Bulan langsung mendengus kesal saat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari justru duduk di sampingnya tanpa permisi, dengan wajah polos seakan tak ada yang salah. Ia buru-buru memalingkan wajah, menyesali keputusannya datang ke kantin. Siapa pun yang memberitahu laki-laki itu soal keberadaannya di sini, rasanya ingin ia lempar ke puncak Himalaya. “Lan, kamu ke mana aja seminggu ini?” tanya Mirza santai, lalu dengan seenaknya menggenggam tangan Bulan yang tergeletak di atas meja. “Bisa tidak, tangan kamu diem? Tidak perlu sok akrab!” semprot Bulan tajam, menatapnya geram. Ia tak sudi disentuh oleh cowok tak tahu diri itu. Tapi bukannya merasa bersalah, Mirza justru menyeringai lebar. Bagi Mirza, menggenggam tangan Bulan bukan kesalahan besar. Ia yakin bisa merebut kembali hati gadis itu, meski harus ditolak berkali-kali. Buatnya, ini hanya soal waktu—seperti dulu. “Wah wah wah, benar-benar tidak tahu malu, ya? Ngapain kamu nongol di sini? Pergi sana!” seru Yona begitu
Memakai sepatu bot, sarung tangan, dan topi, Bulan menjalani hukuman dari suaminya. Air menghukum istrinya dengan cara yang tak biasa—seorang menantu keluarga Zelandra disuruh membersihkan kolam ikan koi milik pria itu.Wajah Bulan cemberut, bibirnya manyun, pipinya menggembung kesal. Seumur hidup, ia belum pernah membersihkan kolam ikan, apalagi sampai harus menangkap ikannya.“Hati-hati, jangan sampai ikannya terluka atau mati,” ujar Air, saat Bulan menangkap satu per satu ikan berharga yang nilainya puluhan juta, untuk dipindahkan ke ember berisi air.Bulan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan kesal. “Bawel! Nih, lihat, aku pencet-pencet ikannya biar sesak napas,” katanya sambil demonstrasi.Air yang sedang bersantai langsung mendelik. Ia beranjak dari kursinya dan mendekat ke arah kolam, pandangannya membalas tajam tatapan Bulan.“Kalau ada lecet sedikit saja, dua puluh hari tanpa jajan,” seru Air sambil menyeringai.“Aku cuma nyanyi doang di kelas musik. Kenapa hukumannya mala
Pintu lift terbuka. Air langsung melangkah cepat ke arah kamar. Begitu tiba, ia mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ruangan luas itu sunyi. Terlalu sunyi. Dan justru itu yang membuatnya makin gelisah.Matanya menyapu sekeliling kamar. Tidak ada suara, tidak ada keributan, tidak ada teriakan khas Bulan yang biasanya memenuhi tempat itu.Dengan langkah berat, Air berjalan menuju area tempat tidur yang agak tersekat. Baru akan memanggil saat—“Bul—”Suara itu tertahan. Matanya menangkap sosok mungil yang meringkuk di atas ranjang. Napasnya tercekat. Lega… tapi hanya sebentar.Ia cepat-cepat mendekat. Suara lirih terdengar dari arah ranjang—gumaman pelan, nyaris seperti erangan. Bulan menggigil. Tubuhnya gemetar halus. Bibirnya bergerak pelan, seperti sedang meracau.“Bulan? Hei... kenapa kamu?” Suara Air terdengar panik, nada dingin yang biasa melekat padanya menghilang begitu saja.Ia duduk di sisi ranjang dan menyentuh lengan Bulan. Tapi baru saja menyentuh, ia langsung menarik tanga
Bulan meringis, meraba punggung tangannya dan merasakan nyeri menusuk. Saat pagi datang, ia terbangun dengan mata yang masih berat. Begitu mencoba bangkit, rasa sakit luar biasa menghantam kepalanya. Ia memejamkan mata rapat-rapat, satu tangan menekan pelipisnya.“Sakit...” rengeknya lirih, alisnya berkerut menahan denyutan di kepala.Tiba-tiba pintu terbuka. Air masuk dengan nampan di tangan.“Jangan banyak gerak. Kamu belum pulih,” katanya lembut.Bulan membuka sedikit matanya. Tatapan yang biasanya tajam, kini redup dan berair. Suaranya lemah saat bertanya, “Aku kenapa? Kepalaku sakit sekali...” keluhnya.“Kamu demam tinggi semalam.” Air meletakkan nampan di meja, wajahnya tampak khawatir. “Tunggu, aku panggil dokter, ya?”“Jangan,” cepat-cepat Bulan menahan. “Aku cuma mau duduk, tapi kepala berat banget. Bola mata juga perih... kayak ditusuk.”Air menatap lekat, lalu mengambil semangkuk bubur. “Makan, ya? Setelah itu minum obat, terus istirahat lagi.”Bulan diam sejenak. Ketulusan
Setelah kehebohan yang ditimbulkan oleh Ny. Malika, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga, sementara Bulan diminta beristirahat. Jantung gadis itu masih berdebar kencang usai pertanyaan soal kehamilan terlontar. Ia sadar dirinya masih terlalu muda, masih duduk di bangku sekolah, dan tentu belum siap untuk menjadi seorang ibu.“Padahal Mommy senang kalau Bulan hamil,” ujar Ny. Malika dengan nada kecewa. Setelah tadi mendengar penjelasan dari putranya. “Mom, Bulan masih bersekolah. Dari awal kita sudah sepakat untuk memberinya waktu menyelesaikan pendidikan, dan tidak perlu terburu-buru memikirkan soal anak. Mereka butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri. Menikah, apalagi secara mendadak, bukan hal yang mudah. Jangan lupa, Mom, menikah dan pacaran itu dua hal yang sangat berbeda,” sahut Tuan Aksa dengan nada bijak.“Iya, Dad. Maaf…” ucap Ny. Malika, kini terdengar menyesal. Ekspresi wajahnya pun melunak. “Mommy cuma terlalu khawatir sama menantu kita… sampai kepikiran
Tuan Lukman menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, rasa haru jelas terlihat dari sorot matanya. “Terima kasih, Tuan Air.”“Panggil saja ‘Air’, Papi mertua. Kita ini keluarga, tak perlu pakai formalitas,” sela Air cepat, tersenyum ramah, menunjukkan niat tulusnya untuk lebih dekat dengan keluarga barunya.Tuan Lukman mengangguk pelan, senyum hangat terpahat di wajah pria setengah baya itu saat kembali menoleh ke arah putri kecilnya yang masih tertidur lelap. Dari sorot matanya, terpancar rasa syukur dan harapan akan masa depan Bulan bersama Air.“Kalau dia nanti manja, rewel, atau bahkan cengeng, harap dimaklumi,” ujarnya lirih, penuh kasih. “Justru di saat-saat seperti inilah—saat dia sakit—kamu bisa melihat siapa Bulan sebenarnya. Dia gadis yang rapuh, butuh diperhatikan, ingin didengar setiap keluh kesahnya. Mungkin karena sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran Maminya…”Ia menarik napas, sejenak menahan sesak di dadanya sebelum melanjutkan, “Meski saya sudah beru
“Morning, Papi…” seru Bulan sembari menuruni anak tangga terakhir bersama suaminya.“Morning, princesnya Papi. Kok turun, sayang? Kamu belum sembuh betul. Kenapa nggak istirahat saja di kamar? Biar nanti sarapannya Papi minta Bi Tini antar ke atas,” ujar Tuan Lukman sambil menyambut kedatangan putri dan menantunya. Nada suaranya terdengar khawatir, terlebih saat melihat Bulan berjalan perlahan dengan bantuan rangkulan Air.“Bulan ingin sarapan di meja makan, sama suami Bulan… dan sama Papi juga,” jawab Bulan lembut.Ia sudah bosan harus terus-menerus sarapan di kamar. Lagi pula, hari ini tubuhnya terasa sedikit lebih kuat, meski kadang rasa pusing masih datang tiba-tiba.Tuan Lukman segera menarik kursi di sebelahnya, memberi ruang bagi Air untuk membantu Bulan duduk dengan nyaman. Setelah memastikan Bulan duduk dengan aman, Air pun mengambil tempat duduknya sendiri, diikuti oleh Tuan Lukman.Cara Air memperlakukan Bulan—penuh perhatian, sabar, dan pelan-pelan—entah mengapa mengingatk
Bulan cepat-cepat membalik layar ke bawah. Wajahnya pucat. Di layar tertera ‘Air Raksasa’.Untung saja Yona belum sempat melihat namanya.Yona menatap curiga. “Kenapa, Lan? Kayak orang ketakutan gitu.”“Lagi nunggu telepon dari Papi… tadi titip beli makanan,” kilah Bulan, suara dan senyumnya sedikit dipaksakan.Yona mencibir. “Ck. Aku kirain gebetan baru. Reaksinya lebay banget! Ya udah, buruan angkat. Aku juga sudah lapar.”“Iya, ini aku jawab dulu ya…”Bulan menekan tombol hijau, “Pi, makanannya sudah dikirim? Kebetulan Yona juga datang.”Di seberang sana, Air sempat mengernyit heran mendengar sapaan ‘Pi’. Tapi ia cepat menangkap maksud Bulan. Ia menghela napas pendek, lalu menjawab tenang, seolah paham situasinya.Sementara itu, Bulan melirik Yona yang sibuk bermain game di sofa. Hatinya masih berdebar“Kamu pesan makanan apa?” tanya Air, suaranya tenang dan penuh perhatian.Nada itu langsung menenangkan Bulan. Ia menjawab dengan nada manja, “Oh… sudah habis ya, Pi. Emm, kalau gitu
Bulan cepat-cepat membalik layar ke bawah. Wajahnya pucat. Di layar tertera ‘Air Raksasa’.Untung saja Yona belum sempat melihat namanya.Yona menatap curiga. “Kenapa, Lan? Kayak orang ketakutan gitu.”“Lagi nunggu telepon dari Papi… tadi titip beli makanan,” kilah Bulan, suara dan senyumnya sedikit dipaksakan.Yona mencibir. “Ck. Aku kirain gebetan baru. Reaksinya lebay banget! Ya udah, buruan angkat. Aku juga sudah lapar.”“Iya, ini aku jawab dulu ya…”Bulan menekan tombol hijau, “Pi, makanannya sudah dikirim? Kebetulan Yona juga datang.”Di seberang sana, Air sempat mengernyit heran mendengar sapaan ‘Pi’. Tapi ia cepat menangkap maksud Bulan. Ia menghela napas pendek, lalu menjawab tenang, seolah paham situasinya.Sementara itu, Bulan melirik Yona yang sibuk bermain game di sofa. Hatinya masih berdebar“Kamu pesan makanan apa?” tanya Air, suaranya tenang dan penuh perhatian.Nada itu langsung menenangkan Bulan. Ia menjawab dengan nada manja, “Oh… sudah habis ya, Pi. Emm, kalau gitu
“Morning, Papi…” seru Bulan sembari menuruni anak tangga terakhir bersama suaminya.“Morning, princesnya Papi. Kok turun, sayang? Kamu belum sembuh betul. Kenapa nggak istirahat saja di kamar? Biar nanti sarapannya Papi minta Bi Tini antar ke atas,” ujar Tuan Lukman sambil menyambut kedatangan putri dan menantunya. Nada suaranya terdengar khawatir, terlebih saat melihat Bulan berjalan perlahan dengan bantuan rangkulan Air.“Bulan ingin sarapan di meja makan, sama suami Bulan… dan sama Papi juga,” jawab Bulan lembut.Ia sudah bosan harus terus-menerus sarapan di kamar. Lagi pula, hari ini tubuhnya terasa sedikit lebih kuat, meski kadang rasa pusing masih datang tiba-tiba.Tuan Lukman segera menarik kursi di sebelahnya, memberi ruang bagi Air untuk membantu Bulan duduk dengan nyaman. Setelah memastikan Bulan duduk dengan aman, Air pun mengambil tempat duduknya sendiri, diikuti oleh Tuan Lukman.Cara Air memperlakukan Bulan—penuh perhatian, sabar, dan pelan-pelan—entah mengapa mengingatk
Tuan Lukman menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, rasa haru jelas terlihat dari sorot matanya. “Terima kasih, Tuan Air.”“Panggil saja ‘Air’, Papi mertua. Kita ini keluarga, tak perlu pakai formalitas,” sela Air cepat, tersenyum ramah, menunjukkan niat tulusnya untuk lebih dekat dengan keluarga barunya.Tuan Lukman mengangguk pelan, senyum hangat terpahat di wajah pria setengah baya itu saat kembali menoleh ke arah putri kecilnya yang masih tertidur lelap. Dari sorot matanya, terpancar rasa syukur dan harapan akan masa depan Bulan bersama Air.“Kalau dia nanti manja, rewel, atau bahkan cengeng, harap dimaklumi,” ujarnya lirih, penuh kasih. “Justru di saat-saat seperti inilah—saat dia sakit—kamu bisa melihat siapa Bulan sebenarnya. Dia gadis yang rapuh, butuh diperhatikan, ingin didengar setiap keluh kesahnya. Mungkin karena sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran Maminya…”Ia menarik napas, sejenak menahan sesak di dadanya sebelum melanjutkan, “Meski saya sudah beru
Setelah kehebohan yang ditimbulkan oleh Ny. Malika, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga, sementara Bulan diminta beristirahat. Jantung gadis itu masih berdebar kencang usai pertanyaan soal kehamilan terlontar. Ia sadar dirinya masih terlalu muda, masih duduk di bangku sekolah, dan tentu belum siap untuk menjadi seorang ibu.“Padahal Mommy senang kalau Bulan hamil,” ujar Ny. Malika dengan nada kecewa. Setelah tadi mendengar penjelasan dari putranya. “Mom, Bulan masih bersekolah. Dari awal kita sudah sepakat untuk memberinya waktu menyelesaikan pendidikan, dan tidak perlu terburu-buru memikirkan soal anak. Mereka butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri. Menikah, apalagi secara mendadak, bukan hal yang mudah. Jangan lupa, Mom, menikah dan pacaran itu dua hal yang sangat berbeda,” sahut Tuan Aksa dengan nada bijak.“Iya, Dad. Maaf…” ucap Ny. Malika, kini terdengar menyesal. Ekspresi wajahnya pun melunak. “Mommy cuma terlalu khawatir sama menantu kita… sampai kepikiran
Bulan meringis, meraba punggung tangannya dan merasakan nyeri menusuk. Saat pagi datang, ia terbangun dengan mata yang masih berat. Begitu mencoba bangkit, rasa sakit luar biasa menghantam kepalanya. Ia memejamkan mata rapat-rapat, satu tangan menekan pelipisnya.“Sakit...” rengeknya lirih, alisnya berkerut menahan denyutan di kepala.Tiba-tiba pintu terbuka. Air masuk dengan nampan di tangan.“Jangan banyak gerak. Kamu belum pulih,” katanya lembut.Bulan membuka sedikit matanya. Tatapan yang biasanya tajam, kini redup dan berair. Suaranya lemah saat bertanya, “Aku kenapa? Kepalaku sakit sekali...” keluhnya.“Kamu demam tinggi semalam.” Air meletakkan nampan di meja, wajahnya tampak khawatir. “Tunggu, aku panggil dokter, ya?”“Jangan,” cepat-cepat Bulan menahan. “Aku cuma mau duduk, tapi kepala berat banget. Bola mata juga perih... kayak ditusuk.”Air menatap lekat, lalu mengambil semangkuk bubur. “Makan, ya? Setelah itu minum obat, terus istirahat lagi.”Bulan diam sejenak. Ketulusan
Pintu lift terbuka. Air langsung melangkah cepat ke arah kamar. Begitu tiba, ia mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ruangan luas itu sunyi. Terlalu sunyi. Dan justru itu yang membuatnya makin gelisah.Matanya menyapu sekeliling kamar. Tidak ada suara, tidak ada keributan, tidak ada teriakan khas Bulan yang biasanya memenuhi tempat itu.Dengan langkah berat, Air berjalan menuju area tempat tidur yang agak tersekat. Baru akan memanggil saat—“Bul—”Suara itu tertahan. Matanya menangkap sosok mungil yang meringkuk di atas ranjang. Napasnya tercekat. Lega… tapi hanya sebentar.Ia cepat-cepat mendekat. Suara lirih terdengar dari arah ranjang—gumaman pelan, nyaris seperti erangan. Bulan menggigil. Tubuhnya gemetar halus. Bibirnya bergerak pelan, seperti sedang meracau.“Bulan? Hei... kenapa kamu?” Suara Air terdengar panik, nada dingin yang biasa melekat padanya menghilang begitu saja.Ia duduk di sisi ranjang dan menyentuh lengan Bulan. Tapi baru saja menyentuh, ia langsung menarik tanga
Memakai sepatu bot, sarung tangan, dan topi, Bulan menjalani hukuman dari suaminya. Air menghukum istrinya dengan cara yang tak biasa—seorang menantu keluarga Zelandra disuruh membersihkan kolam ikan koi milik pria itu.Wajah Bulan cemberut, bibirnya manyun, pipinya menggembung kesal. Seumur hidup, ia belum pernah membersihkan kolam ikan, apalagi sampai harus menangkap ikannya.“Hati-hati, jangan sampai ikannya terluka atau mati,” ujar Air, saat Bulan menangkap satu per satu ikan berharga yang nilainya puluhan juta, untuk dipindahkan ke ember berisi air.Bulan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan kesal. “Bawel! Nih, lihat, aku pencet-pencet ikannya biar sesak napas,” katanya sambil demonstrasi.Air yang sedang bersantai langsung mendelik. Ia beranjak dari kursinya dan mendekat ke arah kolam, pandangannya membalas tajam tatapan Bulan.“Kalau ada lecet sedikit saja, dua puluh hari tanpa jajan,” seru Air sambil menyeringai.“Aku cuma nyanyi doang di kelas musik. Kenapa hukumannya mala
Bulan langsung mendengus kesal saat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari justru duduk di sampingnya tanpa permisi, dengan wajah polos seakan tak ada yang salah. Ia buru-buru memalingkan wajah, menyesali keputusannya datang ke kantin. Siapa pun yang memberitahu laki-laki itu soal keberadaannya di sini, rasanya ingin ia lempar ke puncak Himalaya. “Lan, kamu ke mana aja seminggu ini?” tanya Mirza santai, lalu dengan seenaknya menggenggam tangan Bulan yang tergeletak di atas meja. “Bisa tidak, tangan kamu diem? Tidak perlu sok akrab!” semprot Bulan tajam, menatapnya geram. Ia tak sudi disentuh oleh cowok tak tahu diri itu. Tapi bukannya merasa bersalah, Mirza justru menyeringai lebar. Bagi Mirza, menggenggam tangan Bulan bukan kesalahan besar. Ia yakin bisa merebut kembali hati gadis itu, meski harus ditolak berkali-kali. Buatnya, ini hanya soal waktu—seperti dulu. “Wah wah wah, benar-benar tidak tahu malu, ya? Ngapain kamu nongol di sini? Pergi sana!” seru Yona begitu
Setelah menghabiskan seminggu di Swiss, hari ini pasangan pengantin baru itu akhirnya kembali ke tanah air.Bulan menggeliat kecil. Perlahan matanya terbuka, mulut mungilnya menguap lebar. Pandangannya menerawang keluar jendela mobil, masih setengah sadar dari tidur panjang selama perjalanan.“Sudah sampai?” gumamnya, suaranya serak dan mengantuk.“Cantik-cantik tidurnya seperti kebo. Dasar siput,” cibir Air tanpa ampun.Bulan langsung menegakkan tubuh, menoleh tajam ke arah lelaki menyebalkan di sampingnya. “Kalau aku kebo, aku seruduk kamu. Mau?” dengusnya, sambil melotot. Baru saja bangun, nyawa belum kumpul sempurna, sudah dibuat kesal.Tok!“Bibiiirkuu…” Bulan memekik, kaget bukan main sambil menangkup mulutnya yang baru saja disentil Air.Dengan wajah merengut, ia langsung memutar badan, duduk membelakangi suaminya itu.Suasana terasa sejuk, diiringi pemandangan hijau dari pepohonan rindang yang berjejer rapi di sisi kanan dan kiri jalan. Tak tahan oleh rasa penasaran, Bulan men