“Maaf, saya hanya ingin memberikan laporan hasil keputusan rapat pagi tadi” ujar Reina, matanya sesekali melirik Angga secara diam-diam.
“Wah! Baru kali ini saya melihat istri atasan malah melayani sekretaris” celoteh Centini, sembari meraih berkas tersebut, “Terimakasih Bu Reina”Reina membalasnya dengan senyuman tipis. Sementara itu Angga angkat bicara, “Centini, tolong infokan ke saya apabila berkas proyeknya telah selesai, dan Reina, ikutlah dengan saya” ujar Angga sembari berlalu.Reina mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Angga dari arah belakang. Beberapa karyawan melihatnya, ada yang merasa iri karena Reina yang baru bekerja di perusahaan Hanum, dari karyawan biasa kini begitu mudahnya menjadi istri CEO di perusahaan. Saat masuk ke dalam ruangan, Angga pun memintanya untuk tetap bekerja seperti karyawan pada umumnya dan posisi Reina tetaplah sebagai karyawan biasa. Mendengar itu, Reina hanya mengangguk tanpa berani berpendapat.Hingga jam pulang kantor pun tiba, Agustina dan Reina sedang berjalan menuju ke kendaraan mereka yang kebetulan saling berdampingan. Agustina masih saja menyuruh Reina untuk bisa mengalahkan Centini namun Reina tidak menggubris permintaan Agustina yang dinilainya terlalu konyol.Terdengar suara klakson yang membuat kedua wanita muda tersebut menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat siapa yang mengagetkannya.Agustina mulai senyam-senyum saat itu juga sementara Reina masih ketakutan.“Ayo masuk!” ujar Angga ketusReina terdiam sesaat, ia bingung harus berbuat apa? Sementara kalau ia ikut di satu mobil dengan Angga, maka motor kendaraannya tidak ada yang bawa. Dengan dilema tersebut membuat Reina tidak merespon apa-apa Hingga suara Agustina pun mengagetkan dirinya.“Reina, kok kamu diam aja? Kamu lagi diajak ngomong sama Pak Angga” bisik Agustina dengan heran.“Ma... Maaf Pak Angga, bukan maksud saya menolak ajakan Pak Angga. Tapi, saya sudah mengendarai motor ini ...” ujar Reina, ia menolak ajakan Angga secara halus.“Urusan itu biar saya yang atur. Sekarang, masuklah kedalam mobil!” perintah Angga. Reina pun mengangguk dan masuk ke dalam mobil.Selama diperjalanan, Reina hanya diam saja. Pasalnya ia bingung harus mengobrolkan apa? Tidak berselang lama, Angga mulai berbicara, “Tadi pagi, mama dan papa saya sudah tiba di rumah, mereka rela pulang dari Singapura ke Indonesia, hanya ingin melihat menantunya” ujar Angga.Reina berkeringat dingin, ia merasa belum siap untuk bertemu mertua. Berhadapan dengan suaminya saja ia masih canggung, bagaimana nantinya bila berhadapan dengan mama mertua? Pikiran-pikiran negatif mengiringi Reina, hingga ia tak sadar bahwa kini mereka telah sampai di rumah.”Ayo turun” suara Angga membuyarkan lamunannya. Reina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan lalu turun dari mobil.Mereka masuk ke dalam rumah dan Reina dapat melihat kedua orang tua yang tengah duduk bersantai di ruang tamu. Terlihat juga, kedua putri sambungnya sedang bermain riang di sekitar ruangan. Angga memanggil orang tuanya dan langsung mencium kedua tangan mereka sambil mulai memperkenalkan Reina yang masih diam mematung.”Ini Reina, istri Angga” ujar Angga. Sementara Reina tersenyum ke arah kedua orang tua Angga.Ratna, mama dari Angga mengerenyitkan dahinya. Bola matanya juga menelusuri dari bawah hingga atas pada diri Reina. Merasa ada sesuatu yang tengah mertuannya pikirkan, namun Reina yang lebih baru menjadi bagian keluarga konglomerat, tidak berani berkutik.”Baiklah, saya jadi tidak kesusahan untuk mengurusi kedua cucu saya” ujar ibu mertua Reina.Angga tersenyum ketika kedua putrinya menghampirinya, Pinka dan Pinky anaknya periang dan mereka juga senang melihat orang baru datang ke rumahnya. Akhirnya, sore itu Reina habiskan waktunya untuk pendekatan baik pada kedua mertuanya ataupun dengan kedua putri sambungnya, hingga kedua mertuanya kembali berangkat dari Indonesia ke Singapura. Malam hari telah tiba, kini Angga dan Reina hendak menutup pintu.Namun, saat didepan pintu, tiba-tiba ada seseorang yang meraih pintu tersebut.”Pinka.... Pinky?” Reina yang terkejut melihat kedua bocah itu. Mendengar suara Reina, Angga langsung beranjak dari tempat tidur dan menghindari kedua putri kecilnya.“Pinka, Pinky? Kenapa kalian belum tidur?” tanya Angga pada buah hatinya.“Kami tidak bisa tidur Pa” sahut Pinka.Angga menghela nafasnya dalam-dalam sambil mengelus rambut kedua putrinya dengan sangat lembut. Dengan penuh perhatian, Angga pun meminta Reina untuk menemani mereka. Dengan lemah, Reina pun mengangguk. Terlihat Pinka dan Pinky mulai tersenyum karena bagi mereka, malam ini ada yang menemani tidur.“Ayo Ibu ikut kami” ujar Pinka sambil menarik tangan Reina hingga Reina mengikuti mereka.Mereka sudah berada di depan pintu kamar tidur lalu Pinky membuka pintu tersebut. Terlihat, kamar tidur yang sangat cantik dengan keseluruhannya bernuansa merah muda. Ada juga mainan-mainan yang masih berserakan di lantai. Sepertinya mereka sedang selesai bermain.“Ibu Reina, ayo masuk” ujar Pinka.Reina mengangguk pelan dan mulai masuk ke dalam kamar tidur tersebut. Awalnya Reina tidak mengerti harus bagaimana? Karena ia belum berpengalaman soal mengurus anak. Namun lama kelamaan, Reina sudah mulai terbiasa dan bahkan kini dengan santainya ia membacakan cerita dongeng agar Pinka dan Pinky bisa tertolong.“Akhirnya, Putri salju pun bahagia selamanya” ujar Reina dengan lega.Saat menolehkan kepalanya, Reina tersenyum lantaran kedua anak sambungnya telah tertidur dengan lelap. Dengan lembut, ia mulai meraih selimut dan menyelimuti tubuh mereka. Saat selesai menyelimutinya, Reina pun memilih untuk ikut tidur hingga perlahan-lahan matanya mulai terpejam. Keesokan harinya, Reina pun bangun pagi-pagi sekali. Karena hal ini memang kebiasaannya semasa masih melajang.“Ah... Baru jam empat, aku harus masak agar Angga bisa luluh kepadaku” gumam Reina pelan.Ia menoleh ke arah kedua anak sambungnya yang masih tertidur. Agar tidak membangunkan mereka, Reina pun sangat berhati-hati sekali saat turun dari atas tempat tidur hingga akhirnya ia bisa keluar dari kamar tidur tanpa diketahui oleh mereka. Lampu diseluruh ruangan mati dan Reina hendak mencari letak sakral lampu namun tiba-tiba lampu menyala yang membuatnya terkejut.“Mau ngapain?” tanya seseorang dari arah belakang Reina.Reina menolehkan kepalanya dan mendapati suaminya telah berada dekat dengan dirinya. Menyadari bahwa tidak terjadi apa-apa, Reina pun dapat bernafas dengan lega sambil membalas pertanyaan yang sempat suaminya lontarkan, “Saya mau masak, Pak” Reina mencoba membalikkan badannya namun tiba-tiba... Angga meraih tangan kanan Reina, mendadak Reina menjadi panas dingin akan dibuatnya.“Jangan pergi dulu, ada hal penting yang harus kita bahas” ujar Angga.“A-Apa itu?” tanya Reina.“Ini tentang kedua putri saya, tolong anggap mereka seperti anakmu sendiri. Saya akan membayarmu berapapun yang kamu minta” ujar Angga.Reina tersentak ketika Angga tidak main-main memberikannya setumpuk uang ditangannya. Jantungnya berdetak kencang, seumur-umur baru kali ini ia melihat uang sebanyak itu. Belum sempat Reina membalas, Angga sudah pergi.Setelah menghabiskan waktu selama sejam lebih akhirnya Reina pun selesai memasak. Aroma masakannya mengunggah selera hingga dapat tercium dari berbagai penjuru ruangan di rumah yang bak menyerupai istana. Tak terkecuali dengan Pinka yang saat ini terbangun lebih awal karena ingin buang air kecil di kamar mandi yang jaraknya bersebelahan dengan area dapur. “Enaknya” ujar Pinka, bocah yang menggemaskan ini berjalan ke arah sumber aroma yang berhasil membuat perut mungilnya keroncongan. Saat berada di dekat pintu dapur, Pinka melihat ibu sambungnya di dalam dapur. Dengan terburu-buru ia melewati dapur dan masuk ke dalam kamar mandi.“Ibu!” sapa Pinka yang saat ini sudah menghampiri Reina di dapur.“Hai, Sayang” balas Reina sembari mencium pipi chubby Pinka dengan gemas.“Ibu lagi buat apa di dapur?” tanya Pinka sekali lagi.“Ibu lagi masak nasi goreng, nih sudah selesai” ujar Reina dengan ramah. “Wah... Pinka jadi lapar” ujar Pinka.“Iya sayang, sekarang Ibu Reina mau taruh ini dulu di
Angga menghampiri Reina yang kebetulan sibuk mencuci pakai didalam kamar mandi. Suasana di ruangan itu terlihat begitu hening. Sedangkan kedua putrinya sedang berada di taman kanak-kanak, menikmati proses bermain dan belajar sebelum memasuki usia sekolah dasar. Singkat cerita, Angga mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan-lahan. Reina tersenyum kearahnya dengan wajah yang memucat. Mungkin saja Angga mengira Reina kecapean melakukan rutinitas selayaknya ibu rumah tangga lainnya. Padahal, dirumah mereka sudah ada dua pembantu dan satu satpam. Hanya saja, ketiga orang tersebut seringkali meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing. Entah karena ada alasan upacara, anak sakit atau lain sebagainya.“Maaf Reina, saya telah mengganggu aktivitas kamu” ujar Angga. Ia berdiri sedangkan Reina masih berjongkok. Reina mulai berdiri dan kini tepat sekali berhadapan dengan Angga. Keduanya saling bertatapan. “Nanti sore apa kamu sibuk?”tanya Angga. "Tidak, memangnya ada apa
Reina terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Merasa hawa terlalu dingin, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyaman. Reina meraih ponsel Android yang telah menemaninya sedari ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga, sedangkan Reina tidak dapat melanjutkan tidurnya. Ia menghela nafas, lalu memilih untuk memasak.jam telah menunjukkan pukul setengah enam, Reina telah menyiapkan masakannya di atas meja. Wajahnya menegang, ia masih memikirkan kejadian semalam, ”Uuh... Semoga saja Pak Angga tidak marah lagi” gumamnya dalam hati.Terlihat dari kejauhan, Pinka dan Pinky sudah terbangun dari tidurnya. Mereka keluar dari kamar tidur karena mencium aroma masaka. Reina melihatnya dan memanggil mereka untuk duduk duduk bersama. Kedua bocah itu memintanya untuk mengambilkan nasi dan lauk pauk, Reina tersenyum dan menuruti kemauan putri sambungnya tersebut.“Ibu Reina, sekarang Ibu Reina mau mandi ya?” tanya Pinka.”Iya, setelah selesai bersih-be
"Apa? Tidak mungkin ini terjadi!" seru Reina, Ia menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, hasil telah menunjukkan hal yang sebenarnya. Sebaiknya Ibu harus ikhlas dan jaga putri Ibu dengan lebih hati-hati" ujar dokter. Reina langsung membayar sesudah dokter selesai memeriksa keadaan Pinky. Ia mengajak kedua putri kembarnya untuk masuk kedalam mobil. Tidak ada sepatah apapun yang dapat Reina ucapkan, hanya bayangannya kini dipenuhi dengan rasa bersalah, "Tuhan, apa yang mesti saya lakukan? Jika Angga mengetahuinya, dia pasti tidak akan memaafkanku..." lirih Reina dalam hati. Tak terasa butiran air mata mulai jatuh membasahi pipinya yang mulus, disisi lain Pinka melihatnya dan dengan polosnya ia bertanya, "Ibu Reina kok menangis?" Tangan mungilnya itu dengan reflek menghusap air mata di pipi Reina, "Ibu hanya sedikit mengantuk" ujar Reina dengan berbohong. Tak berselang lama, terdengar suara handpone yang berdering cukup keras. "Kok gak diangkat Bu?" tanya Pinka. "Sayang, bahaya bil
"Reina, tidak sia-sia kita bekerja! Uang gajih ini telah membayar rasa lelahku selama satu bulan lamanya'' ujar Agustina dengan sumringah.Reina menatap wajah beberapa karyawan yang juga terlihat begitu bahagia kecuali dirinya. Disaat yang lain mendapatkan bayaran di akhir bulan, mengapa ia belum mendapatkannya? Ingin protes tapi ia malu tuk mengatakannya. Ditambah Reina merasa malas harus berhadapan dengan orang kepercayaan suaminya itu. "Ayo kita ke kafe malam ini buat merayakan!" ajak Agustina pada Reina."A-aku belum bisa ikut..." lirih Reina. Agustina menatap wajah Reina dengan rasa heran, tak seperti biasannya Reina menolak ajakannya itu. Dengan rasa penasaran, Agustina mencoba menanyakan alasan Reina menolak ajakannya tersebut. Dengan jujur Reina mengaku bahwa ia belum menerima haknya. Agustina terkejut dan sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu harus tegas sama Centini! Biar dia tak seenaknya kayak gitu. Apalagi kamu kan istri Ceo, pasti dia gak akan berani memecat ka
“Tutup mulutmu!” seru Agustina.”Kenapa kalian tega dengan Reina? Apa salahnya pada kalian sehingga Reina harus dipecat seperti itu!” seru wanita muda berkemeja putih dengan rambut pendek tergerai.Rosa langsung meraih tangannya dan menyisipkan beberapa selembar uang merah, “Kau butuh ini juga kan?” Seketika wanita muda itu melempar uangnya hingga uang-uang tersebut berjatuhan di lantai, ”Saya tidak seperti kalian!” tegasnya sembari berlalu.Rosa langsung cemas, wajahnya mulai memerah! Ia takut jika kejahatannya terbongkar detik ini juga. Rosa melirik Agustina yang masih terpaku, ”Bagaimana ini? Jika Intan mengadu pada Pak Angga, maka habislah kita!!!” “Kita harus berbuat sesuatu!" tegas Agustina.“Apa rencanamu? Cepatlah, beritahu aku!” seru Rosa.***“Hallo? Reina, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu. Tapi saat ini saya mau menyelesaikan pekerjaanku dulu, nanti setelah pekerjaan ini sudah selesai, saya akan mampir ke rumah kamu” Intan mematikan telepon dan kembali bek
"Nihhh uangnya sudah saya bagi rata! Selebihnya silahkan dihitung sendiri!" seru Agustina.Rosa meraih uang itu dan mulai menghitung, "Sudah pas!" serunya. Lalu Rosa menaruh uangnya ke dalam tas dengan raut wajah tak senang."Apa dia bakalan ngelaporin kita ke polisi?" tanya Rosa.Agustina terkekeh mendengar pertanyaan Rosa yang masih ragu. Agustina menenggak minuman manis ia baru saja mereka beli di Indomaret terdekat. Merasakan rasa yang enak, Agustina memilih untuk menikmatinya. Sementara Rosa, ada perasaan takut yang tengah menghantui pikirannya. Terlebih, ia tidak ingin masuk penjara dan meninggalkan anaknya yang masih berumur tiga bulanan."Sebaiknya kau buang jauh-jauh sifat pengecutmu itu Rosa! Lagian kita sudah memegang ini, dia tak akan berani macam-macam" ujar Agustina, ia menunjukkan sebuah kamera Canon yang sedari tadi ada didalam tas kerjanya."Benar juga! Kamu memang cerdik" puji Rosa.Keduanya tertawa atas penderitaan orang lain. Mereka bahkan tak memiliki rasa kasihan
“Anakku, Mama sangat khawatir melihat kamu terbaring lemah seperti ini. Mama tidak bisa membayangkan bila kamu pergi meninggalkan Mama seorang diri...” lirih Anum mama dari Reina.Ujang berada disamping sang istri dengan wajah tak kalah cemas. Terlebih saat ia mendapatkan sebuah fakta yang sangat sulit untuk diterima. Dokter telah memvonis Reina, bahwa ada tumor yang mencurigakan tengah berada di dalam tubuh beberapa putri semata wayangnya itu. Hanya saja dokter belum dapat memastikan seberapa berbahayanya tumor-tumor tersebut karena proses mendiagnosis harus memerlukan beberapa rangkaian pemeriksaan. Karenanya Dokter menyarankan kepada kedua orang tua Reina untuk memberikan kondisi Reina secara rutin.Dokter, kira-kira berapa biaya yang harus kami keluarkan untuk pengobatan putri kami?” tanya Ujang.“Untuk informasi pembayaran silahkan bapak bertanya pada penjaga administrasi” ujar dokter sembari berlalu.Anum tak henti-henti memeluk tubuh Reina yang tak sadarkan diri. Ia tak ingin pu