Share

Ajib Ajib

Author: Ira Yusran
last update Last Updated: 2021-06-10 08:22:00

Malam kian larut, tetapi hiruk-pikuk dalam sebuah kelab di tengah kota tak menyurut. Bahkan, dentuman musiknya kian menyulut kobaran gairah yang menyusut.

Sama halnya dengan Lara. Ia sudah menghabiskan hampir kepala tiga seloki minuman dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi. Bukan tanpa sebab, ia terlalu marah hingga tak mampu berkutik.

"Persetan!"

Sudah puluhan kali ia mengumpat dengan lantang. Lara mengabaikan banyak tatapan sinis dari sekitar. Tentu saja ia menjadi pusat perhatian. Selain karena kesendiriannya, ia juga sedang salah kostum.

Betapa tidak. Sesaat setelah menerima pesan dari karyawan yang ditamparnya siang tadi, ia langsung meraih kardigan selutut tanpa mengganti pakaian.

Celana jin mini biru muda yang berpadu dengan kamisol putih penuh brukat, tak membuat tekatnya surut untuk sekedar melepas penat. Setidaknya, ia harus mendinginkan kepala sebelum mencari jalan keluar.

Lantas, setelah meneguk seloki minuman--lagi, angannya mengingat kejadian siang tadi. Sepulangnya dari bengkel yang akan dibuka esok pagi.

"Elu keterlaluan, Lara. Gimana kalo dia dendam sama elu? Tau sendiri, kan, sifatnya cowok itu kek gimana? Harusnya elu bisa nahan diri. Seenggaknya, tampar dia di ruangan tertutup!"

"Diem, deh, Der! Orang yang kek gitu itu emang pantes dikasih pelajaran. Kalo nggak gitu, ya, ngelunjak!" imbuh Tarissa.

"Kalian semua salah, Girls. Montir itu emang salah, tapi kita lebih salah. Apalagi sampek main tangan. Banyak saksi pula. Gi--"

"Itu muluts mau gue jait semua?"

Mendengar ancaman Lara, ketiga kawannya hanya mampu menutup mulut rapat. Di kursi tengah, Lara masih sibuk dengan iPadnya, berusaha meraup keuntungan dari saham yang ditanam di berbagai sektor dan tempat.

"Elu nggak ngerasa bersalah sedikit pun, Ra?" tanya Lalita, memastikan.

Tanpa buka suara, mereka pun tahu apa jawaban gadis jutawan itu. Hanya saja, nurani Lalita terus mengusik. Begitu pula dengan Derisca dan Tarissa.

"Mending, besok kita minta dia klarifikasi dan minta maaf atas keteledoran dia, deh, Ra. Terus, elu juga mesti minta maaf. Biar nggak berbuntut panjang." Usul Lalita masih tak ditanggapi oleh Lara.

"Bukan apa-apa, Lara, gue setuju ama elu, tapi tetep aja itu tadi keterlaluan. Di bener soal elu yang keka--"

"Elu kalo mau nyetir, fokus aja ke depan, Der! Lagian, orang kek dia emang bisa apa buat bales dendam?"

"Ye, jangan ngerendahin gitu, Ra, semut sekecil itu aja kalo dia nyerbu bawa pasukan sekompi kita juga mundur. Pan gatel semua ntar," pungkas Lalita. Ia telah memutar badannya ke arah Lara.

Tarissa yang berada di samping Derisca bergeming, ia hanya memerhatikan dari kaca mobil mengenai reaksi Lara. Seketika, Lara menatapnya lekat melalui kaca.

Tarissa yang gelagapan lantas salah tingkah. Berkali-kali ia berdeham, mencoba menenangkan laju jantungnya.

"Elu kenapa, Tar? Apa yang salah?" tanya Lara.

"Enggak, gue tiba-tiba jadi ngeri sendiri kalo itu montir sampek nekat macem-macem."

Kilas ingatan yang berputar dalam memoar Lara pun buyar, tatkala ia disenggol pemuda yang tengah menari, mengikuti irama musik. Kini, di sinilah Lara dengan segala keputusasaannya.

Jika masalah fotonya yang mengenakan kamisol tersebar, bukanlah masalah besar. Namun, beda halnya jika video yang memperlihatkan ia tengah melakukan panggilan visual dengan pria yang hanya mengenakan celana dalam, bahkan menunjukkan sesuatu di langkah pahanya sembari berjoget, itu akan sangat memalukan.

Ira Yusran

Jelas malu, Gaes! Duh, si Ari juga aneh-aneh. Mana nih tim Lara? Jam lupa tinggalin jejak, ya

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
IrwanCh50095494
cool aja selalu
goodnovel comment avatar
Ivan Haws
yyy.....emosional itu g level buat bos...cool calm and gahaaar...itu bar bis eh bos...hihi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Pacar   Tak Lagi Terpaksa

    Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kembali Pulang

    Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.

  • Terpaksa Jadi Pacar   Terkuak

    "Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.

  • Terpaksa Jadi Pacar   Yakin Dulu

    "Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t

  • Terpaksa Jadi Pacar   Bukan satu-satunya

    Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kapok

    Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta

  • Terpaksa Jadi Pacar   Peninggalan

    Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kata Supri

    Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin

  • Terpaksa Jadi Pacar   Tangan Kanan

    Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status