Hujan masih turun, membasuh kota dengan gemerlap butirannya yang jatuh di atas jalanan basah. Cahaya lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan kilauan samar yang bergoyang bersama riak kecil setiap kali tetesan baru jatuh.
Angin sesekali berdesir, merayap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai tipis di apartemen bergoyang perlahan. Bayang-bayangnya menari di dinding, seolah mengikuti irama hujan yang tak kunjung reda.
Di atas ranjang, Amara meringkuk di balik selimut tebal. Tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam gravitasi yang lebih kuat dari biasanya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, sementara panas di dalam tubuhnya terus membakar.
Kepalanya berdenyut hebat, denyutan yang berirama dengan detak jantung yang terasa lambat dan melelahkan. Tenggorokannya kering, seperti padang pasir yang sudah lama tak tersentuh hujan. Setiap tarikan napas seperti menyedot udara yang terlalu pekat, penuh dengan beban yang tak kasatmata
Matahari merayap masuk melalui celah tirai, menghamparkan semburat keemasan di dinding kamar. Cahaya pagi menari di atas tetesan air yang masih melekat di kaca jendela, sisa-sisa hujan semalam yang kini membiaskan dunia luar dalam nuansa samar.Aroma tanah basah yang menguar dari halaman bercampur dengan kehangatan selimut yang membungkus tubuh Amara, membuatnya enggan beranjak. Di atas ranjang, ia menggeliat pelan. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding semalam, meski sisa demam masih bersembunyi di balik kulitnya, meninggalkan sensasi hangat yang membaur dengan hawa pagi.Matanya masih berat, namun saat akhirnya ia membuka kelopaknya sepenuhnya, pandangannya langsung jatuh pada sosok Laksha. Laki-laki itu duduk di sofa di sudut ruangan, satu kaki disilangkan di atas lutut, tangan kiri menopang dagu, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel yang tampaknya hanya sekadar dipegang, tanpa benar-benar diperhatikan.Matanya fokus pada l
Hari itu berjalan lambat, seolah waktu dengan sengaja memperpanjang setiap detiknya. Amara masih merasakan sisa-sisa kelelahan di tubuhnya, tapi setidaknya kini ia bisa duduk tanpa merasa kepalanya berputar.Cahaya sore yang keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menggambar bayangan lembut di dinding kamar. Udara di sekitarnya terasa tenang, mengandung sisa hangat matahari yang mulai meredup, berpadu dengan semilir angin yang masuk dari balkon. Laksha berdiri di luar, membiarkan angin senja menggulung rambutnya dengan lembut. Dari tempatnya bersandar, Amara memperhatikannya—punggung tegapnya, cara kedua tangannya disimpan dalam saku celana, serta bahunya yang sedikit mengendur, jauh lebih rileks daripada biasanya.Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengarah ke cakrawala kota—sesuatu yang terasa diam, jauh, dan sulit dijangkau. Amara tidak tahu pasti apa yang membuatnya begitu terpaku. Mungkin karena ini
Udara sore terasa segar setelah hujan yang mengguyur sejak siang akhirnya reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar tercium di antara embusan angin.Langit masih berwarna kelabu, tapi sinar matahari mulai menyelinap dari balik awan, menciptakan semburat keemasan yang membias di kaca-kaca gedung pencakar langit Jakarta. Dari balkon rumah, Amara memandangi jalanan yang masih basah.Kilauan air di aspal memantulkan cahaya lampu kendaraan yang mulai menyala, menciptakan refleksi berpendar yang tampak hidup dalam gerimis tipis yang tersisa. Ia menarik napas dalam, tapi udara yang masuk ke paru-parunya terasa lebih berat dari seharusnya. Ada sesuatu di dadanya yang terus menekan, seperti simpul yang tak kunjung terurai. Lalu, suara itu datang. "Amara." Lembut, akrab, dan begitu familiar hingga jantungnya seolah berhenti sejenak sebelum berdebar lebih kencang. Amara menoleh, dan di sana, berdiri seorang
Langit Jakarta menjingga, meredup perlahan saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Sisa hujan tipis yang turun sore tadi meninggalkan jejak samar di trotoar, memantulkan cahaya lampu kota yang mulai menyala satu per satu.Aroma khas kota menyusup ke dalam indera—perpaduan antara tanah basah, asap kendaraan, dan samar-samar wangi kopi dari kedai di seberang jalan. Amara melangkah keluar dari butik dengan langkah ringan namun pikirannya terasa berat. Di tangannya tergantung sebuah tas belanja berwarna gelap dengan logo butik terukir timbul di permukaannya, terasa halus di bawah sentuhan jemarinya yang ramping.Di dalamnya, tersimpan sehelai gaun satin merah marun—pilihan Indira. Gaun yang harus ia kenakan malam ini. Gaun yang menegaskan peran yang harus ia jalani di samping Laksha Wijanarko. "Nyonya Laksha Wijanarko." Bisikan itu lolos dari bibirnya tanpa ia sadari, begitu lirih hingga hampir tak
Lantai marmer ballroom hotel berkilau di bawah pancaran lampu kristal, memantulkan cahaya keemasan yang menari di permukaannya. Siluet para tamu berbalut gaun sutra dan jas elegan bergerak dalam ritme lambat, sementara gelas-gelas sampanye beradu dalam dentingan halus.Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi manis hidangan yang tersaji di meja prasmanan, menciptakan atmosfer mewah yang nyaris tak tersentuh realitas di luar sana. Di dekat meja prasmanan, Amara berdiri dengan satu tangan menggenggam batang gelas wine yang bahkan belum ia cicipi. Jemarinya yang ramping mencengkeram kaca dengan sedikit lebih kuat dari seharusnya, seolah gelas itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini.Gaun merah marun yang dipilihkan Indira membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekukannya tanpa cela. Kainnya jatuh anggun hingga menyapu lantai, sementara potongan terbuka di pundak memperlihatkan kulitnya yang lembut diterpa cahaya keemasan ruangan.
Udara malam masih menyisakan jejak hujan, menguarkan aroma tanah basah yang bercampur dengan aspal dingin Jakarta. Dari balkon kamar hotel yang luas, Amara menatap hamparan lampu kota yang berkedip-kedip, seperti bintang yang tersesat dan jatuh di antara gedung-gedung kaca yang menjulang. Ia berdiri di sana, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi yang dinginnya menembus kulit. Angin lembut menyelinap di antara helaian rambutnya, membiarkannya menari sesuka hati.Udara malam seolah membungkus tubuhnya dalam keheningan yang semu, tetapi di dadanya, ada sesuatu yang terus berputar, bergejolak seperti ombak yang tak menemukan tepian. Bukan kemarahan, bukan pula kesedihan.Lebih rumit dari itu—lebih halus, lebih sulit digenggam. Dari dalam kamar, terdengar langkah kaki. Mantap, tetapi tak terburu-buru. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. "Kau menghilang tanpa bilang apa-apa." Suara Laksha terdengar leb
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai jendela, menebarkan cahaya keemasan di atas meja makan. Aroma kopi yang mulai dingin bercampur dengan semilir udara pagi, namun bagi Amara, kehangatan itu tak ada artinya.Jari-jarinya membungkus cangkir keramik dengan erat, tapi pikirannya melayang jauh, tidak benar-benar berada di dalam ruangan ini.Di hadapannya, lembaran koran terbuka lebar, menampilkan headline bisnis yang seharusnya menarik perhatiannya—tentang ekspansi terbaru Wijanarko Group. Namun, bukan kata-kata yang mencuri perhatiannya. Matanya justru terpaku pada foto yang menyertainya.Sebuah potret Laksha dan Lidya.Laksha tampak seperti biasa—setelan jas hitam yang rapi membingkai tubuhnya dengan sempurna, ekspresi percaya diri yang selalu ia kenakan seperti baju zirah. Tapi yang lebih mengusik Amara adalah sosok di sampingnya.Lidya. Gaun putih elegan membalut tubuh perempuan itu, senyumnya terlalu manis, terlalu
Laksha duduk di tepi ranjang, bahunya sedikit merosot, punggung membungkuk dalam diam. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, sementara jemarinya saling bertaut, mencengkeram seolah ingin menahan sesuatu—sesuatu yang perlahan tumbuh, mendesak keluar dari dalam dadanya.Di luar, langit Jakarta sudah gelap, tapi kota tak pernah benar-benar tidur. Sorot lampu-lampu gedung masih bersinar, pantulannya membias di kaca jendela, berpendar seperti kilatan ingatan yang tak mau padam.Samar-samar, deru kendaraan terdengar, sesekali bercampur dengan suara klakson yang pecah di antara desir angin malam yang menyelinap masuk melalui celah balkon.Tapi semua itu terasa jauh. Samar. Seperti suara yang ditenggelamkan oleh badai yang berputar-putar dalam kepalanya.Di layar ponselnya, sebuah foto masih terbuka.Amara dan Reza.Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe. Tertawa. Dengan cara yang terlalu akrab, terlalu nyaman—seakan dunia di sekitar mereka
Senja merangkak pelan di cakrawala, menorehkan warna keemasan di langit yang mulai meredup. Cahaya temaramnya memantul lembut di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilauan berpendar seolah taburan permata.Angin sore berembus, menyelusup di antara dedaunan, mengayunkan tirai putih tipis yang tergantung di altar sederhana di tengah taman.Aroma mawar dan melati menguar di udara, membaur dengan gelak tawa pelan para tamu yang mulai berkumpul, membentuk harmoni yang hangat di bawah langit yang perlahan berganti rupa. Di tengah semua itu, Laksha berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Namun bukan hanya pakaiannya yang berubah. Mata yang dulu menyiratkan keangkuhan kini lebih tenang, lebih dalam.Rahangnya tegas, namun bibirnya sedikit melunak—pertanda bahwa hari ini, ia berdiri di sini bukan sebagai pria yang pernah memandang pernikahan sebagai sekadar transaksi, bukan sebagai seseo
Malam di Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Udara membawa aroma khas aspal yang masih menyimpan sisa-sisa panas siang hari, bercampur dengan wangi samar teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja kecil.Di atas atap restoran mungil mereka, Laksha dan Amara duduk berdampingan di kursi kayu yang mulai lapuk, kaki mereka menggantung di tepi balkon.Dari sini, mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang seolah menari di kejauhan, menciptakan siluet gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam di bawah langit malam.Amara menatap langit yang bertabur bintang, matanya berpendar lembut, seolah mencari sesuatu di antara gugusan cahaya. Angin malam berembus pelan, menyibak beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan.Laksha, yang sedari tadi diam, membiarkan pandangannya jatuh pada wajah istrinya. Ada kedamaian di sana, sesuatu yang dulu terasa begitu jauh, begitu sulit dijangkau."Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, suaran
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela restoran kecil mereka, menciptakan semburat keemasan yang menari di atas meja kayu. Udara dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh, bercampur dengan wangi roti hangat yang baru keluar dari oven.Pintu kaca restoran sedikit berembun oleh perbedaan suhu pagi, sementara di luar, jalanan kota kecil itu mulai berdenyut perlahan—langkah-langkah orang berlalu-lalang, suara klakson sayup terdengar di kejauhan, dan angin pagi membawa kesejukan yang lembut. Di belakang meja kasir, Amara berdiri dengan sikap santai, jemarinya lincah mencatat pesanan di buku kecil.Sesekali, ia tersenyum mendengar suara tawa pelanggan yang memenuhi ruangan—beberapa pelanggan tetap mereka yang sudah akrab, berbincang hangat dengan sesama pengunjung atau sekadar menikmati sarapan dalam ketenangan. Langkah kaki mendekat. Dari sudut matanya, Amara melihat Laksha berjalan ke arahnya, dua cangkir kopi di tangannya. Uap tipis
Pagi di Jakarta selalu sibuk, hiruk-pikuknya seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Namun, di sudut kecil kota ini, di dalam sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi rak-rak kayu tua dan suara tawa anak-anak, waktu seolah melambat.Di sini, dunia tak lagi berlari terlalu cepat—ia bergerak dengan lembut, seirama dengan halaman-halaman buku yang dibuka dengan penuh rasa ingin tahu.Amara berdiri di tengah ruangan, dikelilingi anak-anak yang duduk melingkar di atas karpet warna-warni yang sudah mulai lusuh, tetapi tetap terasa hangat. Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun menggenggam sebuah buku cerita dengan jemari kecilnya yang sedikit bergetar.Matanya yang bulat dan penuh harapan menyapu halaman, berusaha mengeja kata demi kata dengan bibir mungilnya."K… ka… ka-rak… karak-ter?" suara Dito terdengar ragu, nada suaranya naik di akhir seolah-olah bertanya. Ia melirik ke arah Amara, mencari kepa
Angin laut berembus lembut, membawa serta aroma asin yang berpadu dengan wangi kelapa dari pepohonan yang berjajar di sepanjang pantai. Ombak berkejaran menuju bibir pasir putih, menciptakan irama alami yang menenangkan, seolah membisikkan rahasia-rahasia lautan.Langit terbakar jingga keemasan, sementara matahari sore tergantung rendah di cakrawala, memulas segala sesuatu dengan semburat hangat yang nyaris temaram. Di beranda sebuah vila kayu yang menghadap langsung ke laut, Amara duduk bersandar di kursi rotan. Kakinya yang telanjang terjulur santai ke pagar kayu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan sisa-sisa panas matahari yang masih tersimpan di permukaannya.Di tangannya, gelas es kelapa berembun, tetesan kecil air mengalir malas di permukaannya sebelum jatuh ke pahanya yang terpapar sinar matahari. Ia menyeruput pelan, merasakan kesegaran air kelapa menyusup ke tenggorokannya, kontras dengan udara hangat yang membungkus tubuhnya. Ta
Sinar matahari pagi menyelinap lembut melalui tirai putih yang sedikit berkibar di tiup angin, menciptakan semburat keemasan di dalam apartemen mungil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh melayang di udara, berpadu dengan wangi roti panggang yang terlalu lama bersentuhan dengan pemanggang.Di tengah dapur kecil yang selalu terasa hangat, Amara berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatap roti di tangannya dengan dahi berkerut. Pinggirannya lebih gelap dari yang seharusnya, hampir seperti garis batas tipis antara renyah dan hangus.Ia menghela napas, lalu mengangkat roti itu ke depan wajahnya, meneliti seolah bisa memperbaikinya hanya dengan tatapan."Kenapa setiap kali kamu bikin roti panggang, ujungnya pasti gosong?"Suara serak yang akrab itu membuat Amara menoleh. Laksha muncul dari balik pintu, rambutnya masih berantakan akibat tidur, kaus putihnya sedikit kusut, dan celana pendek yang dipakainya memperlihatkan betis yang masih berbekas garis seli
Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak
Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai
Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera