Rendi mengernyit heran pada sang kakak yang terlihat salah tingkah. Wajah penuh pesonanya hilang bersama Winaya yang runtuh seketika.
"Elu bawa pacar elu tidur di mari?" tanya Rendi tepat sasaran. Suaranya sudah naik dua oktaf.
Terkejut dengan sebuah teriakan, Lara yang berada di balik barikade bantal guling membuka mata cepat. Ia mencoba mendengar dan bergerak perlahan.
"Iya! Udahlah nggak usah dipermasalahin! Nggak usah repot-repot juga ngeliat siapa dia," ujar Ari sembari kembali beranjak dari sofa. Kedua tangannya melipat di dada seakan-akan membentuk pertahanan kedua.
Rendi berdecak kesal, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tau gitu nggak gue ganggu."
"Nah, tuh, tau."
Rendi pun nyengir kuda, lantas menatap sang kakak penuh tanda tanya. "Kalian lagi skidipapan pas gue gedor, ya?"
Sontak saja wajah Ari memerah. Dengan canggung
"Awakmu gendeng, aa?"(Kamu gila, kah?)Pertanyaan Ari dengan suara lantang tak membuat Lara mengurungkan niat. Sebaliknya, ia malah tampak bersikeras dengan menunjukkan seringainya."Segila elu pada awalnya, 'kan?"Ari memijat pelipisnya berulang sembari mondar-mandir, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Jadi, ini bentuk balas dendammu?"Lara mulai bangkit, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan tatapan Ari yang mulai menggelap bersamaan saat kemeja yang dilucutinya perlahan. Sembari mendendangkan lagu, ia membasahi tubuh tanpa ragu.Sementara itu, Ari yang berada di ranjang makin tak keruan. Ia merutuki kebodohannya sendiri pagi buta tadi."Ha ... lo?" sapa Ari. Matanya berat untuk sekadar membaca nama yang menghubungi."Ri?"Mendengar suara yang dikenalnya tengah menahan isak, jelas Ari membuka
Disembur sedemikian rupa oleh Ari, tentu saja membuat Lara geram. Namun, tak ada emosi yang kini hadir dalam hatinya. Sebaliknya, ia malah tersenyum kuda."So-sorry, Ra. Ta-tapi maksudmu, kamu bener-bener nabrak Rendi?" tanya Ari antusias.Lara terdiam. Dinikmatinya ekspresi lawan bicaranya yang tersiksa, sedangkan Ari yang tak lagi sabar menunggu jawaban pun hendak beranjak pergi."Mau ke mana?""Masih tanya? Ya, jelas mau liat kondisi adekku, lah!"Langkah Ari hampir sampai di daun pintu saat Lara menyilangkan kaki sembari berkata, "Gue yang ditolong Rendi, Ri. Elu buta atau pura-pura nggak sadar? Gue yang pake baju orang pesakitan, kok!"Ari yang bergeming tepat saat tangannya memegang kenop pintu, lantas membalik badan sembari melipat tangan di dada. Ia kembali mendekat dan duduk berhadapan dengan Lara di ranjang. "Terus, ngapain koe ke sini?"&nbs
"Persetan, lah, kalo aku ntar telat. Wong bos'e ada di kamarku," umpat Ari yang baru saja tiba setelah memutuskan pergi mencari sarapan.Sebelum anak kunci diputar, Ari menengok ke kiri-kanan demi tetap merahasiakan siapa sosok yang ada dalam kamar. Beberapa penghuni kamar kost yang kebetulan lewat, hanya melempar basa-basi khas para pekerja.Saat dirasa waktunya telah pas, Ari segera memutar kunci dan masuk kamar dengan cepat tanpa meninggalkan jejak. Jantungnya yang berdebar tak keruan malah membuatnya merasa layaknya seorang pencuri yang masuk ke rumah target di siang bolong."Dari mana, lu?""Beli na ...."Ucapan Ari tercekat di pangkal tenggorokan saat melihat kondisi biliknya bak kapal pecah. Diedarkannya pandang ke seluruh penjuru kamar, tak ada satu pun ruang tersisa yang bisa dikatakan selamat."Kenapa?" tanya Lara. Ia yang tengah berada di depan lem
"Mukamu kenapa, Su? Kusut bener!" celetuk Supri saat dilihatnya sang kawan yang baru datang. Ia menunjuk jam dinding dengan dagu ketika mereka bersirobok pandang."Iyo, ero!" jawabnya kesal. Ari lantas segera pergi ke kantor di mana Pak Daus menanti sebuah jawab atas tanya yang bisa ditebak.Dari bawah, Supri hanya bisa menggeleng lemah. "Kesian, si Ari. Paling juga kecapekan habis nguli semaleman."Ari yang masih mampu mendengar dugaan Supri pun hanya menarik sudut bibirnya sebentar. Ia memejam mata demi mencoba menenangkan diri setelah perdebatan sengitnya pagi tadi.Tok! Tok! Tok!Tanpa menunggu jawaban, Ari segera masuk kantor. Dilihatnya Pak Daus tengah mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja seirama. Kedua matanya menatap tajam pada Ari serupa bilah besi yang siap menghunjam."Sorry, Pak, a--"Sebuah amplop cokelat muda dilempar begitu
"Koe, 'kan, yang nyuruh Pak Daus buat mecat aku?" tanya Ari.Keduanya kini berada di sebuah warung kopi ternama. Mereka sengaja duduk di pojok ruangan, demi menghindari banyak pandangan. Terlebih, Ari dan Lara berada di daerah yang masih dibilang dekat dengan UKLAKA.Lara tak menimpali tanya dari kekasihnya. Sebaliknya, dengan tenang ia menyesap coffee latte setelah menghabiskan sandwich."Jawab, Ra!" Kali ini kesabaran Ari telah pada batasnya. Sudah empat kesempatan ia melempar tanya, tapi tak juga diberi jawaban."Ngapain gue kek gitu, Ri? Rugi kalo gue mecat elu. Meski gila, elu punya kemampuan tinggi."Ari mengernyit, lantas menautkan kedua alisnya bersamaan. "Terus siapa?""Elu tunggu, aja. Bakalan ada dua kemungkinan, kan, kalo itu bukan keputusan si Daus?""Menurutmu gimana?""Daus itu tangan kanan kita. Udah l
Lara masih tak habis pikir dengan semua kegilaan yang telah dilakukannya. Ia masih mondar-mandir di rest room UKLAKA. Sebuah ruangan yang disulap bak kamar hotel istimewa."Gue gila! Beneran gila!" teriaknya lantang.Ia berkali-kali meninju angin, lalu melempar tasnya ke sembarang arah tanpa mau melepas shoulder strapnya. Ditatapnya pantulan bayang pada cermin dinding yang dibingkai apik oleh kayu mahoni dengan finishing cat duco abu misty."Enggak, gue nggak gila! Walaupun gue kelewat batas, tapi ada kepuasan sendiri. Seperti memang sudah lama pengen begini."Lara kembali bermonolog seorang diri. Lantas, ia hampir pergi ke mata kuliahnya saat tatapan tajam menyapu seluruh penampilan bayang pada cermin. Sedetik kemudian, ia menjentikkan jari sembari berlalu pergi.Entah mengapa, untuk kali pertama ia mampu mengatakan apa yang dirasakan hati pada seseorang. Terlebih pada yang baru
Rendi masih mencoba mengingat di mana kemeja itu dilihat. Kemeja yang terasa tak asing di matanya.Jam mata kuliah akhir telah usai diikuti Rendi, lantas ia kembali pulang. Dalam perjalanan pun ia masih memikirkan tiap tanya yang dilempar Lara. Memang Rendi mungkin telah lancang, tapi bukankah itu untuk keselamatan Lara juga?Di sebuah kursi besi bahu jalan, Rendi mengenyakkan bokongnya. Senja sudah hampir berganti petang saat memorinya memutar kejadian tadi siang."Elu ngapain nyari gue?"Lara sudah hampir pergi setelah enggan memberi jawab atas pertanyaan Rendi mengenai kemeja yang dipakai."Oh, ya. Gue punya banyak pertanyaan. Buat elu."Rendi mengernyit heran mendapati tatapan lembut penuh ketakutan semalam berubah menjadi setajam elang seperti sedia kala. "Apaan?""Bukan di sini. Ikut gue."Keduanya mendetail lan
Dalam rest room, dua dara yang cantik jelita baru saja terlibat adu mulut. Meski tak benar-benar sampai bertengkar, tapi keduanya masih membentang jarak untuk sekadar saling menerima."Elu kena pelet di mana?" tanya Lalita."Mending elu tarik semua ucapan elu buat Ari!" Lara masih melipat tangan di dada. Rahangnya mengeras, meski tak lagi ada nada penekanan dalam perintahnya."Gue ini sobat elu dari kecil, Ra, gue tau siapa elu, gue tau semua tentang elu, Ra! Ini bukan elu sepenuhnya!" Di balik punggung Lara, Lalita mengacungkan telunjuk untuk melampiaskan tiap emosinya yang membara.Lara yang duduk menghadap ke cermin dinding enggan menimpali acungan Lalita. Ia lebih fokus pada pernyataan yang mencemarkan nama pria yang kini merajai jiwa. "Nggak ada yang pernah tau sedalam apa lautan, Ta. Elu semua, Eiffor, emang kenal gue dari dulu. Tapi, nggak pernah tau gimana hati gue sejak dulu!"