Aurelia menatap orang yang berkata demikian sekali lagi, memastikan hal yang tadi membuatnya penasaran. Ia sampai harus mengedip cepat, khawatir matanya salah melihat.
“Jangan terlalu dipedulikan. Anggap saja itu sampah,” kata Basakara kemudian.
Aurelia mengangguk mengiyakan. Yang tadi hanyalah orang Indonesia biasa. Seorang pengguna yang tampaknya mungkin mengikuti fanbase seputar dunia bisnis dan sesekali sok tahu dengan apa yang terjadi.
“Ya ampun…” gumam Aurelia pelan. Ia menepuk jidat sendiri, menahan napas panjang, lalu mengembuskannya dengan keras. Wajahnya panas, campuran malu sekaligus lega, seperti orang yang baru sadar ketakutannya sia-sia belaka.
Pipi bulatnya ikut menggembung, mirip anak kecil yang kesal pada dirinya sendiri. Ia bahkan sempat melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikan betapa konyol ekspresinya saat itu.
Di hadapannya, Baskara masih duduk tenang, menatapnya tanpa ekspresi
Pelukan itu seharusnya mampu menenangkan hati Aurelia. Seharusnya bisa meredakan semua keraguan yang berputar di kepalanya. Namun, kenyataannya berbeda. Tubuhnya memang merasakan hangat, tetapi hatinya justru terasa dingin. Ia terdiam, membeku di dalam dekapan Gian yang begitu erat. Aroma lavender yang ia semprotkan pagi tadi kini memenuhi indera penciuman Gian, seolah mengunci semua kerinduan yang telah lama ia pendam.Namun, justru pada detik itulah Aurelia merasakan sesuatu yang retak. Dengan perlahan, ia mendorong dada Gian hingga jarak di antara mereka tercipta kembali. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan kata-kata.“Kenapa… kenapa kau kemari?” tanyanya lirih, tapi penuh getaran.Gian menelan ludah, rahangnya mengeras. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu. Dari tatapan Aurelia dirinya tahu betul bahwa istrinya itu senang, tetapi ada perasaan gelisah yang berusaha ditutupi sekuat mungkin.Aurelia tersenyum geti
Aurelia membeku di tempat. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika matanya menangkap sosok yang sama sekali tak ia sangka akan hadir di acara sebesar Melbourne Fashion ini.Gian. Ya, suaminya sendiri. Tepat di samping Gian, berdiri Devina—kakak kandungnya.Seketika tubuh Aurelia kaku. Tak sanggup ia menyembunyikan keterkejutannya. Kehadiran dua orang yang sangat dekat dengannya itu dalam satu waktu, satu ruang, membuat kepalanya berputar. Kenapa mereka bisa ada di sini? Pertanyaan itu menyesakkan dadanya.Sementara itu, Gian sama terkejutnya. Ia tak pernah membayangkan kalau Aurelia akan hadir di pertemuan bisnis semacam ini. Bukankah istrinya itu sedang sibuk mengikuti program persiapan belajar bahasa Inggris di kota ini? Begitu pikirnya. Namun kini, kenyataan di depan mata membuat kepalanya semakin berat. Terlebih k
“Bas, aku gugup,” cicit Aurelia, suaranya nyaris bergetar, seperti tangis yang tertahan di tenggorokan.Baskara, yang berdiri di sampingnya dengan tubuh tegap, hanya terkekeh kecil. Ada ketenangan dalam sorot matanya—tatapan teduh yang seolah mampu menyalurkan rasa percaya diri. Ia lalu meraih tangan Aurelia, menggenggamnya erat, lembut, sekaligus meneguhkan. “I trust you,” ujarnya pelan, penuh keyakinan. “Ingatlah, ini akan jadi momen berharga dalam hidupmu.”Aurelia memberengut, pipinya merona merah, campuran antara malu dan tegang. Ia menunduk sedikit, seakan berusaha menyembunyikan wajahnya. “Jangan bilang begitu,” rengeknya. “Kalau nanti aku hanya mempermalukanmu, bagaimana?”Baskara mengangkat bahu dengan enteng, senyumnya tipis tapi penuh wibawa. “Biarkan saja. Semua orang ada masanya. Semua masa ada orangnya. Tidak sela
Nyonya Lestari terdiam sebentar. Otaknya berpikir cepat, mencari celah untuk membantah, tetapi rasanya sulit. Anak laki-lakinya itu berdiri dengan tatapan begitu penuh harapan, seolah tidak ada satu pun kata yang bisa mengusik keyakinannya."Apa kau yakin?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris hanya bisikan.Gian mengangguk mantap. Sorot matanya tidak goyah sedikit pun. Ada dingin yang menusuk, tapi juga keyakinan membara di baliknya.Ibunya itu mengernyit, menimbang lagi. "Apa tidak sebaiknya kau bicarakan dulu dengan Aurelia? Apalagi tentang hubunganmu dengan—""Aku yakin, Bu." Gian memotong tanpa keraguan. Nada suaranya tegas, seolah tak memberi ruang untuk sang ibu menambahkan apapun. "Dia pernah bilang agar aku tidak menemuinya. Aku tidak melanggar itu. Aku ke sana memang karena ada urusan pekerjaan. Dan soal Devina..."
“Diamlah, Jer! Itu bukan urusanmu.”Nada tajam keluar dari bibir Baskara. Matanya menyipit, penuh ketegasan yang tak bisa ditawar. Tatapannya menusuk Jeremy yang berdiri congkak di hadapannya. Namun, begitu pandangan itu sempat beralih ke arah Aurelia dan Caca, sorotnya berubah seketika. Ada kelembutan yang muncul begitu saja, seolah dua sosok di hadapannya itu terlalu rapuh untuk disentuh oleh komentar sinis yang baru saja dilemparkan.Jeremy justru tertawa kecil, terbahak pelan dengan nada mengejek. Suara tawanya bergema samar di ruang keberangkatan bandara yang penuh dengan hiruk-pikuk orang berlalu-lalang. “Ayolah, Bas! Kau itu bisa melakukan apa saja. Kalau kau mau, rebut saja dia dari penerus Mahesa Group yang masih ingusan itu.”Baskara terdiam, menahan emosi yang nyaris meluap. Rahangnya mengeras, gigi terkatup rapat. Ia tahu Jeremy memang senang menguji kesabaran, suka menyinggung hal-hal pribadi hanya demi melihat reaksinya. Tap
Baskara berdiri di depan jendela apartemennya, menatap cahaya pagi Melbourne yang lembut menembus tirai tipis. Udara sejuk menguar, membawa aroma roti panggang dari dapur. Senyum merekah di bibirnya ketika langkah kecil terdengar mendekat.“Papa…” suara itu lirih, manja, khas seorang anak baru bangun tidur.Baskara menoleh. Caca, dengan rambut sedikit berantakan dan mata setengah terpejam, berjalan sambil menyeret boneka kelincinya. Pemandangan itu membuat hatinya menghangat.“Good morning, Princess-nya Papa,” ucap Baskara lembut. Ia mendekat, mengangkat tubuh mungil itu, lalu menempelkannya ke dadanya. “Apa tidurmu nyenyak, hmm?”Caca mengangguk kecil, masih malas-malasan. “Tapi …aku lapar.”“Baiklah. Ayo kita sarapan, Sayang.”Mereka pun menuju meja makan. Di atas meja sudah tersaji sandwich sederhana yang Baskara buat sebelum Caca terbangun—isi telur, selada,