"Ndis? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Kamu kan tidak menyukai juragan Karta," ucap Hartono yang perlahan melangkahkan kakinya mendekati Gendis yang menangis sesenggukan sembari menundukkan kepalanya.
"Iya, Mbak. Kenapa mbak Gendis menerima ucapan juragan Karta." Indri yang juga tak percaya pada keputusan Gendis saat itu langsung mendekat ke arahnya."Mbak nggak mau kamu yang menjadi tumbal atas penolakan Mbak pada juragan Karta. Mbak nggak rela kalau sampai kamu menikah dengan juragan Karta. Kamu masih sangat muda, Ndri. Jalan masa depanmu masih panjang," jawab Gendis sambil sesenggukan."Tapi aku rela kok Mbak, berkorban untuk keluarga ini. Aku rela ikhlas jika aku memang harus melakukan itu semua," jawab Indri."Kalau kamu saja mau mengorbankan masa depanmu masa aku sebagai kakak malah bersembunyi di balik badanmu. Aku nggak mungkin membiarkan kamu kehilangan masa depanmu dengan menjadi istri ketiga jadi biar Mbak saja yang menikah dengannya dan kamu lanjutkan sekolahmu.""Terima kasih banyak ya, Mbak. Mbak Gendis rela mengorbankan diri mbak Gendis demi aku." Indri menyapu air mata Gendis yang saat itu deras mengalir.Meski hatinya terluka dan remuk namun, Gendis mencoba tersenyum saat Indri menyapu air matanya. Ia mencoba kuat di hadapan adiknya saat itu."Maafkan Bapak, ya, Ndis. Gara-gara bapak kamu jadi menderita seperti ini. Gara-gara bapak juga kalian jadi menderita seperti ini." Hartono tertunduk dalam isak tangis yang masih belum berhenti."Aku gagal menjadi seorang Bapak yang baik untuk kalian. Bapak sudah membuat kamu kehilangan impian dan masa depanmu," ucap Hartono pada Gendis.Gendis yang tak ingin Hartono menyalahkan dirinya sendiri pun langsung bergerak. Ia berjalan mendekati Hartono yang hanya berjarak dua langkah darinya."Bapak jangan bicara seperti itu, Pak. Gendis baik-baik saja kok dan Gendis ikhlas melakukan semuanya ini. Mungkin memang sudah takdir Gendis harus seperti ini jadi Bapak jangan bicara seperti itu dan menyalahkan diri lagi. Bapak adalah Bapak terbaik di dunia ini." Jari-jemari Gendis perlahan mendarat di pipi Hartono dan menyapu air matanya.***Keesokannya, pagi-pagi sekali Karta, Anjarwati dan kedua istrinya sudah datang ke rumah Gendis untuk menjemputnya dan mereka akan berangkat ke KUA.Pertama kali Gendis melihat kedua istri Karta rasanya begitu tak nyaman. Ia merasa tak enak hati pada keduanya apalagi saat Ayu menatapnya tajam membuat Gendis merasa takut.Gendis pun masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan yang sudah dibawakan oleh Indah dan Ayu."Ya Tuhan, apakah ini benar-benar takdirku. Apa aku bisa melewati semuanya ini. Tolong kuatkanlah aku ya Allah," batin Gendis sembari duduk dan menatap cermin.Air matanya hampir saja jatuh dan merusak polesan make up di wajahnya namun dengan cepat Gendis menyapu dengan tangannya."Nggak! Aku nggak boleh nangis seperti ini. Aku harus kuat demi Bapak dan Indri. Aku rela melakukan semua ini asalkan Indri bisa melanjutkan masa depannya," ucap Gendis yakin sembari menyapu air matanya."Mau aku bantu?" tanya seorang wanita yang berjalan di belakangnya. Gendis pun sontak langsung menoleh saat telinganya mendengar suara wanita yang ia tahu pasti itu bukanlah suara Indri."Ada yang bisa aku bantu, nggak?" tanya Indah yang ternyata telah masuk ke kamar Gendis.Sontak saja Gendis menjadi sangat canggung saat ia berada di dalam satu ruangan bersama istri tua dari calon suaminya. Terlebih lagi ia belum terlalu mengenal wanita yang kini ada si hadapannya."Oh emmm a-aku...." Gendis bingung hendak menjawab apa."Kamu kenapa menangis?" tanya Indah."Oh emmm a-aku tidak menangis, kok." Gendis mencoba menyapu air mata yang masih sedikit membasahi pipinya."Kamu nggak usah bohong. Aku tahu kamu menangis. Itu pipimu basah. Blush on mu saja sampai pudar begini. Sudah jangan menangis, masa calon pengantin menangis," ucap Indah menghibur. Tangannya dengan cepat memoles lagi wajah Gendis dengan blush on berwarna pink soft."I-iya, Mbak," jawab Gendis yang masih canggung. Ia hanya bisa pasrah saat Indah menambah kembali polesan di wajahnya.Ia masih tak menyangka jika ternyata istri tua dari calon suaminya bisa bersikap baik padanya. Padahal yang ada di pikirannya adalah mereka akan memaki dirinya karena telah menikahi suaminya.Setelah selesai memperbaiki make up Gendis, Indah pun kembali kemudian menatap wajah cantik Gendis."Kamu sangat cantik, pantas saja kalau mas Karta kepincut sama kamu," puji Indah."Andai saja dia tahu kalau aku menikah dengan juragan Karta juga karena terpaksa bukan karena aku menyukainya," batin Gendis ingin berkata tapi sekuat tenaga ia tahan."Terima kasih banyak, Mbak," jawab Gendis yang masih merasa canggung dan tidak enak pada Indah."Kamu nggak perlu canggung seperti itu padaku. Sebentar lagi kamu kan akan menjadi istrinya maa Karta. Itu artinya posisimu dan aku sama jadi kita harus terbiasa dekat. Aku lihat kamu wanita yang baik. Semoga kita bisa berteman setelah ini," ucap Indah."A-aku minta maaf, ya, Mbak. Aku minta maaf karena aku sudah menikahi suami mu dan membuatmu harus berbagi suami denganku. Aku...."Belum sempat Gendis mengatakan kalimatnya, Indah sudah lebih dulu menyela."Tidak perlu minta maaf begitu. Itu semua bukan salahmu, kok," sela Indah."Tapi, aku sedikit heran kenapa kamu mau menikah dengan mas Karta yang jelas-jelas usianya sangat berbeda jauh denganmu. Padahal kamu itu sangat cantik dan masih muda bahkan belum lulus SMA. Kenapa kamu malah memilih menikah dengan mas Karta?" tanya Indah.Gendis pun seketika bingung menjawab pertanyaan dari Indah. Ia tak bisa mencari alasan saat itu karena otaknya sangat penuh."Aku minta maaf, ya, Mbak. Aku minta maaf jika dengan aku menikahi suamimu membuatmu terluka." Hanya kalimat itu yang bisa Gendis lontarkan pada Indah saat itu.Tapi rupanya itu tak cukup untuk Indah. Ia merasa bahwa pertanyaannya masih belum terjawab saat itu."Kenapa kamu memilih menikah dengan mas Karta? Apa kamu benar-benar tidak sayang dengan masa depanmu? Apa kamu benar-benar mencintai mas Karta?" tanya Indah lagi.Akhirnya mau tak mau Gendis pun menceritakan semuanya pada Gendis. Dengan dada bergetar menahan tangis yang tak boleh kembali pecah dan merusak make up-nya. Sekuat tenaga Gendis menahan air matanya agar tak jatuh.Mendengar cerita Gendis membuat kedua mata Indah membulat. Seketika rasa iba pun muncul di dalam hatinya.Indah tak menyangka bahwa gadis yang sebelumnya ia pikir adlaah gadis yang tidak baik rupanya adalah gadis yang sangat baik karena rela mengorbankan masa depan dan kebahagiannya demi keluarganya."Ya Tuhan, kasihan sekali gadis ini. Aku pikir dia menikah dengan maa Karta karena dia jahat, ingin memoroti harta mas Karta tapi ternyata keadaan yang memaksanya melakukan ini ssmua," batin Indah yang melihat Gendis menunduk di depannya.Perlahan Indah pun memeluk tubuh Gendis dengan lembut. Tangannya mengusap punggung Gendis yang saat itu memakai kebaya berwarna putih."Kamu yang sabar, ya. Kamu adalah gadis yang baik. Aku yakin kamu bisa melewati semuanya ini." Indah menghibur Gendis yang kini kembali menangis sesenggukan.Nyatanya Gendis tak mampu menahan air matanya saat Indah menghibur dirinya. Itu justru membuat pertahanan air matanya jebol."Gendis, sudah siap belum, Nak? Kita sudah mau berangkat?" tanya Hartono menerobos masuk ke kamar Gendis dan melihat Gendis tengah berpelukan dengan Indah.Akhirnya mereka pun sampai di kantor KUA. Kedua mata Gendis semakin samar menatap penghulu di depannya dengan mata yang berkaca-kaca."Apakah bapak yakin ingin menikah siri?" tanya pak penghulu saat itu.Bak disambar petir di siang bolong. Gendis membulatkan kedua matanya mendengarkan jawaban dari Karta saat itu yang mengiyakan pertanyaan dari pak penghulu."A-apa ini? Apa aku akan menjadi istri sirinya juragan Karta? Kenapa aku hanya dinikahi siri," batin Gendis yang saat itu ingin memberontak karena tak ingin dinikahi siri.Seumur hidupnya, Gendis tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi istri siri dari seorang pria yang menikahinya.Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Gendis yang duduk tepat di samping Karta menatap Hartono yang ada di depannya."Pak, tolong aku... Aku tidak mau dinikahi siri. Kenapa aku dinikahi siri," batin Gendis yang tak mampu mengeluarkan kalimat yang sudah ada di ujung bibirnya."Hei, kamu jangan menangis! Jangan bikin malu aku dan Karta," bisik An
"Ya Tuhan, bagaimana ini. Aku belum siap melayaninya," batin Gendis bergejolak. Seketika air matanya mengucur kembali dengan sangat deras. Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Karta perlahan melepaskan kancing baju miliknya.Terlihat rambut-rambut halus yang tumbuh di dada dan menyembul keluar saat baju mulai terbuka."J-juragan, t-tapi ini masih siang. Apa kita harus melakukannya sekarang? bukankah tadi Juragan bilang ada urusan penting yang harus dikerjakan." Gendis berusaha mencari cara agar Karta mengurungkan niatnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami istri."Itu mah gampang. Aku bisa menyelesaikannya setelah ini." Ekpresi penuh napsu tamoak jelas di wajah Karta. Kedua matanya fokus menatap gunung kembar milik Gendis yang masih bersembunyi di balik kebaya putih yang dipakainya."Ya Tuhan, bagaimana ini. Sepertinya Juragan Karta ingin melakukannya sekarang," batin Gendis semakin tak karuan.Karta yang sudah selesai melepaskan kancing bajunya, langsung melempa
"Lebih baik sekarang kamu bangun dan jangan bermalas-malasan! Jangan sok jadi tuan putri du rumah ini," umpat Anjarwati lagi.Bibir Anjarwati masih mengerucut menatap Gendis yang masih tertunduk di depannya."Indah, Ayu!" Suara Anjarwati yang keras dan lantang membuat Ayu dan indah segera datang menghampirinya."I-iya, Bu. Ada apa?" tanya Ayu menghampiri Anjarwati. "Kamu urus gadis ini. Ajari dia mengurus rumah ini," ucap Anjarwati pada Ayu dan Indah.Mendengar ucapan Anjarwati membuat Ayu tersenyum mengembangkan bibirnya hingga tanpa garis bibir yang sedikit terangkat.Sementara Indah hanya menoleh ke arah Gendis tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap dalam Gendis yang masih tertunduk."Wah, dengan senang hati aku akan mengajarinya, Bu," jawab Ayu semringah."Tapi ingat, jangan sampai dia terluka sedikit saja. Kalau tidak nanti Karta bisa marah besar," ucap Anjarwati mengingatkan."Tenang saja, Bu. Itu tidak akan terjadi," jawab Ayu penuh keyakinan.
"Pantas saja mas Karta jatuh hati pada gadis itu. Ternyata secantik itu wajah naturalnya," batin Ayu yang masih belum bisa memalingkan tatapannya pada Gendis."Gendis, biasanya mas Karta jam 5 sore pulang, bagaimana kalau kamu bantu aku masak di dapur," ajak Indah sembari bangkit dari duduknya.Melihat Indah yang sudah bangkit dari duduknya membuat Ayu pun segera mengikutinya."Tunggu dulu!" Ayu menghentikan langkah kaki Indah dan Gendis saat itu. Keduanya pun kompak menoleh ke arah Ayu."Mbak Indah nggak boleh bantuin Gendis masak. Biarkan saja dia yang masak hari ini. Anggap saja itu adalah tugasnya di rumah ini di hari pertamanya menjadi seorang istri," ucap Ayu."Tapi, Yu. Gendis kan masih baru di rumah ini. Dia pasti belum tahu selera lidah di rumah ini. Biar aku bantu dia saja." Indah tetap bersikukuh ingin membantu Gendis.Indah pun meraih tangan Gendis dan hendak membawanya ke dapur, tapi dengan cepat Ayu berjalan menghalangi keduanya."Tunggu dulu!" Ayu berdiri tepat di depa
"Ini semua kamu yang masak, Ndis?" tanya Karta menatap Gendis.Gendis pun menganggukkan pelan kepalanya. Tampak senyuman di bibir Karta saat mendapat jawaban dari Gendis."Wah, kamu ini benar-benar hebat. Kamu benar-benar istri yang baik," puji Karta pada Gendis. Tangannya mengusap lembut kepala Gendis membuat Ayu kegerahan.Raut wajah Ayu menjadi merengut melihat Gendis yang diperlakukan begitu manja dan mendapatkan pujian dari Karta.Ayu mengeratkan kepalan tangannya menahan amarah yang mulai muncul. Sekuat tenaga Ayu menahan rasa cemburunya pada Gendis saat itu."Sial! Ngapain sih mas Karta muji-muji gadis itu. Nggak penting banget," batin Ayu kesal.Namun, tiba-tiba saja Ayu mengembang senyum tipis saat mengingat kejahatan yang telah ia lakukan pada Gendis."Sekarang kamu seneng dipuji mas Karta tapi kamu lihat saja nanti," batin Ayu lagi.Seketika senyum Ayu pun memudar saat Karta menoleh ke arahnya. Dengan cepat Ayu merapihkan rambutnya yang tergerai lurus, mencoba menarik perha
Seluruh tubuh Gendis bergetar menahan tangis saat dirinya diserbu dengan beberapa orang yang mengatainya dan mengejeknya.Gendis hanya bisa tertunduk mendengarkan setiap kata yang menusuk hatinya. Ia masih terus memikirkan tentang keanehan saat itu.Bagaimana ayam yang ia masak rasanya bisa seasin itu padahal ia tak banyak memeberikan garam pada masakannya. Gendis hanya bisa membatin dalam hatinya."Sudahlah, Mas. Lebih baik kita maklumi saja Gendis yang masakannya keasinan. Mungkin dia masih belajar memasak apalagi kan dia baru di rumah ini jadi mungkin dia masih canggung," ucap Indah yang lagi-lagi membela Gendis di hadapan Karta dan membuat Ayu geram."Mbak Indah tuh ngapain sih pake sok-sokan belain Gendis di hadapan mas Karta. Pasti mereka berdua sudah sekongkol buat mengambil hati mas Karta dan ingin menyingkirkan aku. Aku harus berbuat sesuatu sebelum mereka berhasil menyingkirkan aku dari kehidupan mas Karta," batin Ayu yang sudah mulai dilema memikirkan dirinya sendiri."Kamu
Akhirnya Gendis selesai membersihkan dirinya dan ia pun keluar dari kamar mandi. Ia langsung berjalan ke arah meja rias dan memandangi sejenak wajahnya dari pantulan cermin.Tampak bercak merah di sekitar lehernya. Gendis hanya bisa memandangi tanda merah itu dan berusaha menutupinya dengan foundation miliknya."Emph Sayang, kamu sudah bangun," ucap Karta dengan suara parau khas bangun tidur.Wajahnya yang masih satu tampak sangat jelas dari pantulan kaca. Perlahan Gendis pun memutar tubuhnya dan menatap ke arah Karta."Iya, Mas. Saya sudah bangun. Mas mau saya buatkan kopi?" tanya Gendis menawarkan.Bukannya menjawab, Karta malah menatap dalam Gendis yang masih menggulung rambutnya yang basah dengan handuk.Karta masih belum melepaskan pandangannya dari Gendis. Perlahan Karta menurunkan kakinya dan memijak lantai lalu berjalan menghampiri Gendis.Kini keduanya pun saling berhadapan dengan posisi Gendis yang masih duduk di kursi dan Karta yang berdiri menatap Gendis."Kamu tambah cant
Dengan air mata yang masih berderai, Gendis menyelesaikan semua pekerjaan rumah sendirian.Sesekali Gendis melirik ke arah Ayu yang tengah duduk di sofa sembari menonton TV dan menikmati camilan."Tante Gendis, Raya haus," ucap seorang anak kecil. Tangannya menarik pelan baju Gendis.Gendis yang tengah menyapu pun langsung menoleh ke arah anak kecil di belakangnya."Oh, kamu haus, ya. Sebentar ya, Tante ambilkan minum dulu," ucap Gendis yang dengan gesit mengambilkan Raya air minum.Setelah meminum air yang diambilkan oleh Gendis, Raya pun tersenyum manis pada Gendis."Terima kasih, ya, tante Gendis," ucapan Raya dengan lembut.Gendis pun mengusap kepala Raya dengan lembut kemudian Gendis berjongkok di hadapan Raya untuk menyeimbangkan posisinya."Emmm Raya, tante Gendis buat leh tanya sesuatu tidak?" tanya Gendis menghentikan kalimatnya.Sejak dari kemarin ia sudah merasa penasaran dan ingin bertanya tapi belum mendapatkan kesempatan sehingga saat ada kesempatan untuk menanyakannya