“Yuna, kamu lihat aku! Kamu harus kuat demi aku!” pinta seorang wanita muda yang terlihat begitu gelisah.
Terlihat seorang wanita cantik tengah terbaring di atas tempat tidur dalam keadaan lemah dan pergelangan tangan kirinya tertancap selang infus. “Aku sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhku dan rasanya umurku tidak akan lama lagi …” lirih wanita yang terbaring tersebut. “Kamu ini ngomong apa sih Yun? Aku tidak suka kamu bicara yang tidak-tidak!” seru Reina. “Reina, terimakasih karena selama ini kamu telah sabar menemani aku yang sakit-sakitan ini. Disaat temanku yang lain menghilang dan menyerah, hanya kamu saja yang masih setia berteman denganku. Reina, aku boleh minta sesuatu sama kamu?” tanya Yuna pada Reina. Reina mengangguk lalu bertanya, “Katakanlah, Yun, akan aku kabulkan,” ujar Reina sambil terisak. Yuna tersenyum, berusaha mengumpulkan tenaga untuk meraih tangan Reina di dekat dirinya. Raut wajahnya terlihat begitu serius yang membuat Reina menjadi tanda tanya? "Reina, aku berharap kamu dapat menggantikan aku …” lirih Yuna dengan tetap berusaha berbicara, “Menikahlah dengan suamiku, aku tidak ingin anak-anakku tidak mendapatkan kasih sayang seorang Ibu ketika aku sudah tidak ada—" "Bicara apa kamu Yuna! Aku yakin kamu pasti sembuh kok! Jangan banyak berpikir negatif dulu!” seru Reina, dengan refleks ia melepaskan tangannya dari jangkauan tangan Yuna. Seketika situasi menjadi hening, bentakan yang telah dilontarkan Reina telah berhasil membuat pilu hati Yuna. Merasa bersalah, Reina berusaha untuk menenangkan suasana dan meminta maaf atas apa yang barusan ia katakan tersebut dengan tetap memotivasi Yuna agar terus bersemangat melewati hari-hari yang sulit. “Tidak mungkin aku akan sembuh! Aku ini sakit kanker dan sudah stadium akhir, sungguh mustahil penyakit kanker ini bakalan sembuh. Reina, kamu menganggap aku sahabat? Jika iya, tunjukkanlah dengan bukti pernikahan kamu dengan suamiku!" seru Yuna. Cukup lama Reina membisu untuk memutuskan jawaban yang teramat sulit untuk diputuskan. Bagaimana mungkin ia yang masih lajang harus menikah dengan suami orang yang tidak lain merupakan suami dari sahabatnya sendiri! Apalagi, harus menerima kenyataan jika ia menyetujui permintan Yuna, maka Reina harus siap menyayangi dua anak kembar sekaligus. Namun, melihat wajah sahabatnya yang pucat dan selalu merasakan kesakitan yang luar biasa, membuat Reina merasa kasihan. Saat Reina hendak menjawab, seseorang pun datang dan membuka pintu. "Yuna, bagaimana keadaanmu?” seorang laki-laki dengan mengenakan kemeja berwarna putih itu menghampiri Yuna. Terlihat dari rahangnya yang menegang, bahwa ia terlihat gelisah. Yuna tersenyum, "Kebetulan sekali kamu datang," ujar Yuna. "Kau, habis menangis?” tanya Angga terkejut ketika melihat kelopak di bagian bawah mata Yuna telah membengkak. “Aku tidak apa-apa, sayang ... Kamu jangan terlalu memikirkan aku” ujar Yuna sambil tetap tersenyum. Sementara itu, Yuna melirik Reina seakan sedang menanti jawaban yang belum disampaikan oleh Reina kepadanya, “Sayang, ada yang ingin aku katakan,” ujarnya.“Katakanlah, aku akan mengabulkannya untukmu, Istriku.” Angga mendekat ke arah Yuna, seraya menggenggam tangan Yuna yang dingin.“Menikahlah dengan Reina—” ucapan Yuna terpotong bersamaan genggaman tangan Angga yang lepas.“Kau membicarakan hal konyol itu lagi?!” Angga mundur ke belakang seraya menyugar rambutnya ke belakang “Sudah aku katakan, kau akan sembuh, sayang! Berhentilah memintaku melakukan hal konyol itu!” tanpa Angga sadari, suaranya meninggi, membuat Yuna menangis tersedu karena kemarahan Angga.“Sayang, dengarkan aku. Aku tidak akan sembuh, bahkan kita semua tahu kalau dokter sudah memvonis itu,” pandangan Yuna beralih menatap Reina yang berada di sebelahnya, “Reina, kau bisa tepati janjimu, kan?” Reina mengembuskan napas berat, “A-aku bersedia menikah dengan Mas Angga—” ujar Reina tergugu. "Apa-apaan kau Reina, berani-beraninya kau berucap seperti itu!" pekik Angga, dengan tatapan menghunus ke arah Reina. "M-mas … tolong …" lirih Yuna, Angga dan Reina sontak menoleh dan monitor yang memantau denyut jantung Yuna berbunyi, menandakan kalau jantung Yuna melemah. "Reina, cepat panggilkan dokter!" teriak Angga pada Reina. Dengan cepat Reina berlari ke luar kamar untuk menemui dokter. Air matanya mengalir deras dan hatinya sesak. Seakan hari ini merupakan hari terakhir baginya untuk melihat Yuna di dunia ini. Disisi lain, Yuna sudah kritis, membuat Reina cemas. “Sayang, kamu harus bertahan! Ingatlah putri kembar kita, mereka menunggumu di rumah ...” lirih Angga. Terlihat dokter tengah mengecek denyut nadi Yuna. Reina juga telah kembali ke ruangan dan menyaksikan Yuna yang telah tidak bergerak. Hingga dokter pun meminta perawat untuk menutup tubuh Yuna dengan selimut rumah sakit. Angga dan Reina kebingungan dengan perawat yang telah menutup seluruh tubuh Yuna. Dengan menghela nafas, dokter pun mengabarkan kabar terburuk yang tidak pernah mereka pikirkan. Seketika bayangan mulai berubah gelap yang membuat pandangannya semakin memudar hingga Reina pun jatuh pingsan. Entah berapa menit ia pingsan namun saat ia sadar, ia telah berada di dalam kamar tidurnya sendiri. Seakan ingatannya belum terkumpul dengan penuh, Reina tetap memaksakan diri untuk bergerak dan kedua tangannya memegangi kepalanya. “Pusing ...” Reina mencoba membuka matanya, ia melihat sepenjuru ruangan, bahwa ia sudah tidak berada di rumah sakit. “Sayang, kamu tidak apa-apa?” terlihat seorang wanita paruh baya dengan raut wajah penuh kegelisahan. Beliau adalah ibu dari Reina yang begitu mengkhawatirkan kondisi putrinya yang saat ini baru sadarkan diri. “Ibu? Aku ada dimana? Ah... Yuna? Dimana Yuna sekarang Bu?” Reina kembali teringat dengan Yuna, Ibunya mencoba memeluk Reina sementara Ayahnya yang sedari tadi berdiam diri di pojokan tembok hanya bisa menatap kedua wanita tengah berpelukan. “Kamu harus mengikhlaskan Yuna, dia telah berpulang ke hadapan yang mahakuasa” ujar Ibu dari Reina. Dalam kesedihan itu, terdengar suara ketukan pintu dari arah pintu depan rumah. Ayahnya mencoba untuk menghampiri siapa yang tengah mengetuk pintu. Sementara Reina masih terisak dipelukan sang Ibu. Ujang, nama ayah dari Reina terkejut ketika melihat siapa yang datang. Terlihat Angga datang dengan seorang diri dengan memakai pakaian serba hitam. “Apa saya boleh berbicara dengan Reina?” tanya Angga dengan suara datar. Kedua orang tua Reina langsung mengiyakan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan kepada putri mereka alias kepada Reina sendiri. Ujang dan Anum keluar dari kamar tidur yang berarti didalam kamar tersebut hanya ada Angga dan Reina saja. Angga menghampiri Reina yang masih terlihat terkejut melihat Angga. Ia belum siap untuk menghadapi atasannya itu apalagi saat mengingat wasiat Yuna sebelum menghembuskan nafas terakhir.“Saya kesini karena ada hal yang harus kita bicarakan.” ujar Angga, wajahnya mengeras, Reina paham, saat ini Angga telah kehilangan istri tercintanya. Reina berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang atasannya katakan itu. Sambil mengatur raut wajah agar tidak menunjukkan rasa sedih.“A-ada apa?” Reina pun bertanya inti dari kedatangan Angga menemuinya. “Saya akan menikahimu, sesuai dengan permintaan Yuna.” Angga dengan tegas mengatakan hal itu. Mimik Reina yang semula ramah, kini murung saat mendengar perkataan Angga yang dinilainya terlalu cepat mengambil keputusan. Merasa tidak suka dengan apa yang Rangga katakan kepadanya, Reina pun secara blak-blakan mengatakan isi hatinya. Ia hanya ingin Rangga memahaminya juga, karena Reina juga seorang wanita yang tidak bisa ditukar dengan barang. “M-maf Mas Angga, saya tidak bisa,” tolak Reina. “Kalau bukan karena istriku, saya tidak akan mengemis seperti ini. Tolong, kita harus menikah agar Yuna Bahagia di sana!” pinta Angga. Reina terdiam, ia merenungi nasibnya yang masih melajang di usianya yang telah berusia 28 tahun. Mengingat kedua orang tuanya yang terus mendesaknya untuk segera menikah agar mereka mendapatkan cucu yang ganteng dan cantik. Hanya saja, kondisi perekonomian orang tuanya lah yang membuat Reina menghabiskan usia mudanya hanya untuk berkarir. “B-baiklah, ini demi sahabatku.” ujar Reina sambil tertunduk.Pernikahan mereka pun diadakan dengan apa adanya karena acaranya diadakan sangat mendadak. Meskipun demikian, kemewahan dan nuansa konglomerat sangat melekat pada diri Angga. Hal ini membuat kedua orang tua Reina terlihat sumringah dan merasa kehidupan mereka saat ini akan berbanding terbalik dengan kehidupan sebelum-sebelumnya. Sejak dulu mereka sangat menginginkan mempunyai menantu yang kaya raya agar bisa hidup dengan kemewahan. Meskipun saat ini putrinya yang masih perawan itu menikah dengan seorang duda beranak dua bukanlah menjadi masalah bagi kehidupan mereka.“Wahhh Pak Ujang beruntung sekali dapat menantu kaya raya!” celoteh Farhat, tetangga Ujang.“Makanya kalau punya anak suruh kerja di kantor-kantor biar bisa dekat sama orang kantoran juga dan kalau beruntung bisa dapat bos di kantor tempat anak kita bekerja”” ujar Ujang dengan bangga.Sementara itu, hati Reina serasa dicabik-cabik. Ingin ia menangis namun bahkan air matanya pun tak dapat keluar detik ini juga hingga acara
“Maaf, saya hanya ingin memberikan laporan hasil keputusan rapat pagi tadi” ujar Reina, matanya sesekali melirik Angga secara diam-diam.“Wah! Baru kali ini saya melihat istri atasan malah melayani sekretaris” celoteh Centini, sembari meraih berkas tersebut, “Terimakasih Bu Reina” Reina membalasnya dengan senyuman tipis. Sementara itu Angga angkat bicara, “Centini, tolong infokan ke saya apabila berkas proyeknya telah selesai, dan Reina, ikutlah dengan saya” ujar Angga sembari berlalu.Reina mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Angga dari arah belakang. Beberapa karyawan melihatnya, ada yang merasa iri karena Reina yang baru bekerja di perusahaan Hanum, dari karyawan biasa kini begitu mudahnya menjadi istri CEO di perusahaan. Saat masuk ke dalam ruangan, Angga pun memintanya untuk tetap bekerja seperti karyawan pada umumnya dan posisi Reina tetaplah sebagai karyawan biasa. Mendengar itu, Reina hanya mengangguk tanpa berani berpendapat.Hingga jam pulang kantor pun tiba, Agustina da
Setelah menghabiskan waktu selama sejam lebih akhirnya Reina pun selesai memasak. Aroma masakannya mengunggah selera hingga dapat tercium dari berbagai penjuru ruangan di rumah yang bak menyerupai istana. Tak terkecuali dengan Pinka yang saat ini terbangun lebih awal karena ingin buang air kecil di kamar mandi yang jaraknya bersebelahan dengan area dapur. “Enaknya” ujar Pinka, bocah yang menggemaskan ini berjalan ke arah sumber aroma yang berhasil membuat perut mungilnya keroncongan. Saat berada di dekat pintu dapur, Pinka melihat ibu sambungnya di dalam dapur. Dengan terburu-buru ia melewati dapur dan masuk ke dalam kamar mandi.“Ibu!” sapa Pinka yang saat ini sudah menghampiri Reina di dapur.“Hai, Sayang” balas Reina sembari mencium pipi chubby Pinka dengan gemas.“Ibu lagi buat apa di dapur?” tanya Pinka sekali lagi.“Ibu lagi masak nasi goreng, nih sudah selesai” ujar Reina dengan ramah. “Wah... Pinka jadi lapar” ujar Pinka.“Iya sayang, sekarang Ibu Reina mau taruh ini dulu di
Angga menghampiri Reina yang kebetulan sibuk mencuci pakai didalam kamar mandi. Suasana di ruangan itu terlihat begitu hening. Sedangkan kedua putrinya sedang berada di taman kanak-kanak, menikmati proses bermain dan belajar sebelum memasuki usia sekolah dasar. Singkat cerita, Angga mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan-lahan. Reina tersenyum kearahnya dengan wajah yang memucat. Mungkin saja Angga mengira Reina kecapean melakukan rutinitas selayaknya ibu rumah tangga lainnya. Padahal, dirumah mereka sudah ada dua pembantu dan satu satpam. Hanya saja, ketiga orang tersebut seringkali meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing. Entah karena ada alasan upacara, anak sakit atau lain sebagainya.“Maaf Reina, saya telah mengganggu aktivitas kamu” ujar Angga. Ia berdiri sedangkan Reina masih berjongkok. Reina mulai berdiri dan kini tepat sekali berhadapan dengan Angga. Keduanya saling bertatapan. “Nanti sore apa kamu sibuk?”tanya Angga. "Tidak, memangnya ada apa
Reina terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Merasa hawa terlalu dingin, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyaman. Reina meraih ponsel Android yang telah menemaninya sedari ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga, sedangkan Reina tidak dapat melanjutkan tidurnya. Ia menghela nafas, lalu memilih untuk memasak.jam telah menunjukkan pukul setengah enam, Reina telah menyiapkan masakannya di atas meja. Wajahnya menegang, ia masih memikirkan kejadian semalam, ”Uuh... Semoga saja Pak Angga tidak marah lagi” gumamnya dalam hati.Terlihat dari kejauhan, Pinka dan Pinky sudah terbangun dari tidurnya. Mereka keluar dari kamar tidur karena mencium aroma masaka. Reina melihatnya dan memanggil mereka untuk duduk duduk bersama. Kedua bocah itu memintanya untuk mengambilkan nasi dan lauk pauk, Reina tersenyum dan menuruti kemauan putri sambungnya tersebut.“Ibu Reina, sekarang Ibu Reina mau mandi ya?” tanya Pinka.”Iya, setelah selesai bersih-be
"Apa? Tidak mungkin ini terjadi!" seru Reina, Ia menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, hasil telah menunjukkan hal yang sebenarnya. Sebaiknya Ibu harus ikhlas dan jaga putri Ibu dengan lebih hati-hati" ujar dokter. Reina langsung membayar sesudah dokter selesai memeriksa keadaan Pinky. Ia mengajak kedua putri kembarnya untuk masuk kedalam mobil. Tidak ada sepatah apapun yang dapat Reina ucapkan, hanya bayangannya kini dipenuhi dengan rasa bersalah, "Tuhan, apa yang mesti saya lakukan? Jika Angga mengetahuinya, dia pasti tidak akan memaafkanku..." lirih Reina dalam hati. Tak terasa butiran air mata mulai jatuh membasahi pipinya yang mulus, disisi lain Pinka melihatnya dan dengan polosnya ia bertanya, "Ibu Reina kok menangis?" Tangan mungilnya itu dengan reflek menghusap air mata di pipi Reina, "Ibu hanya sedikit mengantuk" ujar Reina dengan berbohong. Tak berselang lama, terdengar suara handpone yang berdering cukup keras. "Kok gak diangkat Bu?" tanya Pinka. "Sayang, bahaya bil
"Reina, tidak sia-sia kita bekerja! Uang gajih ini telah membayar rasa lelahku selama satu bulan lamanya'' ujar Agustina dengan sumringah.Reina menatap wajah beberapa karyawan yang juga terlihat begitu bahagia kecuali dirinya. Disaat yang lain mendapatkan bayaran di akhir bulan, mengapa ia belum mendapatkannya? Ingin protes tapi ia malu tuk mengatakannya. Ditambah Reina merasa malas harus berhadapan dengan orang kepercayaan suaminya itu. "Ayo kita ke kafe malam ini buat merayakan!" ajak Agustina pada Reina."A-aku belum bisa ikut..." lirih Reina. Agustina menatap wajah Reina dengan rasa heran, tak seperti biasannya Reina menolak ajakannya itu. Dengan rasa penasaran, Agustina mencoba menanyakan alasan Reina menolak ajakannya tersebut. Dengan jujur Reina mengaku bahwa ia belum menerima haknya. Agustina terkejut dan sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu harus tegas sama Centini! Biar dia tak seenaknya kayak gitu. Apalagi kamu kan istri Ceo, pasti dia gak akan berani memecat ka
“Tutup mulutmu!” seru Agustina.”Kenapa kalian tega dengan Reina? Apa salahnya pada kalian sehingga Reina harus dipecat seperti itu!” seru wanita muda berkemeja putih dengan rambut pendek tergerai.Rosa langsung meraih tangannya dan menyisipkan beberapa selembar uang merah, “Kau butuh ini juga kan?” Seketika wanita muda itu melempar uangnya hingga uang-uang tersebut berjatuhan di lantai, ”Saya tidak seperti kalian!” tegasnya sembari berlalu.Rosa langsung cemas, wajahnya mulai memerah! Ia takut jika kejahatannya terbongkar detik ini juga. Rosa melirik Agustina yang masih terpaku, ”Bagaimana ini? Jika Intan mengadu pada Pak Angga, maka habislah kita!!!” “Kita harus berbuat sesuatu!" tegas Agustina.“Apa rencanamu? Cepatlah, beritahu aku!” seru Rosa.***“Hallo? Reina, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu. Tapi saat ini saya mau menyelesaikan pekerjaanku dulu, nanti setelah pekerjaan ini sudah selesai, saya akan mampir ke rumah kamu” Intan mematikan telepon dan kembali bek