Keheningan menggantung di dalam mobil seperti kabut tebal yang enggan sirna. Aurelia menatap lurus ke depan, menahan napas yang terasa sesak di dada. Ia tahu, ia harus menahan diri. Harus menyabarkan diri. Kata-kata barusan dari ibu mertuanya masih membekas, mengaduk-aduk perasaannya seperti ombak yang menghantam karang tanpa jeda.
Aurelia menunduk, mengalihkan pandangan dari pantulan wajahnya di jendela. Ada sekilas gurat sedih yang tak bisa ia sembunyikan, walau hanya untuk dirinya sendiri. Mobil melaju perlahan melewati pepohonan rindang yang daunnya tampak menguning sebagian. Hari hampir gelap, dan sinar matahari terakhir menyorot jendela, membuat semuanya tampak suram.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Lalu, tepat saat mobil memasuki kawasan apartemen, suara Nyonya Lestari kembali terdengar.
"Bagaimanapun juga, kau adalah istri Gian sekarang. Aku bisa apa selain menerimamu, hmm?"
Kalimat itu jatuh seperti embun yang menetes di padang pasir. Tak sej
“Apa harus ada alasan untuk itu?”Gian balik bertanya dengan nada datar dan dingin. Suaranya begitu tenang, nyaris tak beremosi, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa lebih dingin dari AC yang menyala.Aurelia mengernyit. Matanya menyipit tak percaya.“Tentu saja,” jawabnya cepat. Ia bersandar di kursi, tubuhnya condong ke depan, seolah ingin menekankan logikanya. “Kita saja kalau mau berteman ada alasannya. Misalnya, aku berteman sama Doni dan Wulan karena mereka asyik dan nyambung. Apalagi kalau sampai punya perasaan yang lebih dari sekadar teman, pasti ada penyebabnya, kan?”Gian tidak menjawab, hanya menatapnya lekat sejenak, lalu berbalik menyesap kopinya. Aromanya menguar ke seluruh sudut dapur kecil mereka yang hangat.“Dan kau?” Tiba-tiba Gian balik bertanya, suaranya pelan tapi men
Aurelia dan Gian melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang dingin dan terang benderang. Detak langkah mereka menggema di antara suara perawat dan bunyi alat medis yang bersahut-sahutan. Wajah keduanya tegang, terutama Gian yang sejak tadi memegang ponsel erat-erat, seolah menunggu kabar lanjutan dari Mbok Sri.Mereka berhenti tepat di depan ruang UGD. Gian mendorong pintu, tapi ruangan itu kosong. Tempat tidur bersih, tirai ditarik, tak ada tanda-tanda keberadaan Nyonya Lestari."Kosong? Bukankah Mbok bilang Ibu masih di sini?" tanya Gian panik, menoleh ke kanan dan kiri.“Maaf, Pak. Anda mencari pasien atas nama siapa?” Seorang perawat yang sedang membenahi rankerr menyapa Gian dengan nada ramah.Gian hendak menjawab, tetapi niatnya urung karena tak lama kemudian, sosok Mbok Sri muncul dari arah lift. Nafasnya sedikit terengah karena tergesa."Den Gian, Nyonya sudah dipindah ke ruang rawat inap lantai dua. Barusan saja."Tanpa menunggu lebih lama, Gian menggandeng Aurelia dan
Aurelia menghela napas sambil berusaha tersenyum. Dirinya tengah berusaha menyingkirkan kejadian yang lumayan menyebalkan malam itu dari benaknya. Dia mulai paham bahwa sosok seperti Kirana harus diwaspadai. Namun, untuk sekarang biarlah disimpan sementara saja karena dia akan mengawali langkah menjadi seorang guru les privat.Suara bel rumah terdengar pelan namun jelas, membelah keheningan sore di sebuah kawasan elite di selatan Jakarta. Gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan taman yang tertata rapi dan jalur batu marmer yang mengarah ke sebuah rumah dua lantai bergaya modern minimalis. Dindingnya didominasi warna putih gading, dipadukan dengan panel kaca besar yang memantulkan sinar mentari sore.Aurelia berdiri di depan pintu utama, mengenakan blouse putih bersih dan celana bahan krem, rambutnya disanggul longgar. Riasannya tipis namun elegan. Ia tersenyum kecil ketika pintu dibuka oleh seorang ART berseragam biru dongker."Selamat sore, saya Aurel
Rasanya seperti ada jarum-jarum halus yang menusuk perlahan ke kulitnya. Tidak menyakitkan secara fisik, tapi cukup tajam untuk membuat dada Aurelia terasa sesak. Seolah rasa tidak nyaman itu menjalar, dari perut hingga tengkuk, membuat tubuhnya panas dingin.Aurelia mengenali perasaan ini dengan baik: campuran antara jengkel, geli, dan getir. Seolah ada yang menari-nari di hadapannya, menyulut api cemburu yang berusaha ia sembunyikan. Ia tahu dirinya tak seharusnya merasa seperti ini. Ia percaya pada suaminya. Ia tahu Gian adalah laki-laki yang setia, tulus, dan mencintainya. Tapi sebagai perempuan, ia pun paham betul bagaimana cara perempuan lain ‘menyentil’ perempuan lain dengan cara yang begitu halus—namun mematikan.Aurelia menanggapinya dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi dalam hati ia tahu ada bara kecil yang mulai menyala.Semen
Aurelia duduk di kursi kelas pascasarjana dengan ekspresi misuh-misuh tak jelas. Wajahnya murung, sesekali mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja seolah ingin meledak tapi tak tahu harus ke mana.Beruntung ia tetap mampu menyampaikan presentasi kelompok dengan baik. Di depan kelas, suaranya lantang dan jelas, setiap argumen disampaikan dengan struktur yang rapi. Ketika selesai, tepuk tangan teman-temannya mengiringi langkah kembalinya ke kursi.Namun setelah duduk kembali, wajahnya kembali berubah."Kenapa lagi sih pengantin baru ini? Aku jadi takut nikah kalau gitu," canda Doni sambil tertawa kecil.Aurelia hanya mendesah, membuka wadah minumnya pelan. “Aku lagi bingung, Don. Nanti malam itu... ulang tahun Kirana.”Wulan yang semula sedang video call dengan anak balitanya, ikut menyahut sambil menoleh.“Kirana? Maksudmu cewek yang dulu bareng suamimu di kantor itu?”Aurelia mengangguk pelan.“Dan dia n
"Aku tidak mau kau berpikiran yang macam-macam."Itu adalah kalimat ambigu kedua yang dilontarkan oleh suami tampannya. Jelas membuat dahi Aurelia semakin mengerut dalam."Password ponselku," ucap Gian akhirnya. Tak lupa mengecup singkat pipi Aurelia setelahnya, lalu menyerahkan ponsel yang ada di saku celana tadi pada sang istri.Aurelia terkekeh lalu meletakkan bokong di kursi tempat biasa Gian duduk di ruang kerjanya itu. Ia mengetik dengan yakin. Tapi layar hanya bergetar lembut, disertai notifikasi: "PIN salah.""Kenapa tidak bisa?" tanyanya dengan penuh selidik. "Sudah kucoba dua kali malah.""Bukan tanggal pernikahan kita, Sayang. Tapi tanggal di mana kita berdua menyatu." Gian menjawab sembari menaik-turunkan kedua alisnya secara berbarengan dengan senyuman yang amat menggoda.Aurelia tertawa kecil lalu memalingkan wajahnya, pura-pura tak tertarik. Tapi jelas rona merah menjalar ke pipinya.Sekarang setelah semua jelas, malah Aurelia yang kelimbungan. Jari telunjuknya mengetuk