LOGINKeira duduk di ruang kerjanya yang sepi. Lampu meja menyinari setumpuk laporan keuangan, tapi matanya tak benar-benar membaca angka-angka itu. Sejak pagi, pikirannya kacau. Nero meninggalkan rumah tanpa banyak bicara, sementara kata-katanya semalam masih menusuk seperti duri.
Ia mengusap wajah lelahnya, mencoba fokus. Namun suara pintu diketuk pelan membuatnya mendongak.
“Masuk,” katanya.
Shena muncul dengan senyum hangat yang biasa, membawa nampan kecil berisi teh jahe kesukaan Keira. “Kamu kelihatan pucat. Minum ini dulu, biar agak tenang.”
Keira menatap sahabatnya itu. Ada rasa lega melihat wajah familiar, tapi entah kenapa, kali ini ia tidak bisa sepenuhnya merasa nyaman. Ia menerima gelas itu, menyesap sedikit, lalu bertanya, “Shen… kamu percaya sama Nero?”
Shena sedikit terkejut, namun cepat menutupi ekspresinya dengan senyum tipis. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”
Keira menunduk. “Aku hanya… bingung. Semakin banyak yang aku tahu, semakin sulit membedakan siapa kawan, siapa lawan. Bahkan pada suamiku sendiri.”
Shena mendekat, meletakkan tangannya di bahu Keira. “Kamu masih punya aku. Apa pun yang terjadi, aku di pihakmu.”
Beberapa hari berlalu, namun perasaan aneh itu tak juga hilang. Justru semakin hari, kecurigaan Keira tumbuh diam-diam seperti duri di bawah kulit.
Semuanya bermula dari sebuah laporan yang bocor ke media. Dokumen rapat internal seharusnya hanya diketahui segelintir orang muncul di berita pagi. Skandal itu langsung mengguncang saham keluarga Valen.Keira menelusuri daftar nama yang punya akses. Hanya beberapa orang, dan semuanya bisa dipercaya… kecuali satu.
Shena.Hatinya berontak menolak. Tidak mungkin Shena. Itu sahabatnya sejak SMA, orang yang selalu ada di setiap jatuhnya. Tapi logika dingin dalam dirinya tak bisa lagi menutup mata. Semua jejak mengarah ke sana.
***
Malam itu, Keira mengikuti Shena diam-diam setelah jam kerja. Jantungnya berdetak keras, tapi langkahnya tetap teratur. Ia bersembunyi di antara deretan mobil parkir bawah gedung, menatap sosok Shena yang berjalan tergesa.
Sebuah mobil hitam berhenti di dekat pintu keluar. Shena masuk tanpa ragu. Dari celah bayangan, Keira melihatnya berbicara dengan seseorang di dalam mobil. Wajah lelaki itu tak terlihat jelas, hanya gerak tangan yang cepat, seolah mereka sedang bertukar sesuatu.
Lembaran kertas. Dokumen.
Keira terpaku di tempat. Napasnya tercekat. Ia ingin maju, ingin berteriak memanggil nama sahabatnya, tapi tubuhnya kaku. Rasanya seperti berdiri di ambang jurang, menyaksikan dunia yang ia kenal perlahan retak di depan mata.
Keesokan paginya, Shena kembali seperti biasa. Senyum ramah, sapaan lembut, seakan tak ada yang terjadi. Keira duduk di kursinya, mencoba menata ekspresi.
“Shen, kemarin malam kamu ke mana?” tanya Keira hati-hati.
Shena berhenti sebentar, lalu tertawa kecil. “Ke rumah sepupu. Kenapa? Kok tiba-tiba interogasi?”
Jawaban itu membuat perut Keira mual. Ia menatap sahabatnya lama-lama, berusaha membaca kebohongan di balik senyum itu. Namun Shena terlalu pandai menyembunyikannya.
Keira hanya mengangguk, pura-pura percaya. Tapi di dalam hatinya, kekecewaan menumpuk seperti api yang siap menyala.
Sore harinya, Keira menemui Nero di ruang kerja mereka di rumah. Ia ingin menceritakan kecurigaannya, tapi ragu. Hubungan mereka masih rapuh, dipenuhi ketidakpercayaan. Bagaimana kalau Nero justru memanfaatkan informasi itu?
“Ada yang ingin kau katakan?” tanya Nero, suaranya datar.
Keira menggeleng cepat. “Tidak. Hanya lelah.”
Nero menatapnya lama, seolah tahu ia berbohong, tapi tidak memaksa. Diamnya justru membuat Keira semakin terhimpit. Ia merasa terjebak di antara dua dunia sahabat yang tak lagi bisa dipercaya, dan suami yang tak pernah benar-benar bisa ia pahami.
Malam itu, Keira berbaring di ranjang tanpa bisa tidur. Ia memandangi langit-langit kamar, mengingat semua momen bersama Shena—tawa di masa sekolah, pelukan di saat duka, janji-janji setia yang kini terasa palsu.
Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Kenapa harus kamu, Shen…” bisiknya lirih.
***
Hari-hari berikutnya, Keira menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak lagi membuka rahasia pada Shena, tapi berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja justru membuat dadanya sesak. Ia menahan diri, berusaha mengamati setiap gerak-gerik sahabatnya.
Shena tetap tampil sempurna—menemani rapat, menyiapkan agenda, bahkan bercanda seperti dulu. Justru sikap tenang itu membuat Keira semakin yakin, ada sesuatu yang disembunyikan.
Dan malam-malam Keira pun berubah panjang. Tidur tak lagi membawa tenang, hanya bayangan Shena yang berulang muncul di benaknya senyum manis yang kini terasa asing.
Suatu sore, Keira memutuskan pulang lebih awal tanpa memberi tahu siapa pun. Ia ingin sendirian, menjauh dari semua keraguan yang menyesakkan. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu rumah. Dari ruang tamu, samar-samar terdengar suara seseorang.
Suara itu… Shena.
Keira menahan napas. Ia berjalan perlahan, bersembunyi di balik dinding, mendengarkan percakapan yang segera mengubah segalanya.
Shena. Suara itu jelas suara Shena. Ia sedang berbicara melalui telepon.
“Ya, dia sudah mulai curiga. Tapi jangan khawatir, aku bisa mengendalikannya,” suara Shena rendah, penuh keyakinan. “Selama dia masih percaya aku ada di sisinya, semua informasi tetap bisa kita dapatkan.”
Jantung Keira berdentum keras. Ia harus menggigit bibirnya agar tidak bersuara.
Untuk sesaat, dunia di sekitarnya seperti berhenti. Semua kenangan bersama Shena berputar di kepalanya tawa remaja, rahasia yang dibisikkan saat malam panjang, janji saling menjaga. Dan kini, semuanya runtuh hanya dengan satu kalimat.
Keira mundur perlahan, menahan isak. Ia naik ke kamarnya tanpa menyalakan lampu, berbaring di ranjang dengan tubuh bergetar.
Malam itu, Nero kembali lebih larut dari biasanya. Saat ia masuk, Keira masih terjaga dengan mata sembab. Nero berdiri di ambang pintu, menatapnya lama.
“Ada yang terjadi?” tanyanya.
Keira ingin berteriak, ingin menceritakan semuanya. Tapi suara itu tercekat di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa percaya pada siapa pun, sementara orang yang paling ia andalkan pun menusuk dari belakang?
“Tidak apa-apa,” jawabnya akhirnya, suara lirih nyaris tak terdengar.
Nero menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya berbalik, meninggalkannya sendiri dalam gelap.
Keira menutup wajah dengan kedua tangan. Ia tahu dirinya tidak bisa lagi menunda. Suatu hari nanti, ia harus menyingkap semua rahasia itu, meski taruhannya adalah kehilangan satu-satunya sahabat yang pernah ia miliki.
Dan saat hari itu tiba, ia juga sadar luka ini akan lebih dalam daripada luka apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Keira duduk di ruang kerjanya yang sepi. Lampu meja menyinari setumpuk laporan keuangan, tapi matanya tak benar-benar membaca angka-angka itu. Sejak pagi, pikirannya kacau. Nero meninggalkan rumah tanpa banyak bicara, sementara kata-katanya semalam masih menusuk seperti duri.Ia mengusap wajah lelahnya, mencoba fokus. Namun suara pintu diketuk pelan membuatnya mendongak.“Masuk,” katanya.Shena muncul dengan senyum hangat yang biasa, membawa nampan kecil berisi teh jahe kesukaan Keira. “Kamu kelihatan pucat. Minum ini dulu, biar agak tenang.”Keira menatap sahabatnya itu. Ada rasa lega melihat wajah familiar, tapi entah kenapa, kali ini ia tidak bisa sepenuhnya merasa nyaman. Ia menerima gelas itu, menyesap sedikit, lalu bertanya, “Shen… kamu percaya sama Nero?”Shena sedikit terkejut, namun cepat menutupi ekspresinya dengan senyum tipis. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”Keira menunduk. “Aku hanya… bingung. Semakin banyak yang aku tahu, semakin sulit membedakan siapa kawan, siapa lawa
Keira menatap berkas di tangannya. Map tipis itu tergeletak di atas ranjang, lembaran-lembarannya berantakan. Data dan salinan email di dalamnya jelas menuliskan satu nama: Nero.Seharusnya malam ini ia bisa tidur nyenyak, tapi kepalanya justru dipenuhi ribuan pertanyaan. Nero pernah melindunginya, bahkan beberapa kali menyelamatkan nyawanya. Lalu kenapa namanya tercatat dalam dokumen sabotase?Ia bangkit, berjalan mondar-mandir, lalu berhenti di depan cermin. Rambutnya kusut, matanya sembab. Bayangan yang menatap balik bukan lagi pewaris keluarga Valen yang disegani, melainkan seorang perempuan yang dilanda keraguan pada suaminya sendiri.Kalimat ibunya tiba-tiba terngiang: “Kalau kamu ingin tahu siapa teman atau musuhmu, lihat siapa yang diam saat kamu dijatuhkan.”Dengan tangan gemetar, Keira membuka kotak kayu berukir nama Amara di gudang bawah. Di dalamnya, sebuah buku harian tua. Halaman demi halaman ia baca, sampai pada kalimat yang membuatnya membeku:"Aku tahu Marina akan kem
Hari-hari setelah makan malam itu berubah jadi sunyi yang berbeda. Rumah yang mereka tinggali tak lagi hanya sepi, tapi dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Keira tak bisa tidur dengan tenang. Tatapan ayahnya, suara Nero, dan kenangan ibunya datang silih berganti dalam mimpi yang tak pernah utuh. Ia menjalani rutinitas sebagai komisaris muda seperti biasa, tapi segalanya terasa hampa. Wajah-wajah di ruang rapat tampak seperti bayangan. Ia hadir, tapi jiwanya tak ikut bersama.Sore itu, ia memberanikan diri membuka kembali ruang kerja ayahnya. Sudah lama ruangan itu terkunci, tapi ia menyimpan kunci cadangannya. Begitu pintu terbuka, debu tipis dan aroma kayu tua menyambutnya. Di dalam lemari arsip, ia menemukan satu map berlabel Kemitraan Adhitya Group 2009. Saat membukanya, jantungnya seakan terhenti. Sebuah foto tua menunjukkan ayahnya berdiri berdampingan dengan seorang wanita bergaun hitam elegan. Senyum wanita itu tajam, begitu percaya diri. Di bawah foto tertulis nama
Pagi itu Keira bersiap dengan gelisah, firasatnya mengatakan pertemuan yang diminta ayahnya bukan hal biasa. Di sebuah restoran mewah, ia dan Nero mendapati Ervan Valen sudah menunggu dalam keadaan lemah dengan selang infus, namun tetap menyimpan sorot mata dingin penuh kendali. “Jadi, kalian sudah resmi suami istri.” suara Ervan terdengar pelan namun tegas. “Aku senang kalian datang,” kata ayahnya pelan, suaranya terdengar serak tapi tegas. “Aku ingin lihat langsung, seperti apa kalian hidup bersama.” “Kami baik-baik saja,” jawab Nero tenang.Keira mengerling ke arahnya. Ia tidak yakin dengan definisi baik-baik saja yang dimaksud Nero. Tapi ia tidak membantah. Ia memilih diam dan membiarkan ayahnya melanjutkan. “Ada hal yang perlu kalian tahu,” kata Ervan. “Tentang masa lalu.” Keira menggenggam jemarinya sendiri. Ini. Ini yang selama ini ia tunggu sekaligus ia takutkan. “Ayah Nero dulu pernah jadi rekan bisnis ayah. Tapi ibunya…”Ervan terdiam sejenak, seolah berpikir apakah ia
Keira membuka matanya perlahan. Kamar yang baru ia tempati masih terasa asing, meski tertata rapi dan mewah. Cahaya pagi menyusup malu-malu dari sela tirai, mengusir sisa gelap. Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Rapi. Dingin. Seakan tak pernah ada seseorang yang tidur di sana semalam.Seketika hatinya terasa hampa. Keira menatap langit-langit beberapa detik sebelum akhirnya bangkit, kaki menyentuh lantai kayu dingin. Perasaan itu terus menghantuinya lebih mirip penyewa kamar hotel daripada seorang istri.Langkahnya membawanya ke dapur. Aroma kopi menyeruak, pekat dan pahit. Di sana berdiri sosok asing yang kini sah menjadi suaminya. Nero, dengan kemeja santai, mengaduk cangkir tanpa ekspresi. “Pagi,” ucap Keira hati-hati. Nero menoleh singkat. “Pagi.” Hanya satu kata. Datar. Tanpa senyum. Suara yang sopan, tapi dingin seperti tembok marmer.Keira diam. Matanya mengikuti gerakan tangannya yang tenang saat meletakkan sendok di atas meja. “Kamu biasa buat kopi sendiri?” tanyanya, be
“Keira, ayah ingin kamu menikah minggu depan.”“Apa?” suaranya bergetar, tak percaya.Ia menatap ibunya yang berdiri kaku di depan jendela besar. Wanita itu berbalik perlahan, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi matanya menyimpan badai yang hanya bisa dikenali oleh orang yang tumbuh dari rahimnya.“Ini keputusan ayahmu. Dan kamu tahu keadaan perusahaan. Jika kita tak bertindak sekarang, seluruh keluarga akan jatuh dan kamu akan kehilangan segalanya, Nak.”Segalanya. Kata itu menggema dalam kepalanya. Segalanya yang tidak pernah ia minta. Perusahaan yang diwariskan dengan darah dan kebohongan. Gelar komisaris muda yang disematkan bukan karena kemampuan, tapi karena garis keturunan. Keira menggigit bibirnya, mencoba menahan tanya dan marah yang berselimut satu: siapa pria itu?“Siapa dia?” bisiknya akhirnya.“Namanya Nero Adhitya.”Keira tidak pernah mendengar nama itu. Atau mungkin ia pernah, tapi otaknya menolak mengaitkannya dengan realita yang tengah dipaksakan padanya sekarang. I







