Share

Sekretaris Tidak Tahu Diri

Setelah menghabiskan waktu selama sejam lebih akhirnya Reina pun selesai memasak. Aroma masakannya mengunggah selera hingga dapat tercium dari berbagai penjuru ruangan di rumah yang bak menyerupai istana. Tak terkecuali dengan Pinka yang saat ini terbangun lebih awal karena ingin buang air kecil di kamar mandi yang jaraknya bersebelahan dengan area dapur.

“Enaknya” ujar Pinka, bocah yang menggemaskan ini berjalan ke arah sumber aroma yang berhasil membuat perut mungilnya keroncongan. Saat berada di dekat pintu dapur, Pinka melihat ibu sambungnya di dalam dapur. Dengan terburu-buru ia melewati dapur dan masuk ke dalam kamar mandi.

“Ibu!” sapa Pinka yang saat ini sudah menghampiri Reina di dapur.

“Hai, Sayang” balas Reina sembari mencium pipi chubby Pinka dengan gemas.

“Ibu lagi buat apa di dapur?” tanya Pinka sekali lagi.

“Ibu lagi masak nasi goreng, nih sudah selesai” ujar Reina dengan ramah.

“Wah... Pinka jadi lapar” ujar Pinka.

“Iya sayang, sekarang Ibu Reina mau taruh ini dulu di meja makan agar Papa dan Pinky juga ikut makan bersama kita” ujar Reina.

“Sini Bu, biar aku yang bantuin” ujar Pinka.

Reina melihat Pinka dengan penuh haru. Bagaimana tidak? Bocah sekecil itu yang berumur belum genap lima tahun sudah mau menawarkan bantuan pada orang lain. Merasa Pinka akan menjadi anak yang baik dan rajin, Reina pun juga tidak ingin mengecewakannya. Ia mengambil sendok dan meminta putrinya membawakan sendok tersebut. Dengan penuh semangat, Pinka mengiyakan dan langsung meraih sendok -sendok tersebut dengan tangannya yang mungil.

“Awas jatuh sayang!” Reina melihat Pinka sedikit kesusahan membawa beberapa sendok makan fi tangannya yang mungil. Namun, terlihat juga Pinka tidak mau menyerah begitu saja, “Yeay aku bisa kok” ujar Pinka kegirangan.

”Terimakasih" ujar Reina sambil tersenyum ke arah Pinka.

“Sama-sama Ibu Reina" Pinka dan Reina berjalan ke arah meja makan.

Beberapa menit kemudian, Pinky mulai terbangun dari mimpi indahnya. Hal yang pertama kali ia lihat saat bangun tidur adalah keberadaan saudara kembarnya. Melihat saudara kembarnya tidak ada di sebelahnya, Pinky pun mencari Pinka di sekitar ruangan dan akhirnya ia menemukan Pinka tengah bersama Reina. Pinky menghampirinya dan melihat nasi goreng sudah ada di depan mata. Bocah yang satu ini memang sangat menyukai nasi goreng sehingga baru datang sudah minta makanan.

“Sini Pinky, Pinka... Duduklah” ujar Reina.

“Yeay ada makanan Yeay” ujar Pinky yang terlihat begitu bergembira.

Reina tersenyum dan bersyukur melihat keduanya begitu periang. Lalu Reina langsung teringat dengan suaminya yang hanya suaminya saja yang belum kelihatan batang hidungnya. Dengan sopan, Reina pun bertanya pada Pinky, “Sayang, Papa kamu masih di kamar tidur?” tanya Reina pada Pinky.

“Masih Bu” balas Pinky yang saat ini sudah lebih dulu memakan nasi goreng.

“Apa aku panggil Papa ke kamar tidur ya Bu?” tanya Pinka yang lebih bisa sabar menunggu untuk tidak makan sebelum di izinkan oleh Reina.

Reina tersenyum lalu berkata, “Tidak sayang... Kamu duluan ya ambil makanannya, biar sekarang Ibu yang manggil Papa kamu ke kamar tidur agar ikut makan bersama kita”

Reina berjalan menuju ke arah tangga karena kamar tidurnya kebetulan ada di lantai dua. Saat berada didepan pintu kamar, Reina mencoba mengetuk pintu tersebut dengan pelan. Ia tidak ingin mengetuknya dengan keras karena takut bila suaminya tersinggung.

KREAG

“Selamat Pagi Pak Angga” sapa Reina dengan senyuman manis.

Alih-alih Angga yang menyahut melainkan Centini yang ternyata membuka pintu kamar tidur Angga! Entah sejak kapan Centini berada didalam rumah mereka hingga sampai berada didalam kamar tidur? Reina tak dapat berbohong ia begitu terkejut sekaligus ada perasaan marah pada sekretaris suaminya tersebut.

“Kamu? Ngapain kamu ada di kamar tidur?!” tanya Reina dengan intonasi sedikit tinggi.

“Baru saja sih... Lagian saya ini sekretaris Pak Angga. Jadi, hal biasa bila saya datang kesini untuk memberitahukan kondisi kantor. Bukan kayak kamu yang mau menikah hanya menguasai harta doang kan?” Centini menatap Reina yang mulai terpancing emosi. Terlihat dari bawah tangga seseorang tengah melangkah ke arah mereka. Reina dan Centini dengan reflek menengok sumber suara itu dan....

“Ibu... Kok lama sih bangunin Papa?” tanya Pinka yang sudah didepan mata.

Reina menatap wajah Centini yang dirasa tidak baik. Namun didepan Pinka, Reina pun berusaha untuk tetap ramah seperti sedang tidak terjadi sesuatu. Reina mengelus rambut Pinka sambil berkata, “Papa kamu lagi berganti pakaian, sekarang kamu tunggu Papa di meja makan aja”

Pinka mengangguk pelan, lalu ia melihat Centini dan langsung angkat bicara “Ibu sama Tante Centini enggak ke bawah?” tanya Pinka dengan polosnya.

Reina terkejut dan tidak menyangka bahwa Pinka juga mengenal Centini. Itu berarti, Centini pernah datang kesini hingga Pinka mengenal namanya. Saat terheran-heran, Angga keluar dari kamar tidur. Ia memakai handuk dan tercium aroma sabun. Reina dapat menebaknya, Angga baru menyelesaikan mandinya yang membuat tubuh pria itu terlihat segar dan wangi.

“Ada apa ini ramai-ramai?” tanya Angga.

Centini tersenyum lalu ia langsung celetuk, “Pak Angga wangi sekali ya! Oh Ini, Putri kamu mau makan... Jadi dia ngajakin saya buat ikut makan bersama. Iya kan sayangku...” Centini menatap Pinka dan dibalas anggukan oleh Pinka.

“Betul Pa! Ayo Papa juga ikut makan bareng kita!” rengek Pinka.

“Iya sayang... Tapi kamu duluan dulu sama Ibu Reina, Papa mau ganti pakaian dulu” ujar Angga.

“Saya juga mau menyusul aja soalnya aku mau mandi dulu biar enggak gerah” ujar Centini.

“Kamu...!”

Reina ingin berbicara namun Pinka menarik tangannya dan merengek agar Reina segera ke bawah bersama dirinya. Melihat hal ini, terpaksa Reina mengikuti permintaan Pinka. Padahal ia benar-benar merasa aneh pada sikap kedua orang dewasa dihadapannya itu. Bukan, bukan karena ia cemburu melihat kedekatan Angga dan Centini seperti telah terjalin sejak lama!

Ada hal yang membuat hati Reina teriris, ketika membayangkan jika sahabatnya mengetahui kebusukan mereka, entah sesakit apa akan Yuna rasakan. Gara-gara membayangkan Yuna dan nasib Yuna, membuatnya menjadi tidak mendengar suara panggilan Pinka yang sedari tadi memanggil dirinya.

“Eh... Maaf!” Seru Reina, kini ia hanya bisa pasrah mengikuti Pinka yang meraih tangannya untuk ikut turun ke lantai atas. Hatinya merasa tak ikhlas, atas tindakan Centini yang tidak sopan, “Aku tidak akan tinggal diam” gumam Reina dalam hati.

Di meja makan, Pinky sudah cemberut. Rasa bosan kini mulai menghantuinya begitu saja. Matanya tertuju ke arah lantai ketika Reina dan Pinka telah datang. Dengan cepat Pinky langsung mengutarakan kekesalannya itu pada Reina yang sudah didepan mata, “Ibu, kok lama banget di atas?” celoteh Pinky.

Reina tersenyum lalu meminta maaf atas keterlambatanya yang membuat salah satu putrinya mengambek. Sebagai gantinya, Reina berjanji akan mengajak mereka jalan-jalan keliling lingkungan. Setelah dirayu, Pinky pun sudah tidak lagi mengambek dan mereka dengan bersemangat melahap masakan Reina.

“Wahhh enak sekali!” seru Pinky.

“Betul! Ibu Reina memang jago!” puji Pinka.

Disaat kedua anak sambungnya begitu ceria, berbeda terbalik dengan Reina. Ada perasaan yang mengganjal pada hatinya, “Ya Tuhan, mengapa perasaan aku menjadi tidak enak?” “Apa yang terjadi?” gumamnya dalam hati.

Reina mencoba mengatur pernafasannya agar bisa merasa lebih tenang. Namun, semakin dipaksa untuk bisa lebih tenang malah semakin membuat tambah gelisah. Dengan terpaksa Reina nekat ingin kembali mengecek keadaan di sekitar kamar tidur Angga. Reina yang beranjak dari tempat duduk membuat kedua bocah dihadapannya kebingungan sendiri.

“Loh, Ibu Reina pergi lagi?” tanya Pinky pada Pinka.

“Enggak tahu... Pasti mau ke kamar mandi” sahut Pinka.

“Gitu, gak apa-apa deh yang penting masakan ini enak sekali!!!” seru Pinky.

***

Reina telah sampai di pintu kamar. Ia ingin mengetuk pintu tersebut namun entah mengapa ia sangat sulit untuk melakukannya. Sepanjang detik ia habiskan hanya mondar-mandir disekitar pintu. Hingga suara langkah kaki pun terdengar di dalam kamar tidur dan Kreag....

“Kamu?” Centini terkejut saat melihat Reina menatapnya dengan tajam. Reina menutup mulut Centini dan membawanya ke arah ruangan yang lain.

Merasa risih dengan perbuatan Reina, Centini pun memaksa Reina untuk melepaskan dekapannya tersebut dengan kasar hingga ia berhasil menyingkirkan tangan Reina. Kedua wanita itu saking menatap dengan tajam, “Sial! Tanganmu bau bawang huek!!!” pekik Centini mual-mual.

“Sedang ngapain kamu di dalam kamar pak Angga?” tanya Reina datar.

“Ha ha! Eh... Angga adalah sahabatku sedari kecil. Apa Yuna tidak memberitahukan hal itu? Sungguh ngeselin banget si Yuna, bahkan pas dia mati pun otaknya kosong!” seru Centini.

“Jaga ucapanmu itu!" teriak Reina.

“Kamu mau ngapain sama suamiku!” seru Reina kembali.

Kedua bola mata Centini terbelalak saat mendengar pengakuan dari Reina, yang yang selalu ia rendahkan ketika bekerja di kantor perusahaan Hanum. Melihat situasi yang panas, Centini memutar otak untuk memancing Reina lebih dan lebih gila lagi.

Ha

Ha

Centini tertawa terbahak-bahak seakan merasa tidak bersalah karena telah membuat Reina geram. Centini mengatur pernafasannya dan tersenyum sumringah. Sungguh, bagi siapapun yang melihatnya pasti akan tidak sabar untuk menyikatnya.

“Kamu cemburu ah?” tanya Centini pada Reina.

Reina gelagapan tak tahu harus berkata apa untuk melawan Centini yang ngeselin itu? Centini kembali melanjutkan ocehannya karena Reina tak dapat melawannya dengan cepat.

“Kamu itu tidak tahu diuntung ya, Reina? Kamu telah berani merebut Angga dari Yuna yang saat itu sudah jelas-jelas sedang kritis. Kamu dekati Yuna dengan berpura-pura menjadi sahabat yang setia, baik dan pokoknya meyakinkan gitu. Padahal... Kamu itu ingin sekali dijodohkan oleh Yuna kan? Buktinya sekarang kamu berhasil deh nikah sama Angga dan jadi deh istri CEO ternama sejagat raya” celotehnya.

PLAK

Sebuah tamparan keras tengah Centini rasakan. Ia menahan rasa perih akibat tamparan yang ia terima dari tangan Reina sendiri yang sama sekali tak Centini pikirkan bahwa Reina akan berani melawannya melalui fisik! Padahal, sewaktu Reina belum menikah dengan Angga, jangankan mengajak ribut, bahkan Reina diam saja diperlakukan buruk pada Centini di tempat kerja. Bilang Reina junior pemalas, sok cantik hingga dikatakan miskin.

“Saya tidak seperti kamu yang suka menggoda suami orang. Saya menikah dengan Angga karena saya murni menuruti permintaan sahabatku. Jika saya boleh memilih, saya akan memilih Yuna hidup dan bahagia bersama keluarga kecilnya. Bukan seperti kamu... Didepan mataku saja kamu berani memancing Angga, apalagi saat Yuna sedang sakit pasti kamu dengan mudahnya mendekati Angga!” seru Reina.

“Silahkan! Yang ada kamu yang akan menderita karena telah bermain-main dengan diriku!” ancam Centini.

Centini pun keluar dari ruangan itu sementara Reina dapat tersenyum dengan puas. Ia merasa lega karena sedikit kurangnya ia dapat membalas kejahatan Centini pada Yuna dibelakang Yuna. Namun ia juga khawatir karena posisinya saat ini masih sangat jauh. Reina takut Centini akan melaporkan kejadian barusan dan Angga akan menceraikannya.

“Tidak... Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan. Saya tidak ingin kedua anakku memiliki ibu tiri seperti Centini! saya harus menyelamatkan anak-anak Yuna dari Centini yang gila itu!” seru Reina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status