Share

Bab 5

"Ndis? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Kamu kan tidak menyukai juragan Karta," ucap Hartono yang perlahan melangkahkan kakinya mendekati Gendis yang menangis sesenggukan sembari menundukkan kepalanya.

"Iya, Mbak. Kenapa mbak Gendis menerima ucapan juragan Karta." Indri yang juga tak percaya pada keputusan Gendis saat itu langsung mendekat ke arahnya.

"Mbak nggak mau kamu yang menjadi tumbal atas penolakan Mbak pada juragan Karta. Mbak nggak rela kalau sampai kamu menikah dengan juragan Karta. Kamu masih sangat muda, Ndri. Jalan masa depanmu masih panjang," jawab Gendis sambil sesenggukan.

"Tapi aku rela kok Mbak, berkorban untuk keluarga ini. Aku rela ikhlas jika aku memang harus melakukan itu semua," jawab Indri.

"Kalau kamu saja mau mengorbankan masa depanmu masa aku sebagai kakak malah bersembunyi di balik badanmu. Aku nggak mungkin membiarkan kamu kehilangan masa depanmu dengan menjadi istri ketiga jadi biar Mbak saja yang menikah dengannya dan kamu lanjutkan sekolahmu."

"Terima kasih banyak ya, Mbak. Mbak Gendis rela mengorbankan diri mbak Gendis demi aku." Indri menyapu air mata Gendis yang saat itu deras mengalir.

Meski hatinya terluka dan remuk namun, Gendis mencoba tersenyum saat Indri menyapu air matanya. Ia mencoba kuat di hadapan adiknya saat itu.

"Maafkan Bapak, ya, Ndis. Gara-gara bapak kamu jadi menderita seperti ini. Gara-gara bapak juga kalian jadi menderita seperti ini." Hartono tertunduk dalam isak tangis yang masih belum berhenti.

"Aku gagal menjadi seorang Bapak yang baik untuk kalian. Bapak sudah membuat kamu kehilangan impian dan masa depanmu," ucap Hartono pada Gendis.

Gendis yang tak ingin Hartono menyalahkan dirinya sendiri pun langsung bergerak. Ia berjalan mendekati Hartono yang hanya berjarak dua langkah darinya.

"Bapak jangan bicara seperti itu, Pak. Gendis baik-baik saja kok dan Gendis ikhlas melakukan semuanya ini. Mungkin memang sudah takdir Gendis harus seperti ini jadi Bapak jangan bicara seperti itu dan menyalahkan diri lagi. Bapak adalah Bapak terbaik di dunia ini." Jari-jemari Gendis perlahan mendarat di pipi Hartono dan menyapu air matanya.

***

Keesokannya, pagi-pagi sekali Karta, Anjarwati dan kedua istrinya sudah datang ke rumah Gendis untuk menjemputnya dan mereka akan berangkat ke KUA.

Pertama kali Gendis melihat kedua istri Karta rasanya begitu tak nyaman. Ia merasa tak enak hati pada keduanya apalagi saat Ayu menatapnya tajam membuat Gendis merasa takut.

Gendis pun masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan yang sudah dibawakan oleh Indah dan Ayu.

"Ya Tuhan, apakah ini benar-benar takdirku. Apa aku bisa melewati semuanya ini. Tolong kuatkanlah aku ya Allah," batin Gendis sembari duduk dan menatap cermin.

Air matanya hampir saja jatuh dan merusak polesan make up di wajahnya namun dengan cepat Gendis menyapu dengan tangannya.

"Nggak! Aku nggak boleh nangis seperti ini. Aku harus kuat demi Bapak dan Indri. Aku rela melakukan semua ini asalkan Indri bisa melanjutkan masa depannya," ucap Gendis yakin sembari menyapu air matanya.

"Mau aku bantu?" tanya seorang wanita yang berjalan di belakangnya. Gendis pun sontak langsung menoleh saat telinganya mendengar suara wanita yang ia tahu pasti itu bukanlah suara Indri.

"Ada yang bisa aku bantu, nggak?" tanya Indah yang ternyata telah masuk ke kamar Gendis.

Sontak saja Gendis menjadi sangat canggung saat ia berada di dalam satu ruangan bersama istri tua dari calon suaminya. Terlebih lagi ia belum terlalu mengenal wanita yang kini ada si hadapannya.

"Oh emmm a-aku...." Gendis bingung hendak menjawab apa.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Indah.

"Oh emmm a-aku tidak menangis, kok." Gendis mencoba menyapu air mata yang masih sedikit membasahi pipinya.

"Kamu nggak usah bohong. Aku tahu kamu menangis. Itu pipimu basah. Blush on mu saja sampai pudar begini. Sudah jangan menangis, masa calon pengantin menangis," ucap Indah menghibur. Tangannya dengan cepat memoles lagi wajah Gendis dengan blush on berwarna pink soft.

"I-iya, Mbak," jawab Gendis yang masih canggung. Ia hanya bisa pasrah saat Indah menambah kembali polesan di wajahnya.

Ia masih tak menyangka jika ternyata istri tua dari calon suaminya bisa bersikap baik padanya. Padahal yang ada di pikirannya adalah mereka akan memaki dirinya karena telah menikahi suaminya.

Setelah selesai memperbaiki make up Gendis, Indah pun kembali kemudian menatap wajah cantik Gendis.

"Kamu sangat cantik, pantas saja kalau mas Karta kepincut sama kamu," puji Indah.

"Andai saja dia tahu kalau aku menikah dengan juragan Karta juga karena terpaksa bukan karena aku menyukainya," batin Gendis ingin berkata tapi sekuat tenaga ia tahan.

"Terima kasih banyak, Mbak," jawab Gendis yang masih merasa canggung dan tidak enak pada Indah.

"Kamu nggak perlu canggung seperti itu padaku. Sebentar lagi kamu kan akan menjadi istrinya maa Karta. Itu artinya posisimu dan aku sama jadi kita harus terbiasa dekat. Aku lihat kamu wanita yang baik. Semoga kita bisa berteman setelah ini," ucap Indah.

"A-aku minta maaf, ya, Mbak. Aku minta maaf karena aku sudah menikahi suami mu dan membuatmu harus berbagi suami denganku. Aku...."

Belum sempat Gendis mengatakan kalimatnya, Indah sudah lebih dulu menyela.

"Tidak perlu minta maaf begitu. Itu semua bukan salahmu, kok," sela Indah.

"Tapi, aku sedikit heran kenapa kamu mau menikah dengan mas Karta yang jelas-jelas usianya sangat berbeda jauh denganmu. Padahal kamu itu sangat cantik dan masih muda bahkan belum lulus SMA. Kenapa kamu malah memilih menikah dengan mas Karta?" tanya Indah.

Gendis pun seketika bingung menjawab pertanyaan dari Indah. Ia tak bisa mencari alasan saat itu karena otaknya sangat penuh.

"Aku minta maaf, ya, Mbak. Aku minta maaf jika dengan aku menikahi suamimu membuatmu terluka." Hanya kalimat itu yang bisa Gendis lontarkan pada Indah saat itu.

Tapi rupanya itu tak cukup untuk Indah. Ia merasa bahwa pertanyaannya masih belum terjawab saat itu.

"Kenapa kamu memilih menikah dengan mas Karta? Apa kamu benar-benar tidak sayang dengan masa depanmu? Apa kamu benar-benar mencintai mas Karta?" tanya Indah lagi.

Akhirnya mau tak mau Gendis pun menceritakan semuanya pada Gendis. Dengan dada bergetar menahan tangis yang tak boleh kembali pecah dan merusak make up-nya. Sekuat tenaga Gendis menahan air matanya agar tak jatuh.

Mendengar cerita Gendis membuat kedua mata Indah membulat. Seketika rasa iba pun muncul di dalam hatinya.

Indah tak menyangka bahwa gadis yang sebelumnya ia pikir adlaah gadis yang tidak baik rupanya adalah gadis yang sangat baik karena rela mengorbankan masa depan dan kebahagiannya demi keluarganya.

"Ya Tuhan, kasihan sekali gadis ini. Aku pikir dia menikah dengan maa Karta karena dia jahat, ingin memoroti harta mas Karta tapi ternyata keadaan yang memaksanya melakukan ini ssmua," batin Indah yang melihat Gendis menunduk di depannya.

Perlahan Indah pun memeluk tubuh Gendis dengan lembut. Tangannya mengusap punggung Gendis yang saat itu memakai kebaya berwarna putih.

"Kamu yang sabar, ya. Kamu adalah gadis yang baik. Aku yakin kamu bisa melewati semuanya ini." Indah menghibur Gendis yang kini kembali menangis sesenggukan.

Nyatanya Gendis tak mampu menahan air matanya saat Indah menghibur dirinya. Itu justru membuat pertahanan air matanya jebol.

"Gendis, sudah siap belum, Nak? Kita sudah mau berangkat?" tanya Hartono menerobos masuk ke kamar Gendis dan melihat Gendis tengah berpelukan dengan Indah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status