Share

Sikap Yang Tidak Seperti Pengantin Baru

Pernikahan mereka pun diadakan dengan apa adanya karena acaranya diadakan sangat mendadak. Meskipun demikian, kemewahan dan nuansa konglomerat sangat melekat pada diri Angga. Hal ini membuat kedua orang tua Reina terlihat sumringah dan merasa kehidupan mereka saat ini akan berbanding terbalik dengan kehidupan sebelum-sebelumnya. Sejak dulu mereka sangat menginginkan mempunyai menantu yang kaya raya agar bisa hidup dengan kemewahan. Meskipun saat ini putrinya yang masih perawan itu menikah dengan seorang duda beranak dua bukanlah menjadi masalah bagi kehidupan mereka.

“Wahhh Pak Ujang beruntung sekali dapat menantu kaya raya!” celoteh Farhat, tetangga Ujang.

“Makanya kalau punya anak suruh kerja di kantor-kantor biar bisa dekat sama orang kantoran juga dan kalau beruntung bisa dapat bos di kantor tempat anak kita bekerja”” ujar Ujang dengan bangga.

Sementara itu, hati Reina serasa dicabik-cabik. Ingin ia menangis namun bahkan air matanya pun tak dapat keluar detik ini juga hingga acara pun selesai, Angga dan Reina masuk ke dalam kamar tidur yang terlihat seperti ruangan hotel bintang lima. Reina terkesima sesaat ketika melihat ruangan yang sebenarnya bisa dikatakan lebih dari sekedar kamar tidur biasa. Angga mengunci pintu lalu mendekati Reina dengan raut wajah datar.

“Kau, tidurlah di kasur.” Angga berjalan seraya membawa beberapa bantal dan selimut menuju sofa yang ada di kamar.

“M-maksudmu, kita tidur terpisah?” tanya Reina yang hanya menatap punggung Angga yang sedang merapikan tempat tidurnya di sofa.

Angga menegapkan tubuhnya, lalu berbalik menghadap Reina, “Apa yang kau harapkan?” seraya melangkah maju mendekatin Reina, “Pernikahan kita hanya sebatas wasiat dari Yuna, Istriku.”

Angga menegaskan kata Istriku, yang berarti bahwa hanya Yuna lah istri Angga satu-satunya, tidak peduli bagaimana perasaan Reina saat ini yang sudah menjadi istri Angga.

Reina memang seharusnya tidak berharap apa-apa dari pernikahan mereka, karena jelas ia tahu bagaimana Angga mencintai Yuna semasa Yuna masih hidup. Yuna hanya meminta kepada Reina untuk menjaga Angga dan anak kembar mereka kepada Reina, bukan meminta Angga untuk mencintai Reina.

“Tidurlah. Karena besok aku harus bekerja.” Lamunan Reina dibuyarkan oleh suara Angga.

Kemudian mereka tidur tanpa mengucapkan kalimat atau kata-kata apa pun lagi.

Reina menghadap ke jendala besar yang ada di kamar itu, memikirikan bagaimana nasibnya kini yang sudah menjadi seorang istri untuk suami sahabatnya. Reina menginginkan pernikahan, namun bukan pernikahan seperti ini yang ia harapkan. Diam-diam Reina menangis seraya menutupi wajahnya dengan bantal, supaya Angga tidak mendengarnya. Reina menangis sampai tertidur.

Reina bangun lebih awal, ia tidak pernah merasakan tidur senyenyak ini seumur hidupnya, karena mungkin saja efek kasur yang ia tiduri saat ini sangat empuk. Ia menoleh ke arah sofa dan mendapati sosok yang kini menjadi suaminya tengah tertidur dengan pulasnya.

Reina beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi, ia bergegas mandi karena harus berangkat bekerja, serta menyapa orang-orang yang ada di rumah ini.

“Ya Tuhan, luas sekali rumah ini sampai-sampai aku menjadi bingung sendiri” gumam Reina pelan.

“Kau mencari apa?”

Degupan jantungnya semakin tak karuan hingga tiba-tiba, Angga mengagetkan Reina. Tatapan mata pria yang kini telah berstatus suami itu seperti tidak menyukai keberadaan Reina di rumahnya.

“A-aku hanya ingin ke dapur?” tanya Reina gugup. Dilihatnya Angga yang baru bangun dari tidurnya, dengan rambut yang sedikit berantakan pun terlihat rupawan.

“Dapur ada di sebelah sana.” Angga menunjukkan letak dapur kepada Reina dan berlalu meninggalkannya.

Reina melihat ke sekeliling ruangan, masih terlihat sepi, Reina mencoba untuk membuat sarapan. Ketika Reina sedang sibuk menyiapkan sarapan, tanpa Reina sadari, Angga melihat gerak-gerik Reina dari atas, di depan kamar mereka berdua. Terlihat Angga sedang menghubungi seseorang dengan dahi berkerut.

Lalu, setelah Angga selesai berbicara dengan seseorang di telepon, Angga turun dan melihat bahwa makanan sudah tersaji di meja makan.

“A-aku hanya bisa menyiapkan sarapan sederhana …” ucap Reina takut, karena melihat Angga yang menautkan alisnya ketika melihat makanan-makanan yang ia hidangkan.

Angga menggeser kursi yang ada di depannya, “Duduklah, kita makan Bersama sebelum berangkat ke kantor.”

**

“Reina, kamu sedang bersih-bersih ya? Sini biar saya yang gantikan!” seru Rosa.

Seperti biasa, Reina memang paling rajin datang ke kantor pagi-pagi sekali, berbeda dari beberapa rekan seprofesinya. Hingga satu persatu orang lain pun datang.

“Eh? Tapi...” belum selesai berbicara, sapu bulu yang Reina pegang langsung diraih oleh Rosa dan setelah itu Risa langsung bersih-bersih. Sementara Reina masih setengah kebingungan membayangkan reaksi yang tidak terduga tersebut.

Reina masuk ke ruangan dan merapihkan beberapa berkas penting yang memang biasa ia rapihkan.

“Sini biar saya saja yang merapihkan... Nanti kalau ketahuan oleh Pak Angga, saya yang dimarahi.” ujar Intan yang juga rekan kerja Reina.

“Tidak apa-apa karena ini memang tugas saya kok” ujar Reina namun Intan tetap kekeh ingin dirinya sendiri yang merapihkan.

Reina merasa rekan-rekan kerjanya agak berlebihan hari ini. Yang pada akhirnya Reina memilih untuk ke ruangan sepi. Saat masuk ke ruangan sepi, ia melihat Agustina yang sedang duduk sendirian.

“Kenapa wajah kamu seperti tidak bahagia?” tanya Agustina.

“Entah mengapa tiba-tiba teman-teman kita pada aneh sekali. Mereka malah merebut aktifitas saya, dan sekarang saya jadi bingung harus mengerjakan apaan? lirih Reina.

Mendengar keluhan Reina, justru membuat Agustina terkekeh, “Itu karena sekarang kamu telah menjadi istri bos!” seru Reina dengan tegas namun wajahnya yang mirip seperti film Disney Jasmin itu terlihat tersenyum manis.

“Maksudnya?” tanya Reina kebingungan.

“Maksudku gini loh ... Kamu menikah sama Pak Angga, saya pikir kamu tidak perlu jadi karyawan bawahan gitu. Atau paling tidak kamu menjadi sektretaris Pak Angga mengganti posisi Centini.” ujar Agustina.

Reina terkejut mendengar perkataan rekan kerjanya itu. Baginya, bukan labelnya untuk merebut hak orang lain. Reina sama sekali tidak kepikiran untuk melengserkan jabatan Centini hanya demi kepuasan pribadi. Saat melongo, Agustina memberikan beberapa berkas pada Reina.

“Bawa berkas ini pada Centini, siapa tahu dia akan menghormati kamu daripada sebelum-sebelumnya” ujar Agustina.

“Tapi, saya tidak berani menghadap ke dia …” lirih Reina, ia masih trauma dengan perlakuan Centini yang telah jahat kepadanya.

“Ayo kesana, pamerkan status kamu!” seru Agustina dengan semangat.

Reina mengangguk pelan lalu perlahan menuju ke arah ruangan di lantai dua. Dengan langkah kaki pelan, Reina sesekali menghela nafasnya dengan panjang agar ia tidak grogi jika berhadapan dengan sekretaris yang dikenal orang-orang sebagai sekretaris kejam. Reina mengetuk pintu lalu membukanya secara perlahan. Saat itu juga, Reina melihat Angga yang sudah lebih dulu berada di ruangan Centini. Terlihat, mereka begitu mesra sekali, tangan Centini memegang dasi panjang berwarna hitam yang dikenakan oleh Angga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status