Mag-log inGian tidak menjawab. Hanya kesunyian panjang yang menggantung di udara, menyerap seluruh keberanian yang tersisa dari tubuh Aurelia. Ia memejamkan mata, berharap jawaban, penjelasan—apa pun. Tapi yang datang hanyalah suara gesekan kain saat Gian berbalik di sofanya.
Beberapa menit berlalu. Lalu terdengar suara pelan, lirih nyaris tak terdengar.
"Sudah terlalu banyak luka dari masa lalu. Kau tidak perlu tahu semuanya malam ini."
Setelah itu, hanya detak jam yang menjawab.
Hujan turun deras saat mobil hitam itu berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi. Aurelia memandangi bangunan tiga lantai bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di balik gerbang. Rumah keluarga Gian. Tempat yang akan menjadi rumah barunya, mungkin saja. Tapi tak sedikit pun rasa hangat menyentuh dadanya. Yang ia rasakan justru dingin—bukan hanya dari cuaca, tapi dari sesuatu yang lebih dalam dan tak terlihat.
"Ini... rumah utama keluarga ya?" tanyanya pelan, menatap fasad bangunan yang memancarkan kekuasaan sekaligus keterasingan.
Gian hanya mengangguk. Tidak menjawab.
Gerbang terbuka otomatis. Mobil melaju pelan menyusuri jalan batu menuju rumah. Aroma hujan di udara terasa lebih tajam.
Seseorang dari dalam rumah segera keluar dengan payung, membukakan pintu untuk Aurelia. Ia melangkah turun, menahan dingin yang merayap di sela-sela pakaiannya. Sepatunya menyentuh kerikil basah, dan ia menarik napas dalam-dalam. Hawa rumah ini... terlalu sunyi.
Di dalam rumah, aroma kayu tua dan wewangian ruangan mahal menyambutnya. Seorang wanita berdiri di tengah lorong. Tegap. Dingin. Matanya menatap tajam. Nyonya Lestari.
"Selamat datang," ucapnya singkat. Tapi nada suaranya seperti bilah tipis yang menggores pelan.
Tatapan sang ibu mertua menelisik dari ujung rambut ke ujung kaki. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyuman, lebih seperti... penilaian.
"Aku berharap Gian membawa Devina ke rumah ini. Tapi tampaknya takdir memilih yang lain."
Kalimat itu meluncur begitu saja. Tidak keras, tapi cukup menghantam perut Aurelia.
Ia menunduk. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu."
"Sebaiknya begitu. Gian tidak suka kekacauan."
Tanpa banyak bicara, Nyonya Lestari berbalik dan berjalan menuju tangga. Aurelia mengekor dalam diam. Gian sudah menghilang entah ke mana. Hanya suara hujan di luar yang masih mengiringi langkahnya.
Di lantai dua, mereka berhenti di depan kamar besar.
"Ini kamarmu. Jangan harap ada pelayan membantumu. Aku tidak membiasakan itu untuk urusan pribadi."
"Baik, Bu."
"Dan satu hal lagi," lanjutnya, menatap tajam, "jangan pikir dengan menjadi istri, kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Aku tidak melupakan bahwa kau bukan pilihan pertama."
Aurelia mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang menjalar pelan tapi pasti. "Saya mengerti."
Pintu tertutup di belakangnya, menyisakan Aurelia berdiri sendiri di kamar yang terlalu luas. Langit-langit tinggi, furnitur mewah, lampu gantung kristal. Tapi tak ada satu pun yang terasa seperti miliknya. Seolah semuanya hanya hiasan di sebuah panggung sandiwara.
Ia menghela napas. Kemudian mulai menata koper. Menyusun pakaian di lemari, merapikan tempat tidur, menyimpan alat mandi. Semua dilakukan dalam diam. Dalam rasa asing.
Sore harinya, ia memberanikan diri pergi ke dapur. Ingin melakukan sesuatu. Membantu. Membaur. Mungkin, menyenangkan hati siapa pun yang melihat usahanya.
Saat ia mulai mengiris bawang, seorang pelayan menatapnya heran.
"Nyonya tidak perlu repot-repot. Kami biasa menyiapkan semuanya."
"Biar aku saja. Aku ingin mencoba berkontribusi," jawab Aurelia, dengan senyum gugup.
Pelayan itu ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan dan mundur. Aurelia mulai mengambil bahan-bahan—padahal dalam hatinya, ia panik. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Setelah lima belas menit, dapur berubah menjadi medan tempur. Minyak meletup di wajan, bawang gosong, panci mendidih sampai tumpah, dan tepung berserakan di meja.
"Astaga... kenapa semua ini jadi kacau..." gumam Aurelia panik.
Suara tumit hak tinggi mendekat. Nyonya Lestari berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada, pandangannya menelusuri dapur yang kini porak-poranda.
"Aku pikir setidaknya kau punya sedikit keterampilan dasar rumah tangga. Tapi rupanya... tidak juga."
Aurelia hanya meringis, wajahnya merah karena malu.
"Devina dulu selalu memastikan dapur rumah ini harum dan rapi. Bahkan pelayan pun belajar darinya. Ia tahu cara memotong, mengolah, menata. Bukan seperti ini."
"Maaf, Bu... Saya hanya ingin membantu," kata Aurelia lirih.
"Kalau tak tahu caranya, jangan mencoba seolah bisa. Ini rumah utama keluarga Alvaro, bukan dapur percobaan."
Aurelia menunduk dalam-dalam. Tidak ada kata yang bisa membela dirinya. Tapi matanya tetap menyimpan nyala kecil. Ia tak akan menyerah begitu saja.
Hingga kemudian suara langkah berat terdengar dari lorong belakang. Gian muncul, masih dengan kemeja kerja yang belum sempat ditanggalkan. Pandangannya langsung tertuju pada dapur yang kini dipenuhi aroma gosong, uap panas, dan kekacauan.
Ia menatap Aurelia sekilas, lalu beralih pada ibunya yang masih berdiri dengan ekspresi tak terima.
"Ada apa di sini?" tanyanya datar, meski nadanya mengandung ketegangan.
Nyonya Lestari langsung bersuara, seakan menemukan celah untuk menunjukkan kebenaran versinya. "Istrimu mencoba memasak, tapi lihatlah hasilnya. Dapur seperti kapal pecah. Hampir saja terjadi kebakaran kalau aku tak datang tepat waktu."
Aurelia sontak memejamkan mata sesaat. Ia tahu, apa pun yang dikatakan Gian setelah ini, bisa menjadi penghakiman. Entah itu untuk dirinya... atau mungkin justru menyentuh sisi yang tak terduga.
Namun yang mengejutkan, Gian tidak langsung menjawab. Ia menatap ibunya dengan sorot mata tak terbaca, lalu memalingkan wajahnya kembali ke arah Aurelia yang masih berdiri kikuk di tengah kekacauan.
"Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n
Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw
Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a
"Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te
Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela
Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik







