Share

3. Sambutan Ibu Mertua

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-19 16:49:04

Gian tidak menjawab. Hanya kesunyian panjang yang menggantung di udara, menyerap seluruh keberanian yang tersisa dari tubuh Aurelia. Ia memejamkan mata, berharap jawaban, penjelasan—apa pun. Tapi yang datang hanyalah suara gesekan kain saat Gian berbalik di sofanya.

Beberapa menit berlalu. Lalu terdengar suara pelan, lirih nyaris tak terdengar.

"Sudah terlalu banyak luka dari masa lalu. Kau tidak perlu tahu semuanya malam ini."

Setelah itu, hanya detak jam yang menjawab.

Hujan turun deras saat mobil hitam itu berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi. Aurelia memandangi bangunan tiga lantai bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di balik gerbang. Rumah keluarga Gian. Tempat yang akan menjadi rumah barunya, mungkin saja. Tapi tak sedikit pun rasa hangat menyentuh dadanya. Yang ia rasakan justru dingin—bukan hanya dari cuaca, tapi dari sesuatu yang lebih dalam dan tak terlihat.

"Ini... rumah utama keluarga ya?" tanyanya pelan, menatap fasad bangunan yang memancarkan kekuasaan sekaligus keterasingan.

Gian hanya mengangguk. Tidak menjawab.

Gerbang terbuka otomatis. Mobil melaju pelan menyusuri jalan batu menuju rumah. Aroma hujan di udara terasa lebih tajam.

Seseorang dari dalam rumah segera keluar dengan payung, membukakan pintu untuk Aurelia. Ia melangkah turun, menahan dingin yang merayap di sela-sela pakaiannya. Sepatunya menyentuh kerikil basah, dan ia menarik napas dalam-dalam. Hawa rumah ini... terlalu sunyi.

Di dalam rumah, aroma kayu tua dan wewangian ruangan mahal menyambutnya. Seorang wanita berdiri di tengah lorong. Tegap. Dingin. Matanya menatap tajam. Nyonya Lestari.

"Selamat datang," ucapnya singkat. Tapi nada suaranya seperti bilah tipis yang menggores pelan.

Tatapan sang ibu mertua menelisik dari ujung rambut ke ujung kaki. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyuman, lebih seperti... penilaian.

"Aku berharap Gian membawa Devina ke rumah ini. Tapi tampaknya takdir memilih yang lain."

Kalimat itu meluncur begitu saja. Tidak keras, tapi cukup menghantam perut Aurelia.

Ia menunduk. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu."

"Sebaiknya begitu. Gian tidak suka kekacauan."

Tanpa banyak bicara, Nyonya Lestari berbalik dan berjalan menuju tangga. Aurelia mengekor dalam diam. Gian sudah menghilang entah ke mana. Hanya suara hujan di luar yang masih mengiringi langkahnya.

Di lantai dua, mereka berhenti di depan kamar besar.

"Ini kamarmu. Jangan harap ada pelayan membantumu. Aku tidak membiasakan itu untuk urusan pribadi."

"Baik, Bu."

"Dan satu hal lagi," lanjutnya, menatap tajam, "jangan pikir dengan menjadi istri, kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Aku tidak melupakan bahwa kau bukan pilihan pertama."

Aurelia mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang menjalar pelan tapi pasti. "Saya mengerti."

Pintu tertutup di belakangnya, menyisakan Aurelia berdiri sendiri di kamar yang terlalu luas. Langit-langit tinggi, furnitur mewah, lampu gantung kristal. Tapi tak ada satu pun yang terasa seperti miliknya. Seolah semuanya hanya hiasan di sebuah panggung sandiwara.

Ia menghela napas. Kemudian mulai menata koper. Menyusun pakaian di lemari, merapikan tempat tidur, menyimpan alat mandi. Semua dilakukan dalam diam. Dalam rasa asing.

Sore harinya, ia memberanikan diri pergi ke dapur. Ingin melakukan sesuatu. Membantu. Membaur. Mungkin, menyenangkan hati siapa pun yang melihat usahanya.

Saat ia mulai mengiris bawang, seorang pelayan menatapnya heran.

"Nyonya tidak perlu repot-repot. Kami biasa menyiapkan semuanya."

"Biar aku saja. Aku ingin mencoba berkontribusi," jawab Aurelia, dengan senyum gugup.

Pelayan itu ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan dan mundur. Aurelia mulai mengambil bahan-bahan—padahal dalam hatinya, ia panik. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Setelah lima belas menit, dapur berubah menjadi medan tempur. Minyak meletup di wajan, bawang gosong, panci mendidih sampai tumpah, dan tepung berserakan di meja.

"Astaga... kenapa semua ini jadi kacau..." gumam Aurelia panik.

Suara tumit hak tinggi mendekat. Nyonya Lestari berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada, pandangannya menelusuri dapur yang kini porak-poranda.

"Aku pikir setidaknya kau punya sedikit keterampilan dasar rumah tangga. Tapi rupanya... tidak juga."

Aurelia hanya meringis, wajahnya merah karena malu.

"Devina dulu selalu memastikan dapur rumah ini harum dan rapi. Bahkan pelayan pun belajar darinya. Ia tahu cara memotong, mengolah, menata. Bukan seperti ini."

"Maaf, Bu... Saya hanya ingin membantu," kata Aurelia lirih.

"Kalau tak tahu caranya, jangan mencoba seolah bisa. Ini rumah utama keluarga Alvaro, bukan dapur percobaan."

Aurelia menunduk dalam-dalam. Tidak ada kata yang bisa membela dirinya. Tapi matanya tetap menyimpan nyala kecil. Ia tak akan menyerah begitu saja.

Hingga kemudian suara langkah berat terdengar dari lorong belakang. Gian muncul, masih dengan kemeja kerja yang belum sempat ditanggalkan. Pandangannya langsung tertuju pada dapur yang kini dipenuhi aroma gosong, uap panas, dan kekacauan.

Ia menatap Aurelia sekilas, lalu beralih pada ibunya yang masih berdiri dengan ekspresi tak terima.

"Ada apa di sini?" tanyanya datar, meski nadanya mengandung ketegangan.

Nyonya Lestari langsung bersuara, seakan menemukan celah untuk menunjukkan kebenaran versinya. "Istrimu mencoba memasak, tapi lihatlah hasilnya. Dapur seperti kapal pecah. Hampir saja terjadi kebakaran kalau aku tak datang tepat waktu."

Aurelia sontak memejamkan mata sesaat. Ia tahu, apa pun yang dikatakan Gian setelah ini, bisa menjadi penghakiman. Entah itu untuk dirinya... atau mungkin justru menyentuh sisi yang tak terduga.

Namun yang mengejutkan, Gian tidak langsung menjawab. Ia menatap ibunya dengan sorot mata tak terbaca, lalu memalingkan wajahnya kembali ke arah Aurelia yang masih berdiri kikuk di tengah kekacauan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   30. Lebih Dekat

    Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan. Bahkan jarum jam pun seolah berhenti berdetak. Gian bergeming. Kepalanya menoleh pelan akibat dorongan tangan sang ibu, namun sorot matanya tetap teguh—dingin dan nyala.Aurelia menutup mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan langsung sebuah batas yang akhirnya dilanggar: Nyonya Lestari menampar anak kandungnya sendiri.Wajah Gian perlahan kembali menatap ibunya. Rahangnya mengeras, tapi ekspresinya tak berubah. Tidak marah. Tidak murka. Hanya... kecewa. Dalam dan memuakkan."Jangan bandingkan istriku dengan masa lalu yang bahkan Ibu sendiri tak sanggup hadapi," katanya tenang, namun dengan tekanan yang membuat napas di dada Aurelia tercekat.Nyonya Lestari membeku. Untuk sesaat, kekuasaan yang biasa mengelilingi tubuhnya, seolah runtuh.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   29. Memalukan!!

    “Ibu sudah di depan.”Kalimat itu diucapkan Gian dengan nada datar, namun efeknya menghantam jantung Aurelia seperti palu godam. Ia memandang suaminya dengan wajah panik, sementara tangan gemetarnya refleks mencengkeram sisi meja dapur.“Sekarang?” bisiknya dengan suara tercekat.Gian memutar malas bola matanya, seperti sudah tahu akan seperti apa percakapan berikutnya, lalu menyudahi panggilan tadi tanpa menanggapi lebih lanjut.“Ya,” katanya tenang, sebelum melangkah menuju pintu utama.Aurelia nyaris terpeleset saat mengikuti dari belakang. Ia belum siap. Tidak untuk ini. Tidak untuk menghadapi sang mertua dalam kondisi dirinya yang baru saja pulih dari gosip liar dan pengakuan publik tentang status pernikahannya.

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   28. Viral

    “Bohong!”“Aku serius. Aku memang masih ada kegiatan di sini,” kata Gian santai, sambil meremas lembut kemasan susu kotak kosong dan memasukkannya ke kantong plastik di dashboard.Aurelia memutar wajah. “Kegiatan apalagi? Jangan bilang—”“Workshop,” potong Gian.Aurelia mengerutkan dahi. “Di jurusan mana? Semester berapa?”“Ekonomi. Semester akhir. Sarjana,” jawabnya pelan. “Aku jadi pemateri.”“…HAH?!”Gian menoleh. “Kenapa teriak?”“Ya ampun, kau tuh...” Aurelia memejamkan mata sejenak, lalu menatap Gian seolah ingin memukul udara di sekitarnya. “Kenapa kau nggak bilang dari tadi?”“Karena kau keburu sok galak duluan.”Aurelia menghela napas panjang. “Jadi, semua orang bakalan lihat dirimu di atas panggung. Mereka makin yakin aku—”&

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   27. Istri Gian

    “Jangan diam saja! Cepat jawab, Aurelia Seraphine Alinda!!” Suara Pak Luhut membuat Aurelia meringis ngeri. Terlebih kumis tebal pria usia 50 tahunan itu tampak bergerak naik turun. Mirip sekali dengan suami pedangdut Inul Daratista rupanya. Hingga kemudian dia menarik napas lalu berbicara dengan suara yang amat pelan.“Pak… maksudnya apa?” suaranya nyaris hilang, nyaris pecah. Ada luka dalam nada bicaranya—luka yang ditusuk sebelum diberi kesempatan untuk menjelaskan.Pak Luhut membuka map tugas dan melemparkannya ke atas meja. “Saya tanya baik-baik, Aurelia. Benarkah gosip yang beredar?”“Gosip apa, Pak?”“Kau tahu persis. Tidak perlu berpura-pura. Dalam sehari ini saja, saya dapat lebih dari lima laporan tak resmi tentangmu.”Aurelia menahan napas. “Kalau yang Bapak maksud soal... rumor sugar ba

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   26. Sugar Baby??

    “Kau masih bertanya setelah apa yang aku lakukan padaku?”Nada suara Gian melesat seperti cambuk. Tatapannya menusuk, dan senyum miring di wajahnya terlihat hambar, bahkan menyakitkan. Ia menatap Aurelia dengan sorot mata yang tak bisa dibaca, antara kecewa, lelah, dan... kesal.“Benar-benar, kau ini.” Suara tawanya lirih, hambar, penuh letih. Lalu tanpa menunggu respons dari istrinya, Gian berbalik dan berjalan cepat menuju kamar mandi.Aurelia tetap berdiri di ambang pintu, memeluk dirinya sendiri. Bibirnya mengerucut, matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat, ia menatap tempat Gian berdiri tadi, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, malam ini tidak akan ada kehangatan. Tidak juga pengertian.Keesokan paginya, matahari baru menyentuh tepian langit saat Aurelia membuka mata. Badannya masih terasa letih, tapi pikirannya sudah dipenuhi dengan satu tujuan: meminta maaf.Dia merasa bersalah. Cara bicaranya tadi malam—terlalu emo

  • Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku   25. Om-Om Itu..

    “Don, kok dibiarin sih! Si Lia bakalan diculik sama Om-Om!!”Suara itu berasal dari salah satu teman Aurelia yang masih tertawa-tawa sambil memeluk botol soda dan menatap ke arah sudut ruang dansa, tempat Aurelia tengah diseret menjauh oleh seorang pria berwajah dingin.Doni yang sedari tadi mengawasi dengan gelisah langsung bangkit dari sofa panjang. Dia tahu persis siapa pria itu—dan bukan, dia bukan Om-Om aneh seperti yang dikira teman-temannya.Itu adalah seorang Gian Alvaro Mahesa, suami sah Aurelia. Mana mungkin dia menghalangi?“Don, kok diam aja sih??”Doni akhirnya bimbang ingin menjelaskan bagaimana. Terlebih saat Gian tampak mulai memanggul aurelia seperti karung beras. Hal itu membuat para temannya syok.Salah satu dari mereka menyeletuk, "Jangan bilang kalau Si Lia itu emang sugar baby.""Bisa jadi!" sahut yang lain. "Si Lia kan sering diantar jemput pake mobil. Terus dia bayar uang kuliah full. Cincinnya aja mehong.""Jangan sok tahu! jangan julid deh!" kata Doni menenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status