"Buka ini kartu kredit!" pinta Ari setelah mengenyakkan bokongnya di kursi samping.
"Jangan seenaknya! Elu nggak punya hak!"
"Oh, aku nggak ada hak, ya?" Ari meraih sesuatu dalam tasnya, lantas ditunjukkan pada Lara, "kalo gitu, password yang ini apa?"
Lara melotot tak keruan saat mendapati kartu tabungannya berada di tangan Ari. Ia sama sekali tak sadar bahwa telah benar-benar dirampok sedemikian rupa.
"Pencuri!" Lara mencoba mengambil kembali kartunya, tapi gagal.
"Aku cuma mau ngeganti harga diri," pungkas Ari dengan tenang. Dimasukkannya kartu berwarna emas dalam tas.
Lara mulai menjalankan mobilnya sembari mendengkus. "Nggak kaget kalo elu bisa dibeli."
Ari terkekeh, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Jalanan ibu kota memang tak pernah sepi peminatnya. Apalagi saat jam pulang kerja. "Aku nggak akan terprovokasi, Ra. Aku e
Ya ampuuuun, Ari! Suka bener bikin yang baca pada kesel! Hihihi. Jan lupa tinggalin jejak ya buat pasangan kita ini.
Lara baru saja tiba di kampus saat banyak mata dan mulut yang bergerak dalam senyap. Meski kasak-kusuk terdengar lantang, mereka masih enggan untuk buka suara. Bukan hanya untuk kepentingan bersama, tapi juga demi keberlangsungan mengejar ilmu tanpa aral melintang.MINI Cooper telah terparkir rapi di lapangan khusus staf dan dosen perguruan tinggi. Untuk ketiga kalinya, ia hadir ke UKLAKA tanpa harus bersusah payah mengikuti kegiatan orientasi studi pengenalan kampus.Hampir saja ia ke luar dari mobil mewahnya, saat Lara teringat ponsel merek ternama dalam dashboard yang terus berbunyi tanpa henti. Tentu saja grup salah satu aplikasi perpesanan dengan nama A4 yang menjadi biang keladinya.Lara mengernyit heran saat didapatinya lebih dari 200 chat dari ketiga kawannya. Padahal, lima belas menit yang lalu tak seramai sekarang. Biasanya, ia enggan untuk memanjat pesan-pesan kurang penting itu. Namun, untuk kali pertama ia y
Lara beranjak, lantas menuju sumber suara. Tanpa ba-bi-bu, dilayangkannya tapak tangan ke arah pipi pria berkemeja merah.Plak!Suara tamparan Lara pada Rendi terdengar cukup nyaring hingga memecah banyak kebisuan. Hanya butuh waktu sepuluh detik, hingga semua orang yang berada tak jauh dari sana mulai merapat. Mereka mulai menikmati sajian amarah gadis berusia delapan belas tahun dengan seksama."Nggak usah sok nuduh! Gue nggak kenal Ari! Lagian, siapa juga yang mau pacaran ama montir nggak kompeten macem dia!"Sontak saja, Rendi ternganga. Ia menggeleng pelan sembari mengelus pipinya yang ternoda. "Gue bahkan belom ngomong kalo Ari itu montir, 'kan?"Lara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia baru sadar, lidah tak bertulang memang lemas. Mudah sekali membelok meski berusaha mengelak.Gadis berampung sepinggang itu mengedar pandang pada banyak mahasiswa yang mena
Mendengar jawaban Rendi, Lara teringat akan khayalannya mengenai pertanyaan Rendi. Seketika, gadis itu berpaling. Ia tak lagi ingin meneruskan hal ini. Tanpa sepatah kata, ia menutup pintu aula rapat seolah-olah tak boleh ada yang datang bahkan untuk sekadar mengetuk pintunya jika masih ingin selamat.Mendadak, Dimas dan Saka terbahak tanpa henti. Keduanya lalu merangkul bahu Rendi dari masing-masing sisi. Lantas, membawanya pergi menuju ke tempat lain.Rendi yang tak tahu menahu tentang apa yang lucu pun hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sementara Dimas dan Saka masih tak habis pikir dengan jawaban yang Rendi berikan."Mastiin apa elu, Ren?" tanya Saka antusias dalam sela tawanya."Ya,mas--""Mastiin dia cocok apa nggak jadi bahan nganu!" timpal Dimas yang memotong pengakuan Rendi."Gila, ya, elu pada!" Rendi mulai geram. Entah mengapa kali ini ia me
Matahari belum naik setengahnya saat Supri yang mengeluh lelah, menerima lemparan handuk keringat sang kawan. Alih-alih marah, ia malah terkekeh melihat tampang Ari yang tak keruan."Mukamu kusut, Su! Nggak seganteng kartu kreditmu kemaren!"Beberapa montir yang mendengar kelakar Supri, cengar-cengir tak tahu akar musababnya. Sementara Ari, ia malah mencebik pada pria setengah baya itu."Muka boleh blentong oli, Pri, pokok kartun nganti iso ngeragati!"Terang saja para montir makin tertawa. Lelucon di tengah keseriusan bekerja adalah pelebur bosan. Namun, bagi Ari itu bukan guyonan semata."Kalo gitu, Su, aku mau pinjem duit! Lumayan buat nyenengin istri!"Ari menyimpul senyum sejenak. "Lah, kuwi bojomu opo bojoku? Kok, minta uang buat nyenengin dia pake uangku?""Berbagi itu banyak pahalae, Su!""Iyo, wis, gampang ik
Ruangan bernuansa hitam putih yang tampak elegan nan mewah sama sekali tak membuatnya tenang. Terlebih, saat ia membaca pesan yang baru saja ia terima."Dia membeli banyak buku, baju, sepatu, dan makanan ringan, Bos. Lalu membawa semuanya ke sebuah panti asuhan.""Gue kira, dia bakalan seneng-seneng pake itu kartu! Gue pikir, dia meres gue buat nyenengin diri sendiri," gumam Lara.Ada rasa sesal yang mengusik saat tahu, pria yang dianggapnya bajingan malah mempunyai sisi kemanusiaan yang tak mampu dibayangkan. Ia mengusap kepalanya sebentar, sebelum akhirnya kembali meraih ponsel dan outer Velvet burgundy dari hanger standing.Tanpa meretouch make up atau mengganti pakaian, ia segera menuju ke garasi setelah mengirim pesan singkat. "Share lok."Secepat kilat Lara membelah jalanan ibu kota. Meski jam pulang kerja telah lewat, tapi kepadatan laju kendaraan tak mampu ia perkirakan.
"Kemasin semua barangmu, Brai, kita ngungsi!"Rendi yang baru saja tiba tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Ia terkejut. Bahkan, untuk sekadar bertanya pun ia tak sanggup."Aku ada uang. Nggak banyak. Mo renov rumah, biar nyaman. Jadi, kita kos dulu. Lumayan, dapet murah di tengah. Deket ama UKLAKA ples deket bengkel buat kerja."Renda mengedar pandangannya. Rumah peninggalan orang tuanya itu memang perlu diperbaiki pada beberapa bagian. Terlebih, pondasi yang tak lagi simetris akibat gempa beberapa tahun silam, membuat rumahnya sedikit miring ke kanan. Belum lagi masalah keran air yang bocor saban harinya.Mereka punya tempat tinggal, saja, sudah sebuah keberuntungan tersendiri bagi kakak beradik itu."Elu dapet cuan dari mana, Kak?"Pertanyaan Rendi membuat Ari menghentikan langkah. Dua kotak dus air mineral berisi pakaian masih berada dalam pangkuan
"Duh, kartu gue ke mana, sik?"Ari yang baru saja masuk ke kedai kopi ternama--Starbeckz--merasa tak asing dengan postur tubuh gadis di depan meja kasir. Sembari menunggu antrean, ia memerhatikannya dari bawah hingga kepala."Kak, bayar pake cash aja, deh. Berapa tadi?" tanya si gadis. Setelan serba hitam nan kasual, membuat si gadis tampak tak seperti gadis lain pada umumnya. Terlebih, ia tengah berada di area CFD.Ari masih mengernyit heran saat ia mulai mengenali suara di depannya. Lekas, ditepuknya bahu gadis berambut sepunggung dengan pelan."Tarissa?" tanya Ari saat wajah itu mampu ditatap. Lantas, ia menoleh ke sana kemari untuk mencari tiga kawannya. "Sendirian?""Iya," jawab Tarissa acuh. Ia sibuk menghitung uang tunai dalam dompet dengan aksen bunga blossom biru, keluaran merek ternama.Tanpa diminta, Ari mengeluarkan kartu kredit premium berwarna h
Ari baru saja sampai di sebuah toko material bangunan. Ia dan adiknya tengah mencoba mencari banyak hal yang dibutuhkan untuk merenovasi rumah. Dimulai dari pintu, jendela, keramik, bahkan hingga perlengkapan kamar mandi dibeli di tempat yang sama.Sementara Ari melakukan pembayaran atas barang-barang yang dibelanjakan dengan digit nominal fantastis, Rendi masih diperam tanya. Ia setengah berdiri di salah satu tiang penyangga bangunan sembari melipat tangan di dada."Elu bisa punya banyak uang dari mana, Kak?" tanya Rendi saat Ari melewatinya."Jadi simpenan tante girang! Puas kowe?!" seru Ari sembari mencebik."Kak, gue tanya beneran."Ari berhenti tepat sebelum pintu ke luar dari gedung dilewati. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. "Awakmu nggak perlu tau, Ren. Yang penting, ini uang halal. Aku nggak nyuri ato korupsi. Juga bukan hasil togelan."