Share

Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku
Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku
Author: A mum to be

1. Menjadi Tumbal

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-18 17:55:31

"Kau harus menggantikan kakakmu untuk menikah dengan Tuan Gian."

Kalimat itu meluncur dari mulut sang ayah dengan dingin yang menusuk tulang. Seolah-olah ia baru saja meminta untuk membeli garam ke warung, bukan… menyerahkan hidup putrinya pada seorang pria asing.

Aurelia baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir saat kata-kata itu menghantamnya. Jantungnya mencelos. Ia menatap ayah dan ibu yang duduk di ruang tamu dengan ekspresi lebih pucat dari dinding rumah. Di meja, setumpuk undangan pernikahan berserakan seperti sisa-sisa medan perang. Nama sang kakak dan calon suaminya sudah tercetak jelas di sana.

"Apa maksud Ayah?" suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan dalam kabut mimpi buruk yang menolak berakhir.

Bu Mirna, yang wajahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun hanya dalam semalam, menyeka air mata dengan tisu kusut. Ia tak sanggup menatap putrinya. "Kakakmu menelepon dari Jepang dan mengatakan tidak bisa menikah."

Aurelia melangkah maju, tak percaya. “Kak Devina… bilang begitu? Kenapa?”

Ayah mengangguk, rahangnya mengeras, lalu menyahut, “Tidak tahu, dan tidak ada waktu lagi untuk tetap memaksa kakakmu. Jadi, kau harus menggantikannya.”

“Kenapa harus aku? Aku bahkan tidak mengenal pria itu,” bisik Aurelia, nyaris tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai gemetar.

Ayah menatapnya, matanya tajam seperti penghakiman. “Karena hanya kau yang tersisa. Kita tidak punya waktu, Lia. Keluarga Tuan Gian marah besar. Mereka menuntut ganti rugi dua kali lipat dari seluruh biaya pernikahan. Kalau kita tidak bertindak… habislah semuanya.”

“Tabungan, rumah, toko ayahmu… semua akan lenyap,” tambah Ibu dengan suara lemah. “Dan bukan hanya itu. Nama baik keluarga kita akan hancur. Jadi satu-satunya cara adalah kau yang harus menggantikan Devina.”

Aurelia tertawa getir. Bukan karena lucu, tapi karena betapa konyolnya dunia yang ia tinggali. “Jadi karena satu orang melarikan diri, orang lainnya harus dikorbankan? Kenapa sejak dulu selalu aku yang harus jadi tumbal kalian?”

“Aurelia, jangan dramatis. Ini bukan soal kau atau Devina. Ini soal keluarga,” ucap ayahnya itu lagi.

“Dramatis??” suara Aurelia meninggi. “Aku disuruh menikah dengan pria asing dan Ayah bilang aku dramatis?”

Ibu menggenggam tangannya erat. “Kau gadis baik, Lia. Kami percaya kau bisa menjalani ini. Lagipula Tuan Gian tidak menolak. Itu artinya dia siap menerimamu.”

“Tapi aku yang tidak siap menerima dia!” bentaknya, kali ini air mata menetes begitu saja. “Aku bukan alat tukar! Aku bukan… tumbal!”

Ayah berdiri, tubuhnya menegas. “Cukup. Kita sudah membicarakan ini. Kau akan menikah minggu depan.”

Tak ada ruang untuk diskusi. Tak ada yang peduli pada jawabannya. Aurelia merasa seperti pion dalam permainan catur besar—dikorbankan demi raja dan ratu yang ingin menang. Tidak lebih dari sekadar angka statistik dalam rapor keluarga.

***

Malam itu, Aurelia berbaring menyamping di ranjangnya, membelakangi jendela yang terbuka sedikit. Angin malam masuk pelan, menggoyangkan tirai tipis seperti bisikan hantu. Matanya menatap layar ponsel yang kosong, tidak ada balasan, tidak ada panggilan.

Beberapa pesan terakhir kepada Devina masih terbuka:

[Kak, tolong jawab. Aku mohon, jangan lakukan ini ke aku. Aku nggak ngerti kenapa Kakak kabur, tapi ini gila… Ayah nyuruh aku gantiin Kakak nikah sama pria yang aku bahkan nggak kenal.]

Aurelia memejamkan mata. Tapi tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan.

Panggilan masuk dari kakaknya.

Dengan tangan gemetar, Aurelia menggeser layar. “Hallo?”

“Lia…” suara Devina terdengar pelan dan serak. Seperti seseorang yang menahan tangis terlalu lama.

“Kenapa, Kak?” suara Aurelia langsung pecah. “Kenapa Kakak pergi? Kenapa Kakak tinggalin semua ini ke aku?”

“Aku minta maaf…” bisik Devina. “Aku tahu kau pasti marah. Aku tahu aku pengecut…”

“Kakak nggak tahu apa-apa!” seru Aurelia, suara meninggi. “Ayah suruh aku nikah minggu depan! Tanpa tanya, tanpa pilihan. Aku bukan Kakak, Kak. Aku nggak bisa—”

“Lia…” potong Devina, suaranya mulai bergetar. “Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak tahu harus gimana. Aku… aku nggak sanggup.”

“Kenapa?” desak Aurelia. “Apa sesulit itu? Setidaknya Kakak harus jelasin sesuatu! Jangan cuma kabur dan biarin aku ditumbalin terus-terusan demi keluarga! Ini nggak adil, Kak!”

Devina terdiam sejenak. Di ujung sana hanya terdengar napasnya yang berat, seperti mencoba menahan sesuatu yang terlalu besar.

Beberapa detik kemudian, dengan suara hampir berbisik, akhirnya ia berkata:

“Kak, tolong, sekali ini saja berhenti untuk jadiin aku tumbal kalian,” pinta Aurelia lagi setelah beberapa saat tidak kunjung mendapat sahutan dari kakaknya.

“Maaf, Lia, tapi kali ini aku benar-benar nggak bisa. Jadi, tolong Lia. Ini demi keluarga kita,” kata Devina di seberang.

Aurelia tertawa getir, lalu berkata, “Nggak ada keluarga yang merenggut hidup anggota keluarganya, Kak!”

Devina terdiam, tidak bisa menjawab ucapan adiknya.

“Lia, tapi dia keluarga kaya, kau pasti bisa bahagia kalau menikah dengannya,” kata Davina akhirnya.

“Kalau begitu kenapa bukan Kakak saja yang menikah dengannya? Kakak sudah mengenalnya, sudah tahu dia orangnya seperti apa, kenapa malah membatalkannya?!” gerutu Aurelia.

Saat ini, untuk menangis saja Aurelia tidak bisa. Perasaannya sudah campur aduk, sampai bingung harus mengekspresikan yang mana dulu. Selama ini, jalan hidupnya telah banyak direnggut keluarganya sendiri, dipaksa berkorban demi keluarga, sementara untuk dirinya sendiri harus banyak mengalah.

“Kakak nggak bisa menikah dengan Tuan Gian, Lia,” jawab Devina yang membuat Aurelia semakin muak.

“Iya kenapa nggak bisa, Kak? Apa alasannya?!” sahut Aurelia dengan suara semakin keras. Ia tak bisa menahan emosinya lagi.

“Karena Tuan Gian pria mengerikan, kasar, berhati dingin, dan yang paling penting … dia impoten.”

Klik.

Telepon tiba-tiba terputus.

Aurelia menatap layar ponsel yang kembali gelap, tangannya masih menggenggam erat seperti tak percaya.

Kalimat terakhir dari kakaknya terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin tak karuan.

Aurelia merasa, hidupnya benar-benar gila. Tiba-tiba dipaksa menikah dengan pria asing, dan ternyata pria itu kejam?

Bahkan, impoten?

Ini gila!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   51. Harus Pintar Jadi Istri

    "Pokoknya jangan mau kalah. Harus pinter-pinter jadi istri. Cowok tuh bakalan aman kalau kita sebagai cewek bisa muasin matanya, perutnya, dan tititnya."“Ti-tit?” Aurelia mengerutkan keningnya.“Burung, Lia. Burung yang ada di sangkarnya yang itu loh. Ngerti dong ya? Secara ‘kan kau sudah menikah.”Begitulah pesan terakhir Wulan sebelum mereka berpisah di gerbang kampus tadi. Suaranya lantang, tanpa filter, membuat beberapa mahasiswa lain yang lewat sempat melirik ke arah mereka. Tapi Wulan cuek. Sementara Aurelia hanya bisa terkekeh canggung, meski di dalam hati… kata-kata itu menancap dalam.Kalimat tersebut terus menggema bahkan saat ia sudah berada di rumah, berganti pakaian santai dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Ia melirik bayangannya sendiri di cermin: wajah polos tanpa riasan, kulit sedikit kusam karena begadang.Apa aku sudah cukup memuaskan mata suamiku? pikirnya pelan. Dan untuk urusan perut jelas belum.Aurelia mendengus kecil membayangkan ketidaksempurnaan yang ia m

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   50. Tentang Batasan Kerja

    Pagi itu, dapur rumah terasa hening. Hanya suara detik jam dinding dan bisik embusan AC yang terdengar.Aurelia duduk di kursi makan, mengenakan kemeja putih longgar dan celana linen abu, dengan rambut dikuncir asal. Tak ada aroma roti panggang. Tak ada telur rebus. Apalagi nasi goreng seperti biasanya.Di atas meja hanya ada satu cangkir teh melati hangat, uapnya naik perlahan seperti napas yang ditahan terlalu lama.Gian keluar dari kamar dengan iPad di tangan. Dasi belum terikat sempurna, tapi matanya terpaku pada layar. Ada grafik. Ada pesan. Ada target. Ada pesan dari Kirana juga di sana.“Pagi,” katanya pendek.“Pagi,” jawab Aurelia.Gian duduk, tak lupa tersenyum pada istrinya walaupun sekilas. Dia lantas mengambil teh itu tanpa banyak tanya, menyeruput sedikit. Tak ada komentar soal sarapan yang hilang. Tak ada pujian. Tak juga protes. Dia mengira istrinya sibuk. Atau sedang malas. Dan ia pun maklum.Namun, satu hal yang tak dia tahu—Aurelia sedang diam-diam bertarung dalam pi

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   49. Pikiran Yang Mengganggu

    Pagi itu, matahari sudah tinggi ketika Aurelia keluar dari kamar, rambutnya dikuncir sederhana dan wajahnya tanpa riasan. Tapi ada sesuatu di matanya yang tidak biasa—penuh pikir, seperti seseorang yang berjalan sambil membawa pertanyaan.Pikirannya masih tertinggal pada pesan Kirana beberapa saat lalu. Dua foto. Satu pertanyaan. Dan senyum emoji yang seolah tak berdosa.Aurelia menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dan dompet kecil.Dia menatap dapur sejenak, lalu menghela napas pelan."Buat omelet saja bisa gosong. Bawa makanan buatan sendiri? Mimpi kali." Itulah yang ada di benaknya sekarang. Sesaat dirinya meragu. Apa benar dia sudah menjadi istri idaman?Akhirnya, ia memutuskan mampir ke restoran cepat saji di seberang kompleks. Memesan paket makan siang—nasi ayam, kentang goreng, dan minuman soda kalengan. Tidak istimewa. Tapi setidaknya, hanga

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   48. Tidak Salah Orang

    Lampu gantung ruang makan memancarkan cahaya kuning hangat, tetapi suasana itu tidak menjalar ke dua orang yang duduk saling berhadapan di meja makan. Piring mereka nyaris tak tersentuh. Hanya dentingan sendok sesekali memecah keheningan.Aurelia menyendok nasi, tapi hanya untuk memindahkannya ke sisi piring. Sementara Gian tampak sibuk dengan potongan ayam di hadapannya, memotong dengan presisi yang terlalu tenang untuk suasana yang dingin ini.Mereka tak bertukar pandang. Tak bertukar kata. Seolah kata-kata telah membeku bersama amarah yang tertahan.Sampai akhirnya Aurelia menegakkan punggungnya. Suaranya terdengar pelan tapi tegas, seperti letupan yang sudah terlalu lama mendidih."Iya iya. Aku akan bilang ke Nathan… bahwa kau adalah suamiku."Gian tidak langsung menoleh. Ia hanya berhenti memotong ayamnya, lalu menghela napas sebelum berucap pelan, nyaris seperti gumaman."Akhirnya aku diakui juga."Aurelia mendengus. Matanya menatap Gian dengan kesal."Itu saja? Tidak ada hal lai

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   47. Sama-Sama Cemburu

    Aurelia yang semula rebahan dengan tenang di tempat tidur, refleks menegakkan tubuhnya. Pandangannya menatap layar itu tanpa berkedip. Tiba-tiba perutnya yang baru saja diisi susu dan roti terasa mual lagi, bukan karena makanan… tapi karena satu nama.Gian menghela napas pelan, lalu mengangkat ponselnya sambil berjalan ke balkon kecil di samping ruang kerja. Ia bicara dengan suara rendah, terdengar formal, dan cepat.Aurelia tidak mendengar jelas, tapi dari raut wajah suaminya, jelas tidak ada hal mencurigakan. Namun tetap saja, dadanya terasa sesak. Ia tahu dirinya sedang berlebihan. Kirana toh hanya asisten pribadi Gian. Tapi kenangan tentang wanita itu—dengan tubuh ramping, gaun pas badan, dan senyum yang terlalu profesional—masih membekas jelas dalam ingatannya.Beberapa menit kemudian, Gian kembali masuk kamar. Ponselnya sudah dimasukkan ke

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   46. Mandi Bersama

    Uap hangat memenuhi kamar mandi. Embun mulai terbentuk di cermin besar di atas wastafel. Cahaya matahari pagi yang masuk lewat kisi-kisi jendela menciptakan bias lembut yang menari di dinding marmer putih.Gian memutar keran air, memastikan suhunya cukup hangat. Saat suara gemericik mengalun, ia menoleh pada Aurelia—yang berdiri di ambang pintu dengan ragu. Tubuhnya masih terbungkus handuk tipis. Rambutnya kusut, dan pipinya tampak merah karena malu, bukan karena uap.Jangan tanyakan sudah berapa kali terdengar kalimat penolakan darinya. Namun, Gian seolah menulikan pendengarannya. Pria itu malah menyiapkan segala kebutuhan mandi mereka dengan suka cita.“Masuklah,” ucap Gian pelan.Aurelia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk. Langkahnya pelan, seakan setiap gerakan menuntut keberanian baru. Gian membantunya melepas handuk, lalu menggantungnya di sisi dinding. Ia tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status