"Hai Tante!” Pinky menyapa Centini yang sudah membuka pintu. “Hai juga anak manis!” sapa Centini.“Pinky, dimana Papa kamu?” tanya Centini.”Papa ada didalam mobil, ayo Tante ikut aku ke sana” Pinky meraih tangan Centini untuk segera menunju ke arah mobil.Centini sumringah saat melihat Angga, namun hatinya merasa kurang bahagia. Melihat kedua anak yang beresiko menggagalkan rencananya, Centini menjadi harus berpura-pura baik. Pinky masuk ke dalam mobil sementara Centini masih berdiri mematung di luar. ”Centini, ayo masuklah!!” suara Angga terdengar lembut namun mampu membuat lamunan wanita muda di dekatnya menjadi fokus.”Iya, aku masuk sekarang" sahut Centini.Angga mulai menyalakan mobil BMW yang baru satu bulan ia beli. Bukan karena perlu namun memang karena hobi. Di bagasi mobil pribadinya saja sudah ada sepuluh mobil yang tersimpan dengan rapih. Semuanya juga termasuk mobil bermerek. Tak jarang, Angga dengan senantiasa meminjamkan mobilnya itu bagi siapapun yang sedang memerlu
“Arhhhh” Suara desahan terdengar dari hotel dengan nomor kamar 03. Selama berjam-jam, desahan-desahan yang terdengar di kamar itu semakin menjadi-jadi. Hingga suara tersebut mulai sunyi. Pintu mulai terbuka lebar memperlihatkan Pria berbadan kekar mulai keluar dengan wajah yang begitu beringas. Pria kekar itu langsung ke keluar begitu saja tanpa menutup pintu yang sempat ia buka.Terlihat dari dalam kamar tidur, seseorang wanita muda tengah menangis tersedu-sedu. Rosa menghampirinya dan menutup pintu, ”Bagaimana? Apa kamu menikmatinya? Saya dengar desahanmu sangat menggiurkan!" seru Rosa.Wanita muda yang sempat menangis menghusap air matanya. Tatapan mata dan hatinya begitu tajam ke arah Rosa. Hanya saja saat ini dirinya benar-benar merasa tidak berdaya. Melawan kena dan diam pun juga kena."Kapan saya bisa terbebas dari kalian? Saya lelah dengan semua semua ini...” lirihnya."Intan, kamu baru pertama kali bekerja sebagai kupu-kupu malam dan kamu sudah merasakan lelah? Lihatlah wanita
“Kamu kemana saja sayang? Aku telepon kamu dari tadi tidak kamu angkat-angkat? Aku khawatir sekali sama kamu" Suara laki-laki yang tidak asing di telinganya, Intan menunduk sembari meremas tas selempangnya sendiri. "Aku sedang sibuk!" seru Intan."Kenapa tidak kamu beritahu aku terlebih dahulu agar aku tidak mengkhawatirkan keadaan kamu sayang" ujar kekasih Intan yang bernama Regan."Aku lelah, tolong jangan halangi aku untuk masuk ke rumahku sendiri!" Intan mendorong tubuh kekasihnya ke samping agar tidak menghalangi jalannya. Regan berusaha meraih tangan Intan namun tak sempat karena sekarang Intan sudah masuk ke dalam rumah dengan mengunci pintu erat-erat.Regan bersedih merasa Intan telah berubah. Dengan rasa penuh kekecewaan Regan pun meninggalkan halaman rumah Intan. Merasa Regan telah pergi, Intan mencoba untuk mengintip melalui celah jendela. Air matanya mengalir begitu deras, rasa sesak semakin menyiksa batinnya saat ini."Hiks... Maafkan aku! Aku tidak bermaksud seperti ini
“Kasihan Intan, mengapa ada orang yang tega membuatnya seperti itu” Reina menghela nafas tak mampu membayangkan nasib mantan rekan kerjanya. Disaat yang lain telah meninggalkan pemakaman, hanya Reina dan Agustina yang masih berada di kuburan.“Katanya sebelum dibunuh terlebih dahulu dia dilecehkan. Ah... Benar-benar malang padahal masih muda dan masa depannya juga panjang” ujar Agustina.Tampak dari kejauhan terlihat seseorang laki-laki dengan berpakaian pasien tengah berjalan menuju ke arah pemakaman. Reina tidak sengaja melihatnya, “Siapa dia? Sepertinya wajahnya tidak asing” ujar Reina.“Dia itu Regan kekasih dari Intan” sahut Agustina.Regan berjalan menuju ke arah mereka. Wajahnya sembab seperti tak bergairah. Karena saat ini Reina begitu dekat dengannya, sebagai mantan rekan kerja, Reina mencoba menyapa Regan. Terlihat, Regan hanya membalas sapaannya dengan singkat dan Reina memakluminya.“Regan, kami berdua mau pulang duluan ya” ujar Agustina dan dibalas anggukan kepala dari Reg
Setelah sibuk mengemudi hingga berjam-jam lamanya akhirnya Reina sampai juga di tanah kelahirannya. Wajah cantik itu terpampang dengan sunggingan senyum yang manis, “Yes akhirnya sampai juga!”Reina turun dari mobil lalu berjalan ke arah bagasi. Satu persatu barang mulai ia turunkan dengan penuh semangat. Mendengar suara mobil, Ujang datang untuk melihat...“Reina?” Ujang menghampiri putri kesayangannya dengan refleks Reina meraih tangan Ujang lalu menciumnya dengan penuh bakti.“Aku ingin pulang kesini Pa” ujar Reina.Ujang menganggukkan kepalanya dan mencoba membantu putrinya untuk membawa semua barang-barang yang dibawa oleh Reina ke dalam rumahnya. Saat sudah berada didalam ruangan Reina memilih duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Kursi yang sudah ada sebelum ia dilahirkan di dunia yang indah ini. Ujang membiarkan putri semata wayangnya itu beristirahat di ruang tamu sedangkan ia yang selesai menaruh barang, memilih masuk ke dapur.“Huamz. . Rasanya aku ingin tidur hari in
“Lain kali jangan seperti barusan lagi... Karena sekarang, Mama jadi tidak enak hati sama Mpok Juli–” Reina membalas perkataan mamanya hanya dengan senyuman manis. Baginya, senyuman adalah hal utama dalam merespon sesuatu. Berbeda pandangan, justru Ujang malah bangga dengan sikap tegas yang tunjukkan oleh Reina. Sebagai kepala keluarga, Ujang juga sakit hati bila melihat istrinya terus-menerus di olok-olok. Meskipun mereka miskin namun tak selayaknya diperlakukan sebelah mata. Ujang juga merasa selama ini dirinya bekerja dengan giat untuk bertanggungjawab dalam melunasi hutang dan tidak lepas dari tanggungjawab!!!“Papa lihat kamu yang sekarang sudah memiliki kemajuan. Ini juga berkat suami kamu yang merubah hidupmu menjadi bertakhta tinggi” celoteh Ujang penuh haru.“Benar sekali! Uang itu pasti pemberian dari Pak Angga? Seandainya saja Mama memiliki cucu betapa bahagianya Mama dan Papa. Ya, enggak Pah?” Anum melirik Ujang, meminta jawaban.“Iya Mah” sahut Ujang singkat.Mendadak Re
“Kok rasanya tanpa adanya Ibu Reina, rumah ini jadi sepi? Belum lagi Mama masih sakit...” lirih Pinky.Keadaan keduanya sama-sama kesepian tanpa kehadiran sosok “ibu” akan berbeda meskipun sudah ada papa disamping mereka. Anak cenderung lebih ingin berada di dekat ibu, karena ibu membawakan kenyamanan khusus bagi anak-anaknya. “Anak-anak ayo sarapan pagi!” teriak Surti, pembantu di rumah itu.Pinka mengajak Pinky agar turun dari atas kasur mereka. Dengan cemberut Pinky menggelengkan kepalanya, “Kamu saja yang makan!”“Tapi kan...”“Jangan paksa aku! Aku gak mau makan kalau gak ada Mama!!!” Pekik Pinky.Pinka mengangguk dan mulai turun dari atas kasur. Berjalan menjauhi kembarannya yang tetap bersikeras tak mau makan, “Kalau lapar jangan lupa makan ya” ujarnya sembari berlalu.Pinky mendengus kesal, air matanya mulai jatuh membasahi pipinya yang terlihat cuby. Pinky melirik ke arah meja kecil yang berada didekat disamping kanan tempat tidurnya. Terpampang jelas foto keluarga yang harm
“Ma, Pa... Reina pamit pulang dulu ya. Aku tidak bisa berlama-lama berada disini, karena ada suami dan anak-anak yang sedang menungguku di rumah–” kata Reina, meraih tangan kedua orang tuanya dan minumnya secara bergiliran.“Iya, Sayang... Mama dan Papa titip salam ya sama Pak Angga”“Dan... Tolong sampaikan pesan Mama kemarin Malam–” bisik Bu Anum didekat telinga Reina.Pak Ujang berusaha menebak-nebak tentang apa yang sedang dibicarakan oleh istrinya tersebut? Berusaha untuk menguping namun Bu Anum memarahinya dengan berceloteh, “Ah... Papa! Gak boleh menguping!!!””Ngomongin apa Ma? Pasti ngomongin Papa yang gantengnya mirip Pak Angga” celoteh Pak Ujang.“Iya mirip... Kalau dilihat dari sedotan” celetuk Bu Anum.Reina terkekeh menyaksikan kedua orang tuanya berantem namun terlihat lucu. Sampailah waktunya Reina untuk pergi. Ia masuk ke dalam mobil mewah milik suaminya. Setelah kepergian Reina, kedua orang tuanya mendadak diam. Wajahnya murung seakan telah terpisah jauh dari buah hat