Share

8. Mengenang Malam Pertama

Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."

Fathy Abdus Sattar.

Pov Sattar

***

Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.

'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.

Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang muntahannya. Aku hanya mengintip lewat celah pintu.

Kududukkan tubuh menunggunya tenang hingga lima belas menit lagi. Alhamdulillah, Aini mulai baikan, tampaknya ia sudah tertidur. Tak lagi terdengar muntahan. 

Kulirik jam di tangan. Sudah terlalu lama aku menghabiskan waktu di rumah. Sedang rumah sakit tengah menungguku menangani puluhan pasien.

Kuputuskan untuk memasuki kamar Aini, hanya untuk melihat keadaannya lalu langsung berangkat ke rumah sakit. Ah, tapi kenapa dada ini tiba-tiba berdegup tidak jelas. 

Aku berhenti tepat di sebelah ranjang Aini. Dia tertidur pulas, gurat kelelahan memenuhi wajahnya. Aneh, lenguhan napasnya yang teratur seperti musik yang menggetarkan jiwa. Kupandangi wajah gadis itu lama, meski pucat tapi tetap, cantik.

"Hem ... Kasihan sekali gadis ini. Harusnya aku yang melakukan semua yang dilakukan Bik Ina. Tapi ...."

Kuhela napas panjang. Aini tampak menggeliat. Dari posisi miring kanan, kini tubuhnya terlentang. Mataku seketika dipaksa memandangnya sedikit lebih lama lagi. Seperti ada magnet yang menarik wajahku agar mendekati wajahnya yang masih memejamkan mata. Dan sekarang, sorotan mataku malah terbidik pada keningnya.

'Astaghfirullah. Apa yang akan aku lakukan?'

Wajahku semakin mendekat, tanpa sadar mata ini pun terbius untuk tertutup. Lalu, kurasa hampir mendarat, tapi...

"Bang Sattar?"

Aku terlonjak kaget. Mataku yang tadi tertutup mendadak membulat sempurna.

"Ehm!"

Tubuhku kini sudah sempurna berdiri kembali, dengan jantung rancak berdegup.

"Abang ngapain?" tanya Aini membuatku gugup.

"Ehm ... Abang, eng-Ab, Abang, mau pamit. Abang harus balik ke rumah sakit. Ada jadwal operasi," jawabku gelagapan sambil membalikkan langkah menuju pintu.

"Bang ...."

Suara Aini membuat langkahku terhenti, namun tak berbalik.

"Makasih ya," ucapnya lirih.

Kutarik napas dalam. "Iya."

"Hanya iya. Ck! Ada apa dengan diri ini!"

Kusingkirkan segala rasa aneh yang timbul, sambil meneruskan langkah meninggalkan kamar itu. Entah bagaimana Aini setelah kepergianku. Yang jelas diri ini hanya ingin menghilang diri dari hadapannya.

***

Kuteguk air mineral di dalam botol saat aku sudah duduk kembali di balik kemudi.

Tiba-tiba saja tubuhku terasa panas. Kutekan tombol pendingin hingga berada pada status maksimal. Ada apa denganku, apa yang mau aku lakukan tadi?

"Arghhh ...!" Kupukul setir kemudi dengan tangan yang menggepal. Lalu merahup wajah dengan kuat! 

"Ainiii ...!"

Namanya kembali tersebut dengan geraham yang saling tertindih.

***

'Plasenta previa (plasenta yang menutupi jalan lahir).'

Aku membaca sebuah status pasien yang sesaat lagi akan kutangani persalinannya. Kuhela napas sejenak, ingatan kembali membawaku terbang ke masa lalu.

.

.

.

Flash back

Tiga bulan setelah kepergian Hanna. Saat itu Aini terus bolak balik menemani ibunya dirawat di Banda Aceh karena penyakit jantung. Aku yang sudah memegang janji dari Hanna untuk menikahi Aini, masih saja menutup-nutupi perihal itu. Ingin aku mengingkari semuanya, meski aku tahu itu adalah sebuah kesalahan, karena bagaimanapun janji adalah hutang.

Hari itu Aini dan wanita yang masih menjadi mertuaku itu datang berkunjung ke rumah. Beliau bilang dua hari lagi, dirinya akan mengalami operasi pemasangan ring jantung.

Malam harinya, aku menemukan ada yang berbeda. Tiga bulan sudah usia Fikri, tak semalampun ia tidur dengan nyenyak. Selalu rewel meski minum cukup cairan. 

Saat Fikri menangis, Aini mengendong dan meninabobokkan anakku. Bayi itu tertidur pulas dalam dekapan Aini.

Sesaat aku tersadar, mungkin ini karena amanah Hanna yang belum kujalankan. Tapi, ya biarlah. Semua akan berubah seiring bertambahnya usia Fikri. Yang jelas, aku belum siap menerima pengganti Hanna.

Sampai operasi berlangsung, aku masih ikut mengurus segala keperluan ibu mertua. Namun, sesaat sebelum memasuki ruangan bedah, sesuatu yang disampaikan ibu mertua membuat darahku seakan berhenti mengalir.

"Terima kasih, Nak Sattar. Ibu berhutang banyak jasa sama kamu. Hanna sudah tiada, tapi kamu tetap membantu ibu melakukan semua ini. Andai ada yang bisa Ibu lakukan untuk membantu meringankan bebanmu, Anakku?"

Aku terdiam. Segala yang kulakukan ini ikhlas, tak pernah sedikitpun aku mengharap balasan. Bagiku, menghormatinya, sama seperti aku menghormati Hanna. Apa yang dicintai Hanna akan menjadi kecintaanku juga.

"Aini ...."

Ibu mertua memanggil gadis itu agar mendekat dengannya. 

"Aini, jika umur Mamak tak lagi panjang. Tolong Anakku, rawatlah Fikri, menikahlah dengan Sattar ...."

Netraku membulat sempurna. Ternyata, yang menjadi amanah Hanna, kini ibu mertua juga meminta hal yang sama. Dua amanah kini berada dipundakku. Kulirik Aini yang juga nampak terkejut dengan permintaan ibunya. Dia mendekat dan mencium tangan wanita itu.

"Mak ...."

Ia hanya memanggil nama ibunya lirih, kurasa gadis itu ingin menolak. Mungkin saja dia sudah punya imam pilihannya.

"Maukan kamu menikah dengan Abang iparmu?"

Sebulir kristal lolos dari pelupuk mata gadis itu.

"Aini ...."

Suara ibu mertua kembali terdengar lirih. Gadis itu terisak. Aku hanya bisa diam membisu, bukan karena aku setuju, tapi bimbang.

"Meunyoe nyan yang Mamak lakee bak lon, hana pue laen lon seuot menyoe ken jeut Mak (Jika itu yang ibu inginkan, nggak ada lain yang bisa Aini katakan selain mengiyakannya, Buk."

Sesuatu seperti menembus jantungku. Rasa perih itu membuat napasku begitu berat. 

"Nak Sattar ...."

Aku mendekat.

"Terimalah Aini sebagai pengganti Hanna. Dia memang tidak sebaik Hanna, tapi ia istimewa. Ibu yakin, Aini akan mengabdi padamu, sebagai mana Hanna mengabdikan dirinya selama ini."

'Allah ....'

Saat itu, aku ingin menangis.

***

Sehari setelah operasi pemasangan ring jantung, ibu mertua mengembuskan napas terakhir. Dan Aini, dia resmi menjadi istriku dua bulan setelah ibunya meninggal.

Huhft...

Pernikahan kami sederhana. Dia memang cantik, tapi aku tidak mencintainya. Malam dan siangku, terus saja dipenuhi bayang-bayang Hanna. Terutama saat melihat Fikri.

Tapi anak itu, dia lengket sekali dengan Aini yang selama ini memang sudah menempati rumahku.

Malam pertama kami, mungkin selamanya akan membekas sebagai catatan kelam dalam hati Aini. Aku memasuki kamar pengantin kami, lalu mendekatinya yang masih duduk di ranjang tanpa bergerak sedikitpun dari pertama kali ia masuk. Tanpa berbicara, kudekati ia, kuangkat tangan kanan dan meletakkannya di atas ubun-ubun Aini. Dia menatapku sejenak lalu menunduk. 

"Biamillahirrahmanirrahim. Allahumma inni as-aluka khayraha wa hayra ma jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi. Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikanMu dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya."

Aini menatapku saat aku selesai membaca doa itu. Aku bisa menangkap bulir mengambang di pelupuk matanya. 

Detik kemudian ia memejamkan mata. Mungkin berharap aku mencium keningnya. Tapi, Astahgfirullah, aku hanya mengelus pipinya dan meninggalkannya begitu saja di kamar pengantin kami.

***

Flash back off

"Dok?"

Aku tersentak.

Perawat memakaikan pakaian operasiku. Lalu mengarahkan baki steril berisi handscoon padaku. Kukenakan dengan cepat, lalu perawat itu menyemprotkan alkohol pada tanganku yang sudah siap dengan sarungnya.

"Siap kita mulai operasinya, Dok?"

Aku menarik napas, berusaha melupakan semua yang sudah berlalu, dan menepis segala rasa yang kini mulai hadir. Di hadapanku, jauh tertutup oleh lapisan-lapisan perut dan uterus, seorang bayi tengah memanggil-manggil namaku. Dia minta agar aku membantunya keluar ke dunia.

"Siap! Bismillahirrahmanirrahim ..."

Sayatan selebar tujuh centi itupun telah kulakukan. Kini saatnya fokus.

***

bersambung.

terima kasih sudah membaca

utamakan baca Al-Quran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status