Share

2. Awal Malapetaka

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-18 17:55:58

Aurelia tak tidur semalaman. Matanya menatap langit-langit kamar yang retaknya membentuk pola aneh, seperti jaring laba-laba yang menjebaknya perlahan. Ia merasa terperangkap—dan hari ini, jaring itu menariknya ke pusat kehancuran.

Kalimat terakhir dari Devina terngiang di benaknya seperti mantra. Ucapan yang menggali lubang dalam batinnya, menjadikannya kosong.

Dan pagi ini, ia berjalan menuju pelaminan bukan karena cinta, tetapi karena paksaan. Seperti boneka kayu yang ditarik paksa ke tengah panggung, diiringi musik dan tawa palsu para tamu.

Di halaman, semua terlihat sempurna, kecuali dirinya.

"Ini satu-satunya jalan, Lia. Tolong selamatkan keluarga kita," ucap Bu Mirna saat masuk ke kamar tadi. Tangannya sempat membelai bahu Aurelia, tapi tak benar-benar terasa hangat. Lebih seperti pengingat bahwa tak ada pilihan lain.

Aurelia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih. Sanggul rapi. Riasan sempurna. Tapi matanya? Kosong, tak ada kehidupan di sana. Bahkan bukan kesedihan—lebih parah: ketidakberdayaan yang nyaris menyerupai kematian batin.

Gian sudah berdiri di sana. Dan untuk sesaat—dunia di sekitar Aurelia membisu. 

Pria itu jauh dari bayangan mengerikan yang selama ini menghantuinya. Ia tegak, anggun, dan... menawan. Setelan jas hitamnya pas di tubuh tinggi yang tegap. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan wajah tajam dengan rahang kuat dan hidung tinggi. Kulitnya terang, kontras dengan matanya yang pekat.

Namun, bukan itu yang membuat Aurelia tercekat. Senyuman tipis di sudut bibirnya. Bukan senyum hangat, tetapi juga bukan senyum sinis. Hanya... datar. Seolah ia tahu betul perannya hari ini dan tidak butuh siapa pun untuk menilainya.

Ijab kabul berlangsung cepat.

"Saya terima …" jawab Gian. Suaranya rendah, padat, dan tak menyisakan ruang untuk keraguan.

Saat mereka duduk berdampingan, kamera-kamera menyalak. Aurelia tersenyum atau mencoba memaksakan kedua sudut bibirnya untuk melebar. Rasanya seperti menarik kulit pipi sendiri dengan kawat berduri.

Uluran tangan Gian terasa seperti logam dingin. Terlalu dingin untuk seorang pengantin baru.

Malam hari pun tiba. Kamar pengantin begitu mewah, tetapi terlalu sunyi. Tak ada suara, tak ada bunga, tak ada tawa. Bahkan pelayan pun tak muncul. Seolah seluruh dunia berhenti, menyisakan Aurelia sendirian di tengah rumah besar yang asing dan... dingin.

Aurelia membuka gaunnya perlahan, seperti membuka lapisan luka. Saat duduk di depan meja rias, niatnya hanya melepas anting. Namun, sudut matanya menangkap laci yang terbuka sedikit. Ada sesuatu yang mengintip dari dalam.

Ia ragu. Tapi rasa ingin tahu lebih kuat.

Di dalamnya ada botol-botol kecil yang ternyata berisi obat. Aurelia membaca labelnya perlahan. Disfungsi ereksi. Napasnya tercekat. Dan di bawahnya... Foto seorang perempuan. Wajahnya dicoret hitam dengan pulpen. Robek di ujung. Seperti dilukai dengan sengaja. Devina.

Klik.

Pintu kamar menutup sendiri. Suara kecil, tapi membuat tubuh Aurelia menegang. Dari sudut gelap ruangan, suara langkah terdengar. Tenang. Berat.

Gian muncul dari balik bayangan. Diam. Tanpa satu kata pun. Tatapannya menusuk. Bukan kemarahan. Bukan juga kekecewaan. Tapi sesuatu yang lebih mengerikan: kehampaan.

Ia mengambil satu botol obat dari laci, melihatnya sejenak, lalu melemparkannya ke tong sampah. Keras. Denting kaca pecah menampar kesunyian. Kemudian ia duduk di sofa, membuka dasi dengan gerakan lambat. Melemparkannya ke lantai. Mengambil rokok dari saku dalam jasnya.

Satu tarikan. Lalu embusan pelan ke udara. Tak ada kata.

Aurelia hanya berdiri. Kaku. Tak tahu harus berbuat apa. Ia membuka mulut. Namun, Gian mengangkat tangan sedikit—gerakan sederhana, tetapi cukup membuatnya membeku. Isyarat tegas untuk diam.

Lalu pria itu berdiri. Melangkah ke balkon. Hening. Seperti bayangan yang tak pernah ingin dimengerti.

Lima belas menit kemudian, Gian masuk lagi. Mengambil botol air, meneguknya, lalu duduk di sofa. Tidak mendekat ke ranjang. Tidak menatap.

Aurelia mencoba bicara, suara lirihnya pecah, “Kita... tidur di tempat yang sama atau—”

Sebuah tatapan singkat menghentikannya. Tatapan kosong, tetapi cukup mengikis keberanian.

Tanpa menjawab, Gian bangkit. Mengambil bantal dan selimut. Meletakkannya di sofa panjang. Di sanalah pria itu kemudian berbaring.

Aurelia masih mematung di tempat. Suara detak jam di dinding terdengar begitu lantang, menandai keheningan yang menggantung seperti kabut. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dada yang entah karena gugup... atau takut.

Sementara itu Gian berbaring membelakangi kamar, tubuhnya menyatu dengan gelap. Ia tak bicara, tetapi kehadirannya tetap memenuhi ruang.

Aurelia melangkah perlahan ke ranjang, duduk di pinggirnya, memandangi lantai sejenak sebelum akhirnya berbaring memunggungi arah sofa.

Tak ada yang tahu, bahwa di antara mereka ada jarak lebih dingin dari musim mana pun. Lama mereka diam dalam posisi masing-masing. Tapi sebelum Aurelia sempat terlelap, suara pelan terdengar dari arah sofa.

"Lain kali... jangan buka laci itu lagi," ucap Gian lirih, hampir seperti gumaman, tapi penuh peringatan.

Aurelia membeku di tempatnya. Hening menggantung di antara mereka, begitu tebal hingga suara detak jam di dinding terdengar seperti gemuruh.

Pelan-pelan, ia memberanikan diri berkata, “Itu... yang tadi foto Kak Devina, ‘kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   314. Lima Tahun Kemudian (Tamat)

    "Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   313. Semua Orang Berhak Bahagia

    Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   312. Surat Undangan??

    Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   311. Yang Ini Beda

    "Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   310. Selamat ya!!

    Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   309. Saat Yang Menegangkan

    Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status