Seorang gadis berlari dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipi, mengikuti langkah pria paruh baya yang menuntunya. Deru napasnya keras terdengar namun Ia tetap melangkahkan kakinya dengan cepat.
Namanya Gendis Rahayu, ia masih duduk di bangku SMA dan terlahir dari keluarga yang sederhana."Ya Allah, semoga saja Bapak baik-baik saja," batin Gendis berdoa sepanjang jalan.Pandanganya samar-samar menatap jalanan yang ia pijak dengan kaki yang bergetar."Bapak." Gendis berlari menghampiri Hartono yang sudah terbaring lemas di ranjang. Wajahnya pucat dan matanya sendu setengah terpejam."Sepertinya bapak kamu sakitnya tambah parah, Gendis. Apa tidak sebaiknya kita bawa saja ke rumah sakit," ucap pria yang menjemput Gendis dari sekolahnya.Ia terpaksa menjemput Gendis dan membawanya pulang karena ia yang tak sengaja menemukan Hartono yang tergeletak di belakang rumah."Tapi aku nggak punya uang, Pak," jawab Gendis dengan air mata yang masih berlinang. Tangannya menggenggam erat tangan Hartono yang terasa sangat dingin dan bergetar."Uhuk, uhuk!" Hartono terbatuk sampai mengejang."Bapak, " ucap Gendis semakin panik.Tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan suara ketukan pintu yang cukup keras hingga terdengar cukup jelas di telinga Gendis."Sebentar, ya, Gendis. Biar bapak yang buka pintunya," ucap pria yang berdiri tak jauh dari Gendis. Ia segera menghampiri pintu dan membukanya perlahan."Dimana Hartono? Panggil dia keluar!" Suara seorang pria yang mencari Hartono terdengar cukup nyaring hingga Gendis dapat mendengarnya dengan jelas."Pak Hartono sedang sakit, Juragan. Ada apa Juragan datang kemari?" tanya pria itu.Namun, bukannya menjawab, Karta si Juragan empang dengan sangat tidak sopan, menerobos masuk mencari Hartono."Hartono keluar kamu! Bayar hutang mu!" teriaknya sembari menyibak gorden pintu dan seketika Ia pun menemukan Hartono yang sedang terbaring di atas ranjang.Di sisi ranjang, Gendis duduk menemani Hartono. Kedua matanya membulat sempurna menatap pria bertubuh pendek dengan perut buncit yang menyembul seperti wanita hamil."J-juragan." Gendis segera bangun dari duduknya.Begitu juga dengan Hartono yang segera mengubah posisinya menjadi duduk saat Karta menerobos masuk ke kamarnya tanpa permisi."Rupanya kamu malah enak-enakan tiduran di sini, ya! Bayar hutang mu! Kamu sudah menunggak 5 bulan!" Kedua mata Karta mendelik."S-saya belum punya uang, Juragan. Saya minta maaf karena belum bisa membayar hutang saya. Saat ini saya sedang sakit dan hasil dari kebun pun sedang turunturun, jadi saya belum bisa membayar hutang saya pada Juragan," ucap Hartono dengan suara lemas."Halah alasan saja! Bilang saja kamu nggak mau bayar, kan! Aku sudah sering menemui orang seperti kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus bayar lunas semua hutang mu sekarang juga!" Tegas Karta sembari membenahi topi cowboy miliknya."Saya minta keringanan waktu lagi, Juragan. Saya janji akan membayarnya saat saya sudah punya uang," pinta Hartono meminta keringanan. Ia tetap menyelesaikan kalimatnya meski terkadang diselingi batuk yang beruntun.Hati Gendis sangat sakit melihat Hartono dibentak oleh pria di depannya. Pria yang dikenal paling kaya di kampungnya."Tolong beri saya waktu lagi, Juragan. Saya janji akan segera melunasinya," ucap Hartono lagi."Tidak bisa! Kamu harus membayarnya sekarang atau aku akak menyita rumah ini yang sudah kamu jadikan jaminan," ucap Karta menunjuk wajah Hartono dengan tingkat yang ia pegang.Mendengar rumahnya akan disita membuat Gendis tak lagi bisa tinggal diam.Gendis berjalan menghampiri Karta dan langsung bersujud di depannya."Tolong beri bapak saya keringanan, Juragan. Kami janji akan segera membayar hutang kami tapi tolong jangan sita rumah kami. Hanya ini yang kami miliki," rintih Gendis memohon pada Karta.Karta pun menurunkan tatapannya pada gadis cantik yang dijuluki sebagai kembang desa di kampung itu. Kini kembang desa itu tengah berlutut dan memohon padanya.Karta menyipitkan kedua matanya mencoba menebak dalam hati saat melihat Gendis yang berada di bawa kakinya."Cantik sekali gadis ini. Apa dia adalah anak Hartono? Apa Hartono punya anak secantik ini?" batin Karta bertanya-tanya."Siapa kamu berani ikut campur hah! Jangan ikut campur urusan kami!" Karta menendang Gendis hingga terjengkang.Namun Gendis tak menyerah, meski ia sempat terjengkang tapi ia segera bangkit lagi dan kembali bersimpuh di kaki Karta."Hei apa-apaan kamu ini, hah! Hei Hartono, apa dia ini anakmu?" tanya Karta pada Hartono. Kakinya masih terus bergerak mencoba menyingkirkan Gendis dari kakinya."Maafkan Gendis anakku, Juragan." Hartono dengan terhuyung turun dari ranjangnya dan menghampiri Gendis yang sudah menangis di kaki Karta." Bangun, Nak. Kamu tidak perlu melakukan ini," ucap Hartono lirih. Ia mengangkat tubuh Gendis agar tak berlutut lagi di kaki Karta."Saya mohon Juragan. Tolong beri saya waktu sedikit lagi. Saya janji akan membayarnya," ucap Hartono lagi sambil terbatuk.Namun, Karta malah salah fokus pada wajah Gendis yang tengah menunduk dan menangis di dalam dekapan tangan Hartono."Namanya Gendis, jadi benar dia adalah kembang desa di kampung ini. Rupanya dia adalah anaknya Hartono" batin Karta yang baru melihat secara langsung kembang desa yang sering menjadi buah bibir orang-orang kampung karena kecantikannya.Wajah bulat dengan pipi chubby dan badannya yang tidak terlalu tinggi namun berisi. Belum lagi kulitnya yang seputih susu membuat Gendis terlihat sangat cantik hingga dijuluki sang kembang desa."Sepertinya kalau aku punya anak dari gadis secantik dia, anakku akan menjadi rupawan," batin Karta yang pikirannya sudah melayang jauh saat menatap wajah Gendis yang anggun."Hartono, kamu kan punya anak secantik ini. Kenapa kamu nggak memanfaatkannya untuk melunasi hutang mu," ucap Karta genit. Tangannya mencolek dagu Gendis dengan sangat tudao sopan membuat Gendis sedikit takut.Hartono pun sedikit tak terima dengan perlakuan Karta pada Gendis saat itu. Belum lagi ucapan Karta yang membuat Hartono semakin geram."Maksud juragan Karta apa?" Hartono menaikkan pandangannya."Aku bisa kok menganggap lunas semua hutang mu itu asal kamu membiarkan Gendis menjadi istriku," ucap Karta tanpa ragu."A-apa? Apa Juragan ingin menjadikan Gendis istri ketiga? Tidak Juragan, aku tidak mau melihat anakku menjadi istri ketiga Juragan." Hartono menolak dengan sangat tegas."Oh jadi kamu tidak mau menikahkan anakmu ini denganku? Baiklah, kalau begitu berarti kamu harus membayar semua hutang mu besok atau aku akan menyita rumah kalian secara paksa," ancam Karta sembari tertawa."Kamu harus ingat Hartono, kamu punya anak satu lagi yang masih bersekolah. Aku rasa kalau kamu menyerahkan satu anakmu padaku, itu tidak masalah. Aku justru akan membahagiakan anakmu dan aku juga akan menganggap lunas semua hutang mu padaku walaupun itu tidak sedikit, aku tidak masalah," ucap Karta dengan sombongnya."Pak, Gendis nggak mau menikah dengan dia, Pak." Gendis menggelengkan kepalanya."Kamu tenang saja, Gendis. Bapak juga tidak rela kamu menikah dengannya," jawab Hartono menatap Gendis yang sudah semakin sesenggukan di dalam pelukannya.Karta yang mendengar obrolan keduanya pun hanya bisa tersenyum."Baiklah kalau begitu. Kalian pikirkan saja tawaran dariku ini. Mau membayar lunas hutang kalian besok atau nikahkan saja anak gadis mu itu denganku," ucap Karta lagi sembari membalikkan badannya dan hendak pergi meninggalkan mereka.Malamnya Gendis menyiapkan makan malam sederhana. Ia hanya memasak sayur kangkung dan menggoreng tahu. Menu sederhana itu akan Ia santap bersama dengan bapak dan adiknya."Mbak, bapak kok belum datang? Apa bapak sakitnya kambuh lagi?" tanya Indri pada Gendis yang masih sibuk menyendokkan nasi ke piring."Iya Ndri. Nanti biar Mbak saja yang antar makan malam bapak ke kamar. Kamu makan saja sekarang setelah itu istirahat," ucap Gendis lembut.Indri pun lalu memakan makan malamnya. Sementara Gendis pergi ke kamar Hartono.Tamoak Hartono yang tengah berbaring miring membelakangi pint sehingga saat Gendis masuk hanya bisa menyaksikan punggung Hartono."Pak, bapak belum makan, kan? Ini Gendis bawakan makan malam," ucap Gendis sembari mendekati Hartono. Ia lalu duduk di pinggiran ranjang.Tak lama Hartono pun menoleh. Sambil terbatuk, ia mencoba bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk."Dadanya masih sakit banget, ya, Pak?" tanya Gendis pelan."Iya Ndok. Sepertinya sakitnya bapak semakin
Sampai pagi menyapa, Gendis masih belum juga tidur. Air matanya masih terus keluar membasahi pipinya."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku tidak mau menikah dengan pria yang sudah beristri tapi bagaimana dengan nasib bapak dan Indri kalau sampai aku tidak menikah dengan juragan Karta," batin Gendis.Pikirannya masih terus melayang jauh entah kemana. Bahkan sampai matahari mulai menyingsing. Gendis memilih untuk tak berangkat sekolah karena pikirannya yang sedang kacau saat itu.Terdengar derap langkah kaki di luar kamarnya dan setelah itu menghilang begitu saja. Namun, Gendis masih tak bangkit dari tempat tidurnya saat itu. Ia masih meringkuk memeluk kakinya yang ia tekuk hingga ke dada."Tok, tok, tok."Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Dengan cepat Gendis menyapu air matanya yang saat itu masih keluar dari matanya."Gendis, ini bapak. Apa bapak boleh masuk?" tanya Hartono."Iya oleh, Pak," jawab Gendis dengaj suara parau.Hartono pun masuk dan melihat
Dengan berbunga-bunga Karta pulang ke rumah. Indah dan Ayu yang melihat wajah semringah Karta pun merasa heran."Kamu kenapa, Mas? Kok senyum-senyum begitu?" tanya Ayu menghampiri Karta."Aku akan segera menikah lagi! Aku akan punya anak laki-laki," jawab Karta sembari tertawa senang.Indah yang mendengar ucapan Karta pun segera menoleh ke arah Karta dan Ayu."Bagaimana ini, bagaimana jika mas Karta menikah lagi dan berhasil punya anak laki-laki. Itu artinya hanya aku satu-satunya istri yang tidak memberikannya keturunan." Indah membatin dalam hati. Rasanya begitu sangat sakit saat ia harus mendapatkan hinaan dari semua orang karena tak bisa punya anak."T-tapi, Mas. Bagaimana kalau dia tidak bisa memberikanmu anak laki-laki." Ayu menghentikan tawa Karta saat itu dengan kalimatnya."Tidak mungkin! Dia pasti bisa memberikanku anak laki-laki. Aku yakin dia bisa memberikan ku anak laki-laki yang tidak bisa kalian berikan," ucap Karta."Tapi, Mas. Aku kan punya Salsa, aku nggak mau ya kal
"Ndis? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Kamu kan tidak menyukai juragan Karta," ucap Hartono yang perlahan melangkahkan kakinya mendekati Gendis yang menangis sesenggukan sembari menundukkan kepalanya."Iya, Mbak. Kenapa mbak Gendis menerima ucapan juragan Karta." Indri yang juga tak percaya pada keputusan Gendis saat itu langsung mendekat ke arahnya."Mbak nggak mau kamu yang menjadi tumbal atas penolakan Mbak pada juragan Karta. Mbak nggak rela kalau sampai kamu menikah dengan juragan Karta. Kamu masih sangat muda, Ndri. Jalan masa depanmu masih panjang," jawab Gendis sambil sesenggukan."Tapi aku rela kok Mbak, berkorban untuk keluarga ini. Aku rela ikhlas jika aku memang harus melakukan itu semua," jawab Indri."Kalau kamu saja mau mengorbankan masa depanmu masa aku sebagai kakak malah bersembunyi di balik badanmu. Aku nggak mungkin membiarkan kamu kehilangan masa depanmu dengan menjadi istri ketiga jadi biar Mbak saja yang menikah dengannya dan kamu lanjutkan sekolahmu.""Ter
Akhirnya mereka pun sampai di kantor KUA. Kedua mata Gendis semakin samar menatap penghulu di depannya dengan mata yang berkaca-kaca."Apakah bapak yakin ingin menikah siri?" tanya pak penghulu saat itu.Bak disambar petir di siang bolong. Gendis membulatkan kedua matanya mendengarkan jawaban dari Karta saat itu yang mengiyakan pertanyaan dari pak penghulu."A-apa ini? Apa aku akan menjadi istri sirinya juragan Karta? Kenapa aku hanya dinikahi siri," batin Gendis yang saat itu ingin memberontak karena tak ingin dinikahi siri.Seumur hidupnya, Gendis tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi istri siri dari seorang pria yang menikahinya.Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Gendis yang duduk tepat di samping Karta menatap Hartono yang ada di depannya."Pak, tolong aku... Aku tidak mau dinikahi siri. Kenapa aku dinikahi siri," batin Gendis yang tak mampu mengeluarkan kalimat yang sudah ada di ujung bibirnya."Hei, kamu jangan menangis! Jangan bikin malu aku dan Karta," bisik An
"Ya Tuhan, bagaimana ini. Aku belum siap melayaninya," batin Gendis bergejolak. Seketika air matanya mengucur kembali dengan sangat deras. Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Karta perlahan melepaskan kancing baju miliknya.Terlihat rambut-rambut halus yang tumbuh di dada dan menyembul keluar saat baju mulai terbuka."J-juragan, t-tapi ini masih siang. Apa kita harus melakukannya sekarang? bukankah tadi Juragan bilang ada urusan penting yang harus dikerjakan." Gendis berusaha mencari cara agar Karta mengurungkan niatnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami istri."Itu mah gampang. Aku bisa menyelesaikannya setelah ini." Ekpresi penuh napsu tamoak jelas di wajah Karta. Kedua matanya fokus menatap gunung kembar milik Gendis yang masih bersembunyi di balik kebaya putih yang dipakainya."Ya Tuhan, bagaimana ini. Sepertinya Juragan Karta ingin melakukannya sekarang," batin Gendis semakin tak karuan.Karta yang sudah selesai melepaskan kancing bajunya, langsung melempa
"Lebih baik sekarang kamu bangun dan jangan bermalas-malasan! Jangan sok jadi tuan putri du rumah ini," umpat Anjarwati lagi.Bibir Anjarwati masih mengerucut menatap Gendis yang masih tertunduk di depannya."Indah, Ayu!" Suara Anjarwati yang keras dan lantang membuat Ayu dan indah segera datang menghampirinya."I-iya, Bu. Ada apa?" tanya Ayu menghampiri Anjarwati. "Kamu urus gadis ini. Ajari dia mengurus rumah ini," ucap Anjarwati pada Ayu dan Indah.Mendengar ucapan Anjarwati membuat Ayu tersenyum mengembangkan bibirnya hingga tanpa garis bibir yang sedikit terangkat.Sementara Indah hanya menoleh ke arah Gendis tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap dalam Gendis yang masih tertunduk."Wah, dengan senang hati aku akan mengajarinya, Bu," jawab Ayu semringah."Tapi ingat, jangan sampai dia terluka sedikit saja. Kalau tidak nanti Karta bisa marah besar," ucap Anjarwati mengingatkan."Tenang saja, Bu. Itu tidak akan terjadi," jawab Ayu penuh keyakinan.
"Pantas saja mas Karta jatuh hati pada gadis itu. Ternyata secantik itu wajah naturalnya," batin Ayu yang masih belum bisa memalingkan tatapannya pada Gendis."Gendis, biasanya mas Karta jam 5 sore pulang, bagaimana kalau kamu bantu aku masak di dapur," ajak Indah sembari bangkit dari duduknya.Melihat Indah yang sudah bangkit dari duduknya membuat Ayu pun segera mengikutinya."Tunggu dulu!" Ayu menghentikan langkah kaki Indah dan Gendis saat itu. Keduanya pun kompak menoleh ke arah Ayu."Mbak Indah nggak boleh bantuin Gendis masak. Biarkan saja dia yang masak hari ini. Anggap saja itu adalah tugasnya di rumah ini di hari pertamanya menjadi seorang istri," ucap Ayu."Tapi, Yu. Gendis kan masih baru di rumah ini. Dia pasti belum tahu selera lidah di rumah ini. Biar aku bantu dia saja." Indah tetap bersikukuh ingin membantu Gendis.Indah pun meraih tangan Gendis dan hendak membawanya ke dapur, tapi dengan cepat Ayu berjalan menghalangi keduanya."Tunggu dulu!" Ayu berdiri tepat di depa