajah pria itu diterangi lampu jalan yang bergantian menyapu kabin, menciptakan kontras tajam di garis ekspresinya. Tatapannya lurus ke depan, tapi ada ketegangan yang terselip di sana. Ia sedang berpikir, atau lebih tepatnya, bergulat dengan pikiran

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 46: Panggung Sandiwara

    Kilauan lampu kristal memantul lembut di dinding marmer ballroom, menciptakan semburat keemasan yang berpendar seperti bintang-bintang kecil. Udara dipenuhi dengan denting gelas sampanye, gumaman percakapan yang diselingi tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir dari sudut ruangan.Wangi parfum mewah bercampur dengan aroma sampanye dan lilin aroma, menciptakan atmosfer yang begitu khas—hangat, eksklusif, dan penuh rahasia.Di tengah ruangan yang dipenuhi tamu-tamu berselera tinggi, Amara berdiri dalam balutan gaun satin berwarna gading. Kainnya membelai kulitnya dengan lembut, mengikuti lekuk tubuhnya dengan presisi nyaris sempurna.Gaun itu bukan pilihannya. Laksha yang menyuruh asistennya memilihkan. Namun, saat ia melihat pantulan dirinya di cermin sebelum keluar dari suite hotel tadi, ia tidak bisa mengabaikan satu hal—gaun itu terasa seperti dibuat untuknya.Seolah-olah Laksha tahu persis apa yang akan terlihat indah di tubuhnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 47: Cemburu Tanpa Sebab

    Dentuman lembut musik klasik mengalun di antara percakapan-percakapan tertahan, menciptakan simfoni elegan di dalam ballroom yang masih dipenuhi tamu-tamu berkelas.Kilauan lampu kristal di langit-langit memantulkan sinar keemasan ke permukaan meja-meja marmer dan lantai dansa yang berkilap, seakan menegaskan kemewahan malam itu.Gelas-gelas kristal berdenting pelan setiap kali tamu-tamu saling menyapa, senyum mereka tersusun rapi di balik topeng tata krama yang nyaris sempurna.Di sudut ruangan, Amara menggenggam gelas sampanye yang sejak tadi nyaris tak tersentuh. Cairan keemasan di dalamnya bergetar tipis, seolah menangkap kegelisahan yang ia coba redam. Jemarinya mengerat di batang gelas, sejenak mempertahankan genggaman sebelum akhirnya mengendur lagi.Matanya terpaku pada satu titik di seberang ruangan—pada sosok Laksha dan Lidya.Lidya berdiri terlalu dekat. Jemari lentiknya meluncur ringan di lengan jas Laksha, gerakannya penuh keluwe

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 48: Kecemburuan Amara

    Apakah Amara… cemburu? Seharusnya itu tidak berarti apa-apa. Seharusnya itu bukan sesuatu yang perlu ia pikirkan. Tapi anehnya, ia menyukainya. Ia menyukai cara sorot mata Amara berkilat sesaat sebelum buru-buru ia sembunyikan di balik ekspresi datarnya. Ia menyukai bagaimana jemari perempuan itu sedikit lebih erat menggenggam gelasnya, seakan mencari pegangan yang lebih kokoh dari sekadar kaca dingin di tangannya.Dan yang paling penting, ia menyukai fakta bahwa untuk pertama kalinya, Amara menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar topeng tanpa cela. "Maaf, Lidya," ucap Laksha tiba-tiba, menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi. Lidya mengerutkan kening. "Apa?" Alih-alih menjawab, Laksha hanya mengangkat bahu, senyum tipisnya menggantung di bibir tanpa menjelaskan apa pun. "Aku harus menemui istriku." Sejenak, Lidya tampak terkejut, tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 49: Sebuah Pengakuan Kecil

    Suara rintik hujan mengetuk pelan jendela kaca apartemen Laksha, menciptakan irama samar yang berpadu dengan desahan napas Amara. Aroma tanah basah menyeruak dari sela-sela ventilasi, bercampur dengan sisa wangi teh yang mendingin di meja.Jam di dinding sudah melewati tengah malam, namun matanya masih enggan terpejam.Di sisi lain ruangan, Laksha duduk di sofa, kemeja lengan panjangnya tergulung asal hingga ke siku. Satu tangan menopang dahinya, sementara jemarinya yang lain menggulir layar ponselnya tanpa benar-benar memperhatikan isinya.Cahaya dari layar itu memantul di wajahnya yang tampak lelah, kontras dengan bayangan yang jatuh di sekitar matanya.Hening.Udara di antara mereka terasa tegang, tapi bukan karena pertengkaran. Ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang lebih berat dari sekadar kata-kata yang tak terucap."Apa kita harus terus seperti ini?"Suara Amara pecah dalam kesunyian, lirih namun cukup

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 50: Benang Merah yang Tersimpul

    Hujan telah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menguar pelan dari balkon. Udara malam membawa kesejukan yang lembap, bercampur samar dengan sisa-sisa hujan yang masih menetes dari atap gedung-gedung tinggi.Kota Jakarta, seperti biasa, tak benar-benar tidur—lampu-lampu dari kejauhan masih berkedip, suara kendaraan sesekali terdengar di bawah sana. Namun di dalam apartemen itu, ruang terasa lebih sunyi dari yang seharusnya.Lebih kecil, lebih pengap, seolah menahan dua orang di dalamnya untuk menghadapi sesuatu yang tak terucapkan.Amara duduk di tepi ranjang, jari-jarinya mencengkeram ujung selimut tanpa sadar. Kata-kata Laksha masih menggantung di udara, berputar-putar dalam benaknya seperti pusaran air yang tak kunjung reda."Takut kalau aku mulai terbiasa denganmu."Ia mengangkat wajah, menoleh ke arah Laksha yang kini duduk di sofa, separuh tubuhnya terselubung bayangan. Cahaya dari luar hanya menyinari sebagian profilnya&md

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 51: Pijar di Tengah Malam

    Hujan masih turun, membasuh kota dengan gemerlap butirannya yang jatuh di atas jalanan basah. Cahaya lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan kilauan samar yang bergoyang bersama riak kecil setiap kali tetesan baru jatuh.Angin sesekali berdesir, merayap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai tipis di apartemen bergoyang perlahan. Bayang-bayangnya menari di dinding, seolah mengikuti irama hujan yang tak kunjung reda.Di atas ranjang, Amara meringkuk di balik selimut tebal. Tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam gravitasi yang lebih kuat dari biasanya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, sementara panas di dalam tubuhnya terus membakar.Kepalanya berdenyut hebat, denyutan yang berirama dengan detak jantung yang terasa lambat dan melelahkan. Tenggorokannya kering, seperti padang pasir yang sudah lama tak tersentuh hujan. Setiap tarikan napas seperti menyedot udara yang terlalu pekat, penuh dengan beban yang tak kasatmata

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 168: Mengulang Pernikahan, Memilih Selamanya

    Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 167: Tanpa Kontrak, Tanpa Keraguan

    Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 166: Rumah yang Tak Pernah Ditinggalkan

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 165: Sekolah Kecil, Harapan yang Menyala

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 164: Melarikan Diri Tanpa Harus Berlari

    Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 163: Restoran Kecil, Bahagia yang Besar

    Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 162: Saat Napas Terhenti di Altar

    Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 161: Malam Terakhir, Janji Pertama

    Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status