Pagi di Melbourne menyapa dengan cahaya keemasan yang menembus tirai tipis kamar asrama Aurelia. Udara masih menusuk dingin, meski matahari sudah merangkak naik. Aurelia membuka matanya dengan kelopak yang masih berat.
Ia duduk perlahan, membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri. Sambil mengusap wajah, tangannya meraba nakas, meraih segelas air putih yang ia siapkan sejak semalam. Ia meneguknya pelan-pelan, menikmati kesegaran yang menenangkan tenggorokan keringnya.
Begitu pandangannya jatuh ke layar ponsel, ia teringat sesuatu. Pesan yang sempat tertunda semalam. Dengan gerakan malas, ia menyalakan layar. Benar saja, ada pesan dari Gian.
[Maaf, aku baru selesai. Apa kau sudah tidur?]
Aurelia menatap pesan itu tanpa ekspresi berarti. Hatinya seolah sudah kebal dengan kata-kata maaf yang terlalu sering mampir tanpa tindakan nyata. Bibirnya bergerak tipis, menggumamkan sesuatu yang hanya ia dengar sendiri. “Selalu maaf. Dan selalu terlambat.”
Aurelia buru-buru menyambar tas selempangnya. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih kunci kamar, lalu tanpa pikir panjang ia melangkah tergopoh-gopoh keluar dari asrama.Udara dingin menusuk kulit, tapi ia tak sempat peduli. Pandangannya segera tertuju pada mobil hitam mewah yang sudah terparkir rapi di sisi jalan. Mobil yang sama seperti kemarin—sudah menunggunya dengan aura berkelas yang mencolok di antara deretan kendaraan biasa.Seorang pria bersetelan rapi keluar dari kursi pengemudi. Ia bergegas membuka pintu belakang, membuat Aurelia sempat meringis canggung. Belum sepenuhnya terbiasa diperlakukan seformal itu, Aurelia menunduk sedikit sebelum masuk.“Bukannya kau bilang kita akan bertemu di restoran kemarin jam sepuluh nanti?” tanyanya begitu duduk, suaranya masih dibungkus ketergesaan.Alih-alih menjawab, sosok di sampingnya—Baskara—menoleh dengan senyum tipis. “Selamat pagi, Lia.”Aurelia sempat t
Pagi di Melbourne menyapa dengan cahaya keemasan yang menembus tirai tipis kamar asrama Aurelia. Udara masih menusuk dingin, meski matahari sudah merangkak naik. Aurelia membuka matanya dengan kelopak yang masih berat.Ia duduk perlahan, membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri. Sambil mengusap wajah, tangannya meraba nakas, meraih segelas air putih yang ia siapkan sejak semalam. Ia meneguknya pelan-pelan, menikmati kesegaran yang menenangkan tenggorokan keringnya.Begitu pandangannya jatuh ke layar ponsel, ia teringat sesuatu. Pesan yang sempat tertunda semalam. Dengan gerakan malas, ia menyalakan layar. Benar saja, ada pesan dari Gian.[Maaf, aku baru selesai. Apa kau sudah tidur?]Aurelia menatap pesan itu tanpa ekspresi berarti. Hatinya seolah sudah kebal dengan kata-kata maaf yang terlalu sering mampir tanpa tindakan nyata. Bibirnya bergerak tipis, menggumamkan sesuatu yang hanya ia dengar sendiri. “Selalu maaf. Dan selalu terlambat.”
“Maaf ya, Sayang. Ada masalah urgent. Nanti aku hubungi kembali.”Pesan singkat itu akhirnya terkirim juga. Gian memandang layar ponselnya beberapa detik lebih lama dari biasanya, seolah sedang berharap Aurelia tetap mengerti meski ia tahu, entah untuk yang keberapa kali, ia menunda waktu untuk sang istri. Jempolnya sempat ragu sebelum menekan tombol kirim, tetapi realitas di depannya tidak memberinya pilihan lain.Dengan tarikan napas panjang, Gian memasukkan ponselnya ke saku jas. Dunia nyata menuntut kehadirannya, bahkan saat ia ingin sekali memilih Aurelia di seberang samudra.Begitu langkahnya mendekati pintu utama, suara riuh mulai terdengar. Sorotan lampu kamera, percikan blitz, dan teriakan dari awak media memecah kesunyian rumah dinas yang biasanya teduh. “Pak Gian! Betul Anda bertemu Chef Devina tadi siang?!”“Apakah b
“Bu…” Gian menarik napas. “Memangnya Kenapa? Kenapa Ibu tanya begitu?”“Ibu dengar Devina datang ke kantormu. Saat makan siang,” jawab ibunya dengan tenang.Gian mengerjap. Jadi kabar itu sudah sampai ke telinga sang ibu. Ia memijat pangkal hidung, mengingat kembali tatap mata Devina di ruangannya—tenang, yakin, dan kalimat yang disuarakan tanpa berputar: Ceraikan Aurelia. Ia menolak di tempat.“Ya, dia datang,” ucap Gian akhirnya. “Tanpa janji. Membawa rantang, menawarkan makan siang. Kami hanya bicara sebentar.”“Sebentar?” Nyonya Lestari mengangkat alis. “Lalu … apa dia meminta sesuatu?”Gian menahan desah. “Dia ingin aku menceraika
Aurelia mengangguk sebagai isyarat bahwa ia menerima tawaran Baskara. Keputusan itu diiringi detak jantung yang terasa berdentum lebih keras daripada biasanya.Ia meneguhkan hatinya, mengingatkan diri bahwa pria ini bukan orang asing sepenuhnya. Ia adalah ayah dari Caca—murid les privatnya. Jadi, bukankah wajar jika ia percaya? Bukankah ada benang penghubung yang membuat hubungan mereka sedikit lebih aman?Namun, ketika mereka keluar dari restoran, sebuah kejutan kecil menyambutnya. Aurelia semula mengira Baskara sendiri yang akan mengemudi. Ternyata ia salah besar. Sebuah mobil hitam elegan sudah menunggu di depan pintu, dan seorang sopir berdiri sigap, membukakan pintu untuk mereka.Aurelia agak kikuk. Ia masuk ke dalam mobil, duduk di samping Baskara. Aroma kulit sintetis yang mahal memenuhi ruang sempit itu. Tanpa banyak bicara, Baskara segera mengeluarkan gawainya. Jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel, dan dalam sekejap ia sudah terlibat dal
Aurelia sontak berdiri dari kursi, tubuhnya terasa panas meski angin dingin dari ventilasi restoran berembus lembut. Wajahnya memerah, antara marah dan malu, matanya membelalak menatap pria di hadapannya.“Maaf, tapi aku sudah menikah. Dan aku rasa tidak pantas mendengar ucapan seperti itu,” katanya dengan suara bergetar namun tegas.Beberapa orang di meja sekitar sempat melirik ke arah mereka, membuat Aurelia semakin risih. Ia menunduk sebentar, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri.Sementara Baskara justru terkekeh kecil, wajahnya tenang, seolah menikmati reaksi Aurelia. “Hei, jangan salah paham. Maksudku bukan ke arah itu. Aku hanya bercanda,” ujarnya sambil mengangkat tangan seolah menyerah. “Kata ‘menarik’ yang kumaksud bukan soal pribadi… tapi karena aku baru terpikir, kau mungkin cocok jadi asistenku untuk sementara waktu.”Aurelia mengerutkan kening. “Asisten?” ulangny