Aurelia tak tidur semalaman. Matanya menatap langit-langit kamar yang retaknya membentuk pola aneh, seperti jaring laba-laba yang menjebaknya perlahan. Ia merasa terperangkap—dan hari ini, jaring itu menariknya ke pusat kehancuran.
Kalimat terakhir dari Devina terngiang di benaknya seperti mantra. Ucapan yang menggali lubang dalam batinnya, menjadikannya kosong.
Dan pagi ini, ia berjalan menuju pelaminan bukan karena cinta, tetapi karena paksaan. Seperti boneka kayu yang ditarik paksa ke tengah panggung, diiringi musik dan tawa palsu para tamu.
Di halaman, semua terlihat sempurna, kecuali dirinya.
"Ini satu-satunya jalan, Lia. Tolong selamatkan keluarga kita," ucap Bu Mirna saat masuk ke kamar tadi. Tangannya sempat membelai bahu Aurelia, tapi tak benar-benar terasa hangat. Lebih seperti pengingat bahwa tak ada pilihan lain.
Aurelia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih. Sanggul rapi. Riasan sempurna. Tapi matanya? Kosong, tak ada kehidupan di sana. Bahkan bukan kesedihan—lebih parah: ketidakberdayaan yang nyaris menyerupai kematian batin.
Gian sudah berdiri di sana. Dan untuk sesaat—dunia di sekitar Aurelia membisu.
Pria itu jauh dari bayangan mengerikan yang selama ini menghantuinya. Ia tegak, anggun, dan... menawan. Setelan jas hitamnya pas di tubuh tinggi yang tegap. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan wajah tajam dengan rahang kuat dan hidung tinggi. Kulitnya terang, kontras dengan matanya yang pekat.
Namun, bukan itu yang membuat Aurelia tercekat. Senyuman tipis di sudut bibirnya. Bukan senyum hangat, tetapi juga bukan senyum sinis. Hanya... datar. Seolah ia tahu betul perannya hari ini dan tidak butuh siapa pun untuk menilainya.
Ijab kabul berlangsung cepat.
"Saya terima …" jawab Gian. Suaranya rendah, padat, dan tak menyisakan ruang untuk keraguan.
Saat mereka duduk berdampingan, kamera-kamera menyalak. Aurelia tersenyum atau mencoba memaksakan kedua sudut bibirnya untuk melebar. Rasanya seperti menarik kulit pipi sendiri dengan kawat berduri.
Uluran tangan Gian terasa seperti logam dingin. Terlalu dingin untuk seorang pengantin baru.
Malam hari pun tiba. Kamar pengantin begitu mewah, tetapi terlalu sunyi. Tak ada suara, tak ada bunga, tak ada tawa. Bahkan pelayan pun tak muncul. Seolah seluruh dunia berhenti, menyisakan Aurelia sendirian di tengah rumah besar yang asing dan... dingin.
Aurelia membuka gaunnya perlahan, seperti membuka lapisan luka. Saat duduk di depan meja rias, niatnya hanya melepas anting. Namun, sudut matanya menangkap laci yang terbuka sedikit. Ada sesuatu yang mengintip dari dalam.
Ia ragu. Tapi rasa ingin tahu lebih kuat.
Di dalamnya ada botol-botol kecil yang ternyata berisi obat. Aurelia membaca labelnya perlahan. Disfungsi ereksi. Napasnya tercekat. Dan di bawahnya... Foto seorang perempuan. Wajahnya dicoret hitam dengan pulpen. Robek di ujung. Seperti dilukai dengan sengaja. Devina.
Klik.
Pintu kamar menutup sendiri. Suara kecil, tapi membuat tubuh Aurelia menegang. Dari sudut gelap ruangan, suara langkah terdengar. Tenang. Berat.
Gian muncul dari balik bayangan. Diam. Tanpa satu kata pun. Tatapannya menusuk. Bukan kemarahan. Bukan juga kekecewaan. Tapi sesuatu yang lebih mengerikan: kehampaan.
Ia mengambil satu botol obat dari laci, melihatnya sejenak, lalu melemparkannya ke tong sampah. Keras. Denting kaca pecah menampar kesunyian. Kemudian ia duduk di sofa, membuka dasi dengan gerakan lambat. Melemparkannya ke lantai. Mengambil rokok dari saku dalam jasnya.
Satu tarikan. Lalu embusan pelan ke udara. Tak ada kata.
Aurelia hanya berdiri. Kaku. Tak tahu harus berbuat apa. Ia membuka mulut. Namun, Gian mengangkat tangan sedikit—gerakan sederhana, tetapi cukup membuatnya membeku. Isyarat tegas untuk diam.
Lalu pria itu berdiri. Melangkah ke balkon. Hening. Seperti bayangan yang tak pernah ingin dimengerti.
Lima belas menit kemudian, Gian masuk lagi. Mengambil botol air, meneguknya, lalu duduk di sofa. Tidak mendekat ke ranjang. Tidak menatap.
Aurelia mencoba bicara, suara lirihnya pecah, “Kita... tidur di tempat yang sama atau—”
Sebuah tatapan singkat menghentikannya. Tatapan kosong, tetapi cukup mengikis keberanian.
Tanpa menjawab, Gian bangkit. Mengambil bantal dan selimut. Meletakkannya di sofa panjang. Di sanalah pria itu kemudian berbaring.
Aurelia masih mematung di tempat. Suara detak jam di dinding terdengar begitu lantang, menandai keheningan yang menggantung seperti kabut. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dada yang entah karena gugup... atau takut.
Sementara itu Gian berbaring membelakangi kamar, tubuhnya menyatu dengan gelap. Ia tak bicara, tetapi kehadirannya tetap memenuhi ruang.
Aurelia melangkah perlahan ke ranjang, duduk di pinggirnya, memandangi lantai sejenak sebelum akhirnya berbaring memunggungi arah sofa.
Tak ada yang tahu, bahwa di antara mereka ada jarak lebih dingin dari musim mana pun. Lama mereka diam dalam posisi masing-masing. Tapi sebelum Aurelia sempat terlelap, suara pelan terdengar dari arah sofa.
"Lain kali... jangan buka laci itu lagi," ucap Gian lirih, hampir seperti gumaman, tapi penuh peringatan.
Aurelia membeku di tempatnya. Hening menggantung di antara mereka, begitu tebal hingga suara detak jam di dinding terdengar seperti gemuruh.
Pelan-pelan, ia memberanikan diri berkata, “Itu... yang tadi foto Kak Devina, ‘kan?”
Pagi itu, dapur rumah terasa hening. Hanya suara detik jam dinding dan bisik embusan AC yang terdengar.Aurelia duduk di kursi makan, mengenakan kemeja putih longgar dan celana linen abu, dengan rambut dikuncir asal. Tak ada aroma roti panggang. Tak ada telur rebus. Apalagi nasi goreng seperti biasanya.Di atas meja hanya ada satu cangkir teh melati hangat, uapnya naik perlahan seperti napas yang ditahan terlalu lama.Gian keluar dari kamar dengan iPad di tangan. Dasi belum terikat sempurna, tapi matanya terpaku pada layar. Ada grafik. Ada pesan. Ada target. Ada pesan dari Kirana juga di sana.“Pagi,” katanya pendek.“Pagi,” jawab Aurelia.Gian duduk, tak lupa tersenyum pada istrinya walaupun sekilas. Dia lantas mengambil teh itu tanpa banyak tanya, menyeruput sedikit. Tak ada komentar soal sarapan yang hilang. Tak ada pujian. Tak juga protes. Dia mengira istrinya sibuk. Atau sedang malas. Dan ia pun maklum.Namun, satu hal yang tak dia tahu—Aurelia sedang diam-diam bertarung dalam pi
Pagi itu, matahari sudah tinggi ketika Aurelia keluar dari kamar, rambutnya dikuncir sederhana dan wajahnya tanpa riasan. Tapi ada sesuatu di matanya yang tidak biasa—penuh pikir, seperti seseorang yang berjalan sambil membawa pertanyaan.Pikirannya masih tertinggal pada pesan Kirana beberapa saat lalu. Dua foto. Satu pertanyaan. Dan senyum emoji yang seolah tak berdosa.Aurelia menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dan dompet kecil.Dia menatap dapur sejenak, lalu menghela napas pelan."Buat omelet saja bisa gosong. Bawa makanan buatan sendiri? Mimpi kali." Itulah yang ada di benaknya sekarang. Sesaat dirinya meragu. Apa benar dia sudah menjadi istri idaman?Akhirnya, ia memutuskan mampir ke restoran cepat saji di seberang kompleks. Memesan paket makan siang—nasi ayam, kentang goreng, dan minuman soda kalengan. Tidak istimewa. Tapi setidaknya, hanga
Lampu gantung ruang makan memancarkan cahaya kuning hangat, tetapi suasana itu tidak menjalar ke dua orang yang duduk saling berhadapan di meja makan. Piring mereka nyaris tak tersentuh. Hanya dentingan sendok sesekali memecah keheningan.Aurelia menyendok nasi, tapi hanya untuk memindahkannya ke sisi piring. Sementara Gian tampak sibuk dengan potongan ayam di hadapannya, memotong dengan presisi yang terlalu tenang untuk suasana yang dingin ini.Mereka tak bertukar pandang. Tak bertukar kata. Seolah kata-kata telah membeku bersama amarah yang tertahan.Sampai akhirnya Aurelia menegakkan punggungnya. Suaranya terdengar pelan tapi tegas, seperti letupan yang sudah terlalu lama mendidih."Iya iya. Aku akan bilang ke Nathan… bahwa kau adalah suamiku."Gian tidak langsung menoleh. Ia hanya berhenti memotong ayamnya, lalu menghela napas sebelum berucap pelan, nyaris seperti gumaman."Akhirnya aku diakui juga."Aurelia mendengus. Matanya menatap Gian dengan kesal."Itu saja? Tidak ada hal lai
Aurelia yang semula rebahan dengan tenang di tempat tidur, refleks menegakkan tubuhnya. Pandangannya menatap layar itu tanpa berkedip. Tiba-tiba perutnya yang baru saja diisi susu dan roti terasa mual lagi, bukan karena makanan… tapi karena satu nama.Gian menghela napas pelan, lalu mengangkat ponselnya sambil berjalan ke balkon kecil di samping ruang kerja. Ia bicara dengan suara rendah, terdengar formal, dan cepat.Aurelia tidak mendengar jelas, tapi dari raut wajah suaminya, jelas tidak ada hal mencurigakan. Namun tetap saja, dadanya terasa sesak. Ia tahu dirinya sedang berlebihan. Kirana toh hanya asisten pribadi Gian. Tapi kenangan tentang wanita itu—dengan tubuh ramping, gaun pas badan, dan senyum yang terlalu profesional—masih membekas jelas dalam ingatannya.Beberapa menit kemudian, Gian kembali masuk kamar. Ponselnya sudah dimasukkan ke
Uap hangat memenuhi kamar mandi. Embun mulai terbentuk di cermin besar di atas wastafel. Cahaya matahari pagi yang masuk lewat kisi-kisi jendela menciptakan bias lembut yang menari di dinding marmer putih.Gian memutar keran air, memastikan suhunya cukup hangat. Saat suara gemericik mengalun, ia menoleh pada Aurelia—yang berdiri di ambang pintu dengan ragu. Tubuhnya masih terbungkus handuk tipis. Rambutnya kusut, dan pipinya tampak merah karena malu, bukan karena uap.Jangan tanyakan sudah berapa kali terdengar kalimat penolakan darinya. Namun, Gian seolah menulikan pendengarannya. Pria itu malah menyiapkan segala kebutuhan mandi mereka dengan suka cita.“Masuklah,” ucap Gian pelan.Aurelia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk. Langkahnya pelan, seakan setiap gerakan menuntut keberanian baru. Gian membantunya melepas handuk, lalu menggantungnya di sisi dinding. Ia tidak
Aurelia masih berdiri membeku di belakang tubuh Gian, berusaha menyembunyikan wajah yang sekarang rasanya seperti mendidih. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Seluruh badannya panas—bukan karena udara, tetapi karena malu yang tak terbendung.Sementara Gian, berdiri di hadapan layar infokus yang memantulkan wajah-wajah bawahannya, berusaha menjaga ekspresi setenang mungkin."Maaf, saya matikan video sebentar. Ada gangguan kecil," katanya, dengan senyum profesional yang nyaris tak terlihat dipaksakan.Tanpa menunggu tanggapan, Gian menekan tombol video off di laptop. Seluruh ruangan kembali ke keheningan, hanya suara kipas laptop dan napas cepat Aurelia yang terdengar. Gian memutar tubuhnya perlahan, menatap wanita yang kini meringkuk di balik punggungnya.Aurelia menutup wajah dengan kedua tangan. "Ya Tuhan, aku ingin menghilang sekarang juga..."Gian menahan tawa yang hampir pecah, lalu menarik Aurelia ke dalam pelukan. Kedua telapak tangan besarnya kemudian membingkai w