Dalam sekejap saja, taman samping rumah yang berbatasan dengan kolam renang telah berubah menjadi tempat dilaksanakannya ikrar suci pernikahan antara Bulan dan Air.
Bulan menatap takjub dekorasi sederhana yang didominasi warna putih dan biru—pilihan calon mertuanya. Ia memang minta pernikahannya dilakukan secara sederhana saja dan tentunya di rahasiakan. Mereka pun setuju, setelah Bulan lulus sekolah baru mereka akan mengadakan resepsi besar-besaran. Selera Ny. Malika tidak perlu diragukan lagi. Wanita itu seolah tau, pernikahan seperti apa yang diinginkan oleh calon menantunya. “Orang kaya bebas melakukan apa yang mereka inginkan, tinggal menjentikkan jari, dan cliing… semua terjadi. Ckck, efek uang yang bicara. Apapun bisa terwujud.” Bulan menatap kagum perubahan taman di samping rumahnya. Seakan semua yang terjadi sudah dipersiapkan dari jauh hari. “Ya Tuhan, mengapa takdirku menikah dengan laki-laki gila.” Keluh Bulan menghela kasar nafasnya. “Siapa yang gila?” “Eh,” Bulan berjengit, ia terkejut—menoleh kebelakang, disana berdiri Tuan Galih. Bulan panik, ia takut sang kakek mendengar ucapannya. “Eh, bukan siapa-siapa kek.” Bohong Bulan, “Bulan hanya kagum melihat dekorasi di bawah sana, betul-betul gila, dalam hitungan jam saja sudah selesai semuanya. Itu maksud Bulan, Kek.” Bulan tersenyum kaku, ia menghela nafas lega melihat anggukan kepala pria masih tampak gagah dan tampan meski sudah berusia lanjut. “Mereka keluarga terpandang dan kaya raya, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk pewaris Zelandra.” Tuan Galih menarik nafas berat lalu membuangnya secara perlahan, kemudian menatap cucu perempuannya. “Kakek hanya berpesan, kuatkan mental. Menjadi bagian dari keluarga Zelandra tidaklah mudah. Tetap jadi dirimu sendiri, jangan pernah menjadi lemah. Jaga apa yang sudah menjadi milikmu.” Ucapan Tuan Galih sarat akan makna didalamnya. “Maksud kakek?” tanya Bulan tidak mengerti. Tuan Galih tersenyum seraya menepuk-nepuk puncak kepala Bulan, “Suatu hari nanti kamu akan mengerti.” Tuan Galih meninggalkan Bulan yang terpaku dalam kebingungan, matanya masih menatap punggung ringkih yang menghilang di balik pintu. Ia mencoba mencerna ucapan sang kakek yang tadi begitu mengejutkan. Meskipun sederhana, pernikahan yang terjadi secara mendadak itu berlangsung khidmat. Baru saja ikrar suci pernikahan diucapkan, kini Bulan telah resmi menjadi istri dari Air Raka Zelandra. Ny. Malika sangat bahagia, akhirnya wanita itu bisa melihat putranya menikah. Saking bahagianya, wanita itu sampai meneteskan air mata. “Sudah tenang, putra kesayanganmu menikah?” tanya Tuan Aksa lembut, mengusap punggung tangan istrinya. “Begini rasanya melihat anak kita menikah, Dad,” gumam Ny. Malika seraya menyeka sudut matanya. Tiba-tiba Wajah cantik Ny. Malika yang tadinya penuh kelembutan tiba-tiba berubah keras, ada amarah yang terpancar dari sorot matanya. “Aku sudah tidak sabar membungkam mulut orang yang telah menyebar berita tidak benar tentang putraku.” “Sabar, sayang. Kita nikmati saja permainan yang baru saja dimulai,” ujar Tuan Aksa. Pasangan suami istri itu saling pandang dan tersenyum penuh arti sambil melihat ke arah pengantin baru. * * * “Om, aku butuh penjelasan! Apa maksud Om mengatakan pada orang tua kita, jika kita adalah sepasang kekasih yang saling mencintai,” Hening Tidak ada sahutan dari Air, Bulan berdecak —diabaikan. Gadis itu berdiri sambil berkacak pinggang. Ia sangat kesal pada pria itu, bisanya dia sibuk dengan ponselnya mengabaikan dirinya yang bertanya. “Aku bertanya, mengapa tidak om jawab?“” Teriak Bulan tertahan seraya mengepalkan tangan di depan wajah, rasanya ingin sekali dia tonjok pria menyebalkan itu. “Kamu bicara pada saya?” Air bertanya dengan tampang datar sambil menunjuk dirinya sendiri. “Bukan, aku bicara dengan setan penghuni kamar! Ya Tuhan, masih muda aku bisa terkena darah tinggi punya suami seperti kanebo kering.” Keluh Bulan memegang kepalanya yang mendadak pusing. “Oh,” Air kembali fokus pada ponselnya dan hal itu justru membuat Bulan semakin murka. Tentu saja Air sengaja mencuekin Bulan. Air ingin agar Bulan memanggilnya dan bertanya dengan baik tanpa harus tegang urat leher. “Bisa tidak, jika aku sedang bicara ditanggapi?” cicit Bulan sudah menurunkan nada bicaranya, hati dan pikirannya sudah terlalu lelah dan semakin lelah menghadapi sikap Air yang super cuek. Air akhirnya meletakkan ponselnya, menatap tajam pada Bulan. Bulan menelan ludah, terkejut dengan cara laki-laki itu memandangnya. Seharusnya Bulan tidak merasa aneh seperti apa lelaki itu menatapnya, bahkan ia pernah ditatap seakan tatapan tajam itu mengoyakkan kulit tubuhnya. “Rubah panggilanmu padaku!” tegas Air. “Tidak akan pernah!” balas Bulan sengit. “Oke!” Air kembali meraih ponselnya, mengabaikan tatapan kesal Bulan yang tak berhenti mengumpat pria itu dalam hatinya dengan segala sumpah serapah. Air kembali menegaskan, “Saya suami kamu, bukan Om kamu? Siapkan segala keperluan kamu, besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat. Jangan sampai kamu terlambat bangun,” “Suami terpaksa karena ancaman,” sahut Bulan ketus menekan setiap kata mengingatkan pria itu bagaimana pernikahan mereka bisa terjadi. Bulan merasa semua ini seperti rentetan kejadian yang dirancang secara kebetulan, hingga alurnya menjadi sebuah perjalanan yang saling berkaitan. Mulai dari dirinya yang patah hati, menjadikan pria dewasa sebagai targetnya untuk balas dendam dan pada akhirnya ia terjebak bersama pria yang sifatnya sama sekali tidak masuk dalam tipe laki-laki idaman Bulan. Mereka bagai magnet yang kedua sisinya saling bertolak. Dalam waktu semalam hidupnya terjun bebas dan statusnya pun ikut berubah. Lihat saja sekarang ini, dengan seenaknya pria itu tidur dan menguasai ranjang miliknya. Satu koper kecil diletakkan di sudut kamar, lalu ia matikan lampu utama menyisakan lampu tidur. Bulan mengambil bantal dan guling kemudian menuju sofa panjang di dekat jendela. Sofa empuk itu menyambut tubuh mungilnya, Bulan melirik ke arah ranjang dan menghela nafas lelah. “Ck, apa yang kamu harapkan, Bulan. Tuan Arogan itu tidak akan mau bertukar tempat, dia yang tidur di atas sofa,” keluh Bulan. Ia memilih memejamkan mata, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tak bertenaga. Berharap esok terbangun ada keajaiban yang terjadi. Ternyata Air sama sekali belum tidur, ia memejamkan matanya pura-pura tidur dan mendengar semua ucapan Bulan. Matanya terbuka sedikit, melongok ke arah sofa dan memastikan gadis kecilnya itu sudah tidur. “Gadis cerewet, tapi aku suka.” Air tersenyum, senyum yang jarang sekali ia perlihatkan. Sepertinya Bulan betul-betul sudah mengusik hati pria tampan sejuta pesona itu. Sejak pertama melihat Bulan, ada bagian kuat dari diri gadis itu yang menarik hatinya. Air sangat yakin dengan keputusannya, hanya gadis pilihan yang pantas menjadi pendampingnya. Air telah menjatuhkan pilihan yang tepat pada sosok Bulan. Gadis keras kepala yang tidak mudah di atur, suka berbuat semaunya. Apa yang Air, dia temukan semua dalam diri seorang Bulan. Oleh karena itulah, segala cara dia lakukan agar Bulan menjadi miliknya. Dunia bisnis penuh kekejaman dan persaingan. Namun keyakinan di hatinya tak tergoyahkan bahwa Bulan adalah sosok yang sangat tepat. Dengan kecerdasan yang dimiliki dan jiwa tangguhnya, Bulan mampu menghadapi segala intrik dan tipu daya musuh tanpa mudah terjerumus ke dalamnya. “Selamat tidur gadis nakal, bersiaplah menghadapi dunia yang sesungguhnya.”Dua tahun usia Xabiru, Air membuat perayaan untuk putranya. Halaman Mansion sudah di dekor sedemikian indah dengan dominan warna biru sesuai nama putra kecilnya. Acara sederhana namun terlihat mewah. Tanpa sepengetahuan Bulan, sang Mr. Arogan mengundang sahabat istrinya. Kejutan itu tentu saja diberikan Air untuk istri tercinta. Dan kedatangan mereka akan menjadi acara reuni. Xabiru terlihat sangat tampan dengan jas biru dan dasi kupu-kupu yang dipakainya. Tak beda dari sang putra, Air pun terlihat gagah dan makin mempesona di usianya yang semakin matang dengan jas senada dengan sang putra. Begitu pula dengan Bulan yang terlihat semakin cantik dengan gaun birunya, rambutnya disanggul kecil menambah kesan elegan, tidak terlihat jika wanita muda itu telah melahirkan seorang putra. “Jagoan Daddy, ayo potong kue dulu. Nanti baru main lagi,” bujuk sang Daddy pada putranya yang tidak mau turun dari mobil-mobilannya. “Kue, aku mau!” Serunya semangat menyodorkan kedua tangannya minta dig
Alur hidup tak ada yang bisa menebak, kemana takdir akan membawanya. Sekecil apapun kebaikan atau keburukan tentu akan ada balasannya. Dendam, benci, cinta adalah bumbu yang mewarnai setiap langkah kehidupan. Perputaran waktu tak ada yang bisa menghentikan walau hanya sedetik saja. Hari-hari yang dilalui pasangan orang tua baru itu tanpa keluhan, meskipun banyak perubahan yang terjadi sejak kelahiran putra pertama. Bayi mungil dan rapuh, kini sudah bisa berguling kanan dan kiri. Berceloteh dengan suara khas bayi, terkadang tingkahnya membuat kedua orang tuanya menarik napas dalam-dalam berusaha menyetok banyak kesabaran. “Xabiii! Astaga ini bocah,” pekik sang Mommy melihat putranya sudah berada di bawah kolong meja. Baru sebentar di tinggal, sudah berpindah posisi. “Nyonya, ada apa?” Eora mendekat cepat mendengar teriakan nyonya mudanya, gadis itu terlihat khawatir. Bulan mendesah kasar, lalu menunjuk arah dimana putranya yang tengah berceloteh tanpa beban. Ibunya sudah frustasi
“Cintamu tak layak untuk aku, Karin.”Setelah meredakan rasa terkejutnya atas ungkapan cinta dari gadis di sampingnya yang tak di duga. Mirza bersuara dengan lirih, sadar dirinya tak pantas mendapat cinta dari gadis seperti Karina. Dia bukan lelaki baik-baik, masa lalunya sangat kelam. “Apa aku seburuk itu?” Karina berusaha tegar, dia menoleh dan menatap teduh laki-laki yang tengah menunduk. Melihat gelengan lemah kepala Mirza, Karina kembali menuntut jawaban. “Lantas apa yang membuat aku tak dapat kesempatan itu?”Mirza mengangkat kepalanya seraya menarik napas dalam dan melepaskan perlahan. “Kamu berhak bersama laki-laki yang baik. Aku, aku hanya laki-laki brengsek!” Ucapnya dengan suara bergetar karena rasa emosional. Mengingat betapa buruknya kelakuannya dulu. “Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Yang aku inginkan masa depan bersamamu!” Tegas Karina. “Kamu tidak tau aku, Karina!” Bentak Mirza menatap tajam, matanya merah. Kesal dan juga bingung. Karina membalas dendam tat
Musim berganti, namun cinta tak pernah tergantikan. Walaupun cinta tak berbalas, namun tekad seorang gadis tak pernah sirna. Dia yakin, ada celah untuk masuk ke dalam hati laki-laki yang telah menghadirkan debaran tak biasa di dalam dadanya. Rasa itu tak pernah sekalipun dia rasakan sebelumnya, meskipun bertemu dan berteman dengan laki-laki. Namun, tidak dengan sosok itu. Dari pertemuan pertama mereka hingga sekarang ini, debaran itu tetap sama. Getar cinta yang membuatnya gugup dan salah tingkah walau hanya melihat dari kejauhan. “Aku yakin, suatu hari nanti. Aku tidak akan mencintai seorang diri.” Ucapnya, pandangannya tertuju pada satu objek di kejauhan. Senyum tulus itu menghiasi wajah cantiknya, tak ada kesedihan, hanya keyakinan kuat. “Masih mengharapkan dia?” Karina terjengit, gadis itu mengusap dadanya, menetralkan rasa kaget akibat ulah laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “Sama seperti kamu,” balasnya yang membuat laki-laki itu tersenyum kecil. “Terka
Usapan lembut yang diberikan suaminya membuat Bulan tenang dan tertidur. Air sangat khawatir dengan kondisi istrinya, tidak hanya itu saja, Bulan-nya juga mengkhawatirkan kondisi Eora. Beruntung Eora cepat tertolong, dia cepat menghubungi rekannya supaya mengejar perempuan yang membuatnya mendapatkan dua luka tusukan di punggung dan pinggang kiri. Ditengah rasa sakit dari luka yang didapat, dengan sisa tenaga dia menghadang perempuan itu mencelakai nona mudanya. Dengan gerakan pelan, Air beringsut turun dari ranjang keluar dari kamar, membiarkan istrinya istirahat. Wanitanya itu sangat terguncang dengan apa yang terjadi hari ini. “Bagaimana kondisi Bulan?” tanya Nyonya Malika khawatir. Air menarik napas panjang, “Tidur,“ sahut Air singkat. Menjatuhkan dirinya di atas sofa. “Apa perlu kita panggilkan Dokter?”“Tidak perlu, Mom. Istriku hanya syok melihat Eora terluka.”“Ck, siapa yang sudah berani cari masalah sama keluarga kita.” Wanita itu sangat geram, “Lalu bagaimana keadaan
“Sayang, sudah belum?” Air masuk kamar mendekap putra kecilnya dalam gendongan, pria itu menyusul istrinya yang tak kunjung turun. “Hubby kenapa tidak sabaran sih?” Sahut Bulan sekali lagi memperhatikan penampilan di cermin. “Kita mau kerumah sakit, sayang. Bukan pergi acara besar.”“Biarpun hanya ke kerumah sakit, tetap saja aku harus memperhatikan penampilanku. Biarpun badan aku melar sana sini, tapi aku tetap harus cantik. Disana pasti banyak Dokter dan perawat genit cape sama Hubby.” Cetus Bulan meraih tas miliknya, “Tas perlengkapan Xabi udah di bawa Eora kan, By?” “Sudah!”Zack mengemudi, di sampingnya Eora duduk sambil memangku tas Tuan muda kecil. Wajah keduanya datar fokus ke depan tidak peduli keluarga kecil dibelakang bersenda gurau dengan si kecil. “Nanti kalau Xabi menangis gimana, By?” Jujur saja dia sangat cemas bayi sekecil itu harus di suntik. “Paling menangis sebentar aja, sayang. Tapi kan demikian kebaikan anak kita juga!” Air berusaha menenangkan istrinya, sej